Jika krisis Wadas adalah medan psikoterapi, tidak sulit mengimajinasikan pemimpin sebagai terapis. Terapis mendengarkan dengan seksama dan berteguh mengambil sikap untuk tetap mendampingi pasien.
Oleh
LIMAS SUTANTO
·4 menit baca
DIDIE SW
-
Perpohonan akson, axon arborization, mendorong imajinasi tentang betapa kesehatan mental (mental health) terkait dengan keadaan otak dan kehidupan yang memerlukan interkoneksi partisipan-partisipannya. Akson itu semacam juluran panjang sel saraf atau neuron yang memaut ke sesamanya pada neuron yang lain.
Jaringan otak atau jejaring saraf adalah interkoneksi kompleks neuron-neuron. Neuron yang bagus aksonnya bercabang-cabang, beranting-ranting subur, layaknya pohon yang bertumbuh kembang baik. Arborisasi akson yang rimbun memungkinkan terwujudnya interelasi yang baik antara neuron-neuron, dengan demikian memungkinkan terjadinya kondisi psikis yang bagus.
Keadaan psikis manusia pun tidak berada dalam ruang kosong; terhubung erat timbal balik dengan warga dunia yang melingkupinya. Interkoneksi bukan hanya berlingkup "mikro" (dalam jaringan otak atau jejaring syaraf saja), melainkan pula terjadi pada ruang keberadaan manusia di tengah liyan, masyarakat, dan dunia. Terangkumnya banyak partisipan dalam kehidupan seseorang manusia dan terawatnya interelasi yang baik di antara mereka menandai eksistensi psike yang bagus.
Krisis Wadas yang meningkat akut sejalan dengan derita beberapa saat yang lampau mengandung resistansi, ruptur, dan oposisi berdampingan dengan cita-cita dan pengharapan, bagaikan lengkap merangkum peristiwa-peristiwa yang wajar terjadi dalam perjumpaan psikoterapeutik antara psikoterapis dan pasien. Krisis itu seolah medan psikoterapi. Terapis bersama pasien tidak menghayati perlawanan, robekan, dan pertentangan di tengah relasi terapeutik mereka sebagai malapetaka yang menghancurkan pengharapan.
DOKUMENTASI POLDA JATENG
Jajaran anggota Polres Purworejo mengimbau warga Desa Wadas untuk membubarkan aksinya, di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Jumat (24/4/2021). Warga menggelar aksi penolakan atas penambangan batu andesit di desa mereka.
Gambar besar
McGilchrist meyakini keadaan-keadaan yang sepintas seperti bencana itu sebagai sumber kreativitas dan imajinasi yang dapat memorosi proses menghayati realitas dalam “gambar besar”, sebagai bentangan luas, lebar, jauh, makin lengkap; bukan yang picik, sempit, serba sedikit, myopik, reduktif. Hal terpenting untuk dapat memetik kebaikan dari kondisi-kondisi derita itu adalah terapis dan pasien tetap terhubung, berdialog.
Terapis mendengarkan dengan saksama, menampung banyak, bagaikan container yang sangat besar, meraih mengerti yang bangkit dari the big picture itu. Karena itu, ia menanggapi dengan tepat pasien yang berbicara, mengungkap pengalaman nyeri, dan menampilkan bagian kelam hidupnya. Maka resistansi atau penolakan diolah menjadi akseptasi atau penerimaan, ruptur atau keterpatahan hubungan ditransformasi menjadi unifikasi atau penyambungan kembali, dan oposisi atau perlawanan menjelmakan kooperasi atau kerja sama dan sikap bahu-membahu.
Terapis mendengarkan dengan saksama, menampung banyak, bagaikan container yang sangat besar, meraih mengerti yang bangkit dari the big picture itu.
Psikoterapi adalah mendampingi, menemani, encouraging pasien untuk mengalami dirinya yang sungguh memiliki perkaitan-perkaitan timbal balik, interkoneksi, interelasi, dengan liyan, dengan partisipan-partisipan dunia kehidupan dan lingkungan, dengan pengalaman yang dulu, kehidupan kini, imajinasi tentang nanti, hari depan, pengharapan dan kekhawatiran, dan lain-lain.
Penjelajahan kontekstual yang dilakukan di tengah relasi pasien dan terapis ini memperkaya interelasi neuron. Sudah lazim diketahui dalam psikiatri, neuropsikoanalisis, dan neurosains, bahwa psikoterapi adalah relasi yang membuahkan perubahan struktural dan fungsional terapeutik pada otak, yang ditandai kian kayanya kesalingterhubungan antara neuron-neuron. Ia akan membangkitkan pengalaman menyadari—making the unconscious, conscious, sebut Freud. Ia memungkinkan terhayatinya pengalaman dalam bentangan luas yang melahirkan makna; bukan penghayatan secuplik yang simplistis.
Penghampiran terhadap dunia dan pengalaman yang terlalu bertitik berat pada penggunaan semata belahan kiri otak (left hemisphere way of attending) membuahkan pengalaman sempit, eksplisit, lepas dari konteks, yang berfokus pada suatu hal spesifik saja, mengabaikan realitas yang selalu mengandung interelasi dan interkoneksi yang kompleks. Way of attending ini lebih berkemungkinan menumpuk emosi marah dan agresif, cenderung kehilangan kearifan yang inklusif.
Namun tatkala interkoneksi dijelajahi, ada resistansi untuk mengalami bagian yang nyeri—the dark sides, shadows, kata Jung. McGilchrist melihat betapa kreativitas tiada tanpa keberanian menjalani dan melewati resistansi. Tiada unifikasi tanpa keberanian bertemu dan berdialog dengan yang mengoposisi. Ruptur relasional atau perlukaan dalam hubungan antar insan akan dapat dilampaui oleh perjumpaan dan keterhubungan yang menyangga dialog. Nanti unifikasi dapat diraih. Makin rimbunnya perpohonan, apabila ia menggambarkan proses psikoterapeutik, mengindikasikan proses kreatif. Terapi melahirkan resistansi, dan melampaui resistansi adalah penumbuhkembangan manfaatnya. Terapis berteguh mengambil sikap untuk tetap mendampingi pasien dan mengatasi setiap resistansi.
Terapis menyelenggarakan proses relasional yang mengilhami dan mempersuasi pasien untuk melihat, merasakan, dan mengalami dengan suatu cara menghadiri peristiwa, way of attending, yang berkarakteristik luas, lebar, jauh dalam arti merangkum sebanyak mungkin partisipan kehidupan yang satu sama lain terhubung, terkait, berpaut. Bukan jalan mengalami dan berelasi, way of being and relating, yang terfokus pada bidang sempit sampai-sampai yang dapat dialami hanyalah sebuah bagian yang teramat kecil belaka, menafikan hal-hal lain yang penting dan begitu kaya, beragam, di luarnya. Akan tetapi itu berarti terapis niscaya menjalankan dahulu cara mengalami yang lebar, luas, jauh, memerhatikan dan menghargai partisipan-partisipan dan interkoneksi mereka.
Sungguhkah sebuah kebijakan itu mereduksi teritori kompleks menjadi selembar peta ringkas, atau telah merangkum pelibatan dan penghargaan terhadap unsur-unsur begitu banyak yang satu sama lain terhubung dan saling membuahkan pengaruh? Tidak sulit mengimajinasikan pemimpin sebagai terapis.