Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Pengangkatan kepala daerah untuk menjabat sementara dalam waktu yang lama sangat berpotensi menimbulkan krisis legitimasi. Apalagi jika penjabat itu tidak memiliki pemahaman memadai tentang daerah yang dipimpinnya.
Pada tahun 2022 ini, sebanyak 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan pada tahun 2023 akan ada 170 kepala dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya.
Daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah hingga kepala/wakil kepala daerah baru (kepala daerah definitif) terpilih dalam pemilihan kepala daerah serentak nasional pada tahun 2024.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, terdapat norma yang mengatur tentang pengisian jabatan kepala daerah.
Dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) mengatur tentang mekanisme itu. Pasal 201 ayat (10) berbunyi: “Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sedangkan Pasal 201 ayat (11) menyatakan: “Untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/walikota, diangkat penjabat bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati, dan walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Baca juga: Menyoal Penjabat Kepala Daerah
Dengan adanya pengaturan tersebut, pengangkatan kepala daerah dilakukan dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Untuk penjabat gubernur, diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Presiden, sementara untuk penjabat bupati dan walikota diusulkan oleh gubernur kepada Mendagri.
Penjabat-penjabat yang diangkat oleh pemerintah pusat, baik itu Presiden maupun Kementrian Dalam Negeri secara hukum tentu memenuhi ketetuan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintah daerah. Namun, secara sosial dan politik belum tentu mendapatkan legitimasi itu. Karena legitimasi sosial dan politik akan diperoleh melalui kerja-kerja sosial dan kerja politik yang panjang. Karena itu, pejabat yang ditunjuk bisa saja menghadapi krisis legitimasi di daerah.
Penjabat yang ditunjuk sementara belum tentu dapat menghadapi kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga perwakilan.
Selain itu, penjabat yang ditunjuk sementara belum tentu dapat menghadapi kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga perwakilan. Apalagi yang ditunjuk adalah penjabat yang bukan berasal dari daerah tersebut, ada kemungkinan terjadi ketegangan politik ditingkat lokal.
Sementara penunjukan penjabat sementara itu sangat lama, yaitu sekitar dua sampai tiga tahun untuk memerintah di daerah. Tentu proses pembahasan anggaran untuk daerah akan dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Jadi sangat sulit bagi kepala daerah yang tidak mendapatkan legitimasi politik lewat pemilihan umum untuk mencari chemistry dengan kekuatan politik di daerah.
Segi konstitusi
Pemerintah daerah adalah pemerintahan yang mengatur dan menjalankan sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan diberikan kewenangan desentralisasi yang demikian, maka pemerintah daerah memiliki tugas dan wewenang untuk mengatur urusan rumah tangga di daerah.
Karena itu, UUD 1945 mengatur tentang kelembagaan dan pemerintah daerah. Misalnya, dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur secara jelas pemerintahan daerah itu.
Baca juga: Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Untuk mengisi jabatan eksekutif daerah dilaksanakan pemilihan secara demokratis. Pasal 18 ayat (4): "Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis".
Kata demokratis dapat diartikan dalam dua bentuk pemilihan, yaitu dipilih langsung oleh rakyat, dan bisa juga diartikan dipilih melalui DPRD. Semenjak tahun 2005 Indonesia mempraktikkan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat di daerah melalui pemilihan umum, tidak lagi menggunakan pemilihan melalui DPRD.
Secara konstitusional, pengangkatan kepala daerah langsung oleh pemerintah pusat tidak sejalan dengan apa yang diatur oleh konstitusi. Karena itu menurut hemat saya, untuk menghindari kekosongan pejabat definitif di daerah dalam waktu yang panjang seperti itu tidak bisa hanya pejabat sementara. Karena alasan itu, pemerintah perlu untuk mengkaji ulang pengangkatan kepala daerah ini.
Bisa berujung masalah
Pengangkatan kepala daerah sementara dengan penunjukan (appointed) berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang perlu dipertimbangkan. Diantaranya ialah:
Pertama: kepala daerah yang ditunjuk dalam waktu yang cukup lama, seperti dua atau tiga tahun, bukan dari legitimasi politik rakyat akan sulit menyusun APBD. Mereka yang ditunjuk hanya berbasis karir, prestasi, dan bukan legitimasi. Mereka hanya memiliki keahlian secara meritokrasi.
Penjabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak didukung dengan kemampuan politik praktis. Secara keahlian tentu tidak diragukan, tetapi secara politik masih memerlukan legitimasi, popularitas, dan eksebtabilitas.
Pengangkatan kepala daerah untuk menjabat sementara dalam waktu yang lama ini sangat berpotensi menimbulkan krisis legitimasi.
Kedua, pengangkatan kepala daerah untuk menjabat sementara dalam waktu yang lama ini sangat berpotensi menimbulkan krisis legitimasi. Secara sosiologis dapat diprediksi adanya ketidakpuasan bagi elite-elite politik di daerah, dan bisa berujung penyanderaan politik bagi kebijakan yang akan diambil.
Lebih berbahaya lagi apabila kepala daerah yang ditunjuk tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang daerah yang dipimpinnya. Ini berakibat fatal, sebab bisa menimbulkan konflik politik dan konflik sosial akibat ketidakpuasan masyarakat.
Ketiga, penujukan pejabat seperti itu dapat menimbulkan potensi korupsi, suap, dan kolusi dalam perebutan pengisian jabatan pada daerah-daerah. Apalagi menyangkut daerah yang memiliki sumber ekonomi yang besar. Sehingga dapat terjadi politik transaksional dalam konteks ini.
Baca juga: PR Otonomi Daerah 2022
Keempat, tidak ada pertangungjawaban politik yang berarti bagi kepala daerah. Sehingga dengan periode yang lama itu dapat menimbulkan penyelewengan kekuasaan yang bisa berujung korupsi dan tindak pidana ekonomi lainnya.
Begitupun dengan program yang akan dilaksanakan, tidak jelas dan tidak terarah. Sebab ia hanya ditunjuk sebagai pejabat sementara, dengan memegang pemeritahan yang cukup lama.
Kelima, kepala daerah bukan hanya sebagai pelaksana pemerintahan, tetapi juga menjadi panutan masyarakat umum. Di daerah-daerah yang masih kental nilai-nilai kedaerahan seperti Papua, Aceh sebagai daerah khusus serta daerah Lainnya masih sangat menghargai ketokohan dan memerlukan keteladanan.
Keenam, kepala daerah sebenarnya bukan ditunjuk tetapi dipilih. Itulah kenapa kita menyebut Indonesia sebagai negara republik, yaitu negara yang menjadikan pemilihan langsung sebagai asas demokrasinya. Jadi kepala daerah baru disebut sebagai kepala daerah apabila ia dipilih secara demokratis, bukan penunjukan langsung dari pusat.
Dari enam masalah itu, dapat kita petakan, pemerintah daerah bukan sekadar menjalankan tugas pembantuan, tetapi memastikan ia memiliki tanggungjawab untuk membangun daerah. Dan pelaksanaan tanggungjawab itu harus delegitimasi baik secara politik, sosial, dan secara hukum.
Tanpa legitimasi maka sangat sulit untuk menjalankan pemerintahan dan potensial saling sandera kepentingan politik. Partai-partai politik di daerah yang memiliki anggota DPRD punya kepentingan dalam masalah kebijakan dan politik anggaran. Maka penting seorang pemerintah daerah memiliki hubungan secara emosional dengan anggota DPRD sebagai perwakilan partai politik.
Realitas ini dapat menimbulkan ketidakjelasan nasib-nasib daerah yang sedang berupaya untuk membangun daerahnya. Ketidakjelasan tersebut bisa berakibat konkret dan luar biasa, yaitu daerah mengalami kemunduran.
Baca juga: Problematika Pilkada pada November 2024
Daerah perlu pemimpin
Daerah memerlukan elected executive yang dipilih secara langsung dalam sebuah pemilihan yang demokratis. Tentu pemimpin yang terpilih dari pemilihan umum berdasarkan ketetuan udang-undang.
Kenapa eksekutif terpilih menjadi penting? Jawabannya karena ia mendapatkan legitimasi politik langsung dari pemilih. Dalam proses pemilihan tentu ada yang melibatkan partai politik sebagai legitimasinya, juga dipilih secara independen oleh rakyat.
Pemimpin terpilih memiliki basis yang jelas, yaitu popularitas dan akseptabilitas. Untuk memperoleh itu seorang pemimpin daerah harus membangun jaringan politik dan membangun basis pemilih yang kuat.
Tidak mudah untuk memperoleh legitimasi sosial dan politik. Rakyat akan menyeleksi dan menilai kriteria seseorang, lebih khusus putera-puteri terbaik yang dimiliki oleh daerahnya. Dengan jalan itu pula pemerintahan akan stabil.
Selain itu, pemimpin terpilih dapat menjalankan kewenangan penuh, mengambil kebijakan tanpa dibatasi oleh ketentuan undang-undang semakin itu berada di dalam ranah tugas dan kewenangannya. Sedangkan bagi penjabat yang ditunjuk terdapat beberapa pengecualian yang tidak boleh dilakukan dalam tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah.
Pemerintahan sentralistik
Penunjukan pejabat pemerintah daerah dapat dianggap sebagai sebuah upaya sentralisasi kekuasaan. Karena selain masa waktunya yang panjang, juga beberapa kebijakan daerah harus disetujui oleh Menteri Dalam Negeri.
Bagi gubernur, bupati, dan walikota yang dipilih langsung oleh rakyat tidak memiliki pengecualian dalam mengambil keputusan, kecuali urusan yang dikhususkan oleh UUD 1945 sebagai urusan pemerintah pusat.
Bagi pejabat yang ditunjuk ada pengecualian, seperti: dilarang mutasi pegawai; dilarang membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah; dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Namun Larangan-larangan itu bisa tidak berlaku apabila mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri. Dari format ini kewenangan seperti ini pemerintah pusat mengendalikan segala kebijakan pemerintah daerah selama pejabat yang ditunjuk berkuasa.
Baca juga: Dinamika Penjabat Kepala Daerah
Bisa dibayangkan, selama dua atau tiga tahun pemerintah daerah dikendalikan oleh pusat. Hal ini menurut saya bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Karena itu secara kritis saya mengatakan, bahwa urusan pemerintahan daerah adalah urusan pemerintahan yang mandiri berdasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat. Tidak bisa disentralisasi oleh pemerintah pusat, kecuali urusan yang oleh UUD menjadi urusan pemerintah pusat.
Kita berharap ada kebijakan pemerintah melalui regulasi untuk mengantisipasi ratusan pejabat gubernur, bupati, dan walikota yang akan menggantikan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Sehingga tidak terjadi masalah-masalah yang dapat menimbulkan instabilitas di daerah.
Furqan Jurdi, Pegiat Hukum Tata Negara dan Aktivis Muda Muhammadiyah