UU PPRT Mencegah Perbudakan Modern
Kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga terus terjadi, tak sedikit pula yang mengalami eksploitasi baik fisik maupun non fisik. Bentuk-bentuk perbudakan modern ini dapat dicegah jika ada UU PPRT.
“Apapun alasannya, perbudakan adalah musuh kemanusiaan, seteru peradaban. Saya minta jangan sampai ada lagi perbudakan di mana pun di tanah Indonesia ini.” (Puan Maharani, 26/1/2022)
Perbudakan modern
Kerangkeng manusia di Langkat adalah puncak gunung es, di bawah permukaan air ada ratusan kasus kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga (PRT) yang memenuhi unsur perbudakan modern. Setiap tahun rata-rata ada 500-an kasus PRT yang mengalami kekerasan berupa penyekapan, penyiksaan fisik dan mental yang sering menyebabkan cacat badan bahkan kematian.
Dalam kasus-kasus tersebut, para PRT korban juga sering tidak menerima upah. Kekerasan mirip perbudakan modern ini akan terus berlangsung kecuali ada undang-undang untuk mengatur pekerja domestik/RT.
Perbudakan (modern), walau dilarang agama dan konstitusi tetapi faktanya masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat dan dicuekin banyak negara termasuk Indonesia. Dari Global Slavery Indeks 2016, ada 30 juta penduduk di Asia-Pasifik yang terancam perbudakan modern. Angka tersebut dipastikan membengkak selama pandemi Covid-19 akibat meroketnya jumlah orang miskin.
Global Slavery mendifinisikan perbudakan sebagai situasi eksploitasi dimana seseorang tidak bisa menolak atau meninggalkan sesuatu, karena ada ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penipuan (2016). Faktor terbesar penyebab langgengnya perbudakan bukanlah kemiskinan, tetapi pembiaran oleh negara. Harusnya setiap negara membuat UU Anti Perbudakan untuk mencegah atau menghapuskannya.
Baca juga: Perbudakan Modern, Perdagangan Manusia, dan Sepak Bola
Undang-Undang Perlindungan PRT (PPRT) bobotnya sepadan dengan UU Anti Perbudakan karena UU PPRT, jika disahkan, dapat berperan untuk pencegahan dan penghentian praktik perbudakan modern di Indonesia. Undang-undang tersebut akan mengatur relasi ekonomi antara pemberi dan penerima kerja menjadi manusiawi dan bermartabat bagi kedua belah pihak.
Seandainya tahun lalu RUU PPRT disahkan, maka peristiwa kerangkeng manusia di Langkat (2022) dan penyiksaan terhadap PRT Elok di Surabaya (2021) tidak perlu terjadi. Majikan Elok yang perempuan pengacara telah dihukum dua tahun, tetapi cacat tubuh dan mental Elok tidak bisa disembuhkan.
Seandainya tahun lalu RUU PPRT disahkan, maka peristiwa kerangkeng manusia di Langkat (2022) dan penyiksaan terhadap PRT Elok di Surabaya (2021) tidak perlu terjadi.
Sangat ironis, Hari PRT tanggal 15 Pebruari akhirnya menjadi sekadar peringatan nasib buruk yang berkelanjutan dari PRT. Pada tanggal itu di tahun 2001, Sunarsih, PRT berusia 15 tahun, meregang nyawa di Surabaya. Sebelum dijerat hingga mati, gadis muda kurus kering karena kurang makan itu dihajar menggunakan pipa besi dan dipaksa makan kotorannya sendiri oleh majikannya, Ny Ita.
Pada tahun 1999 Ny Ita telah pula menyiksa PRT lainnya. Dia melarikan diri ke Singapura. Tahun 2001 kembali ke Surabaya dan kembali bisa menghindari hukuman penjara dua tahun akibat kematian Sunarsih. Tahun 2005 kembali Ny Ita menyiksa PRT lainnya dan pengadilan hanya memberi hukuman percobaan, hanya satu bulan.
Dua puluh tahun kemudian di kota yang sama, Surabaya, nasib Sunarsih hampir terulang pada Elok. Selama kurun waktu 20 tahun yang sama pula ada ribuan PRT di seluruh penjuru Indonesia mengalami nasib serupa na’as-nya. Ada tiga lapis kekerasan yang dialami para PRT tersebut: fisik, kultur (mindset dan perilaku kolonial masyarakat termasuk penegak hukum), dan kekerasan struktural berupa sistem yang keji yaitu tiadanya hukum untuk melindungi mereka. Tanpa UU PPRT, setidaknya 5 juta PRT rawan menjadi obyek praktik perbudakan modern.
Banyak PRT juga mengalami eksploitasi dalam bentuk fisik maupun non fisik. Jam kerja yang panjang, tanpa jam istirahat atau libur. Upah yang sangat kecil, bahkan ada yang tidak diberi upah. Penderitaan mereka menjadi lengkap ketika mereka dipaksa menerima kondisi kerja yang tidak manusiawi, misalnya tidur di tempat jemuran, kandang anjing, disekap, di kerangkeng termasuk tidak diberi makan hingga kelaparan. Memperkerjakan PRT yang masih usia anak-anak juga tergolong eksploitasi dan menjadi unsur pembentuk definisi perbudakan modern.
Perbudakan modern biasanya melibatkan praktik perdagangan orang. Para PRT direkrut dan disalurkan oleh perorangan atau agen yang beroperasi tanpa izin alias ilegal. Perdagangan orang didorong dua motif, yaitu ekonomi (mencari buruh murah) dan motif seks untuk pelayanan pribadi atau dikomersialkan.
Dalam trafficking para korban sering mendapat penyiksaan fisik maupun pelecehan-pelecehan. Ini sulit dideteksi karena terjadi di wilayah privat sehingga penyiksaan dan penyekapan korban bisa berlangsung bertahun-tahun.
Perbudakan modern biasanya melibatkan praktik perdagangan orang. Para PRT direkrut dan disalurkan oleh perorangan atau agen yang beroperasi tanpa izin alias ilegal.
Pada kasus Sunarsih (6 bulan disiksa), kejahatan terbongkar setelah polisi memeriksa mayatnya. Kasus Elok terbongkar karena majikan lupa mengunci rumah sehingga Elok bisa melarikan diri setelah disekap 16 bulan. Elok ditemukan terkulai di jalan dengan tubuh kurus kering (berat bedan 35 kilogram) dan penuh luka.
Sejumlah PRT yang bekerja di apartemen (tidak menginap) juga mengalami pelecehan. Ada majikan expatriate yang melarang PRT masuk melalui lobi. Akses keluar masuk bagi PRT adalah melalui jalur untuk buang sampah. PRT didenda Rp 500.000 saat masuk melalui lobi akibat si bos lupa membuka kunci jalur buang sampah.
Baca juga: Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga
Unsur keterpaksaan sengaja diciptakan agar korban tidak berdaya untuk menyudahi hubungan eksploitatif yang dialaminya. Dari data Jala PRT (2020) beberapa strategi untuk menjebak PRT adalah dengan menahan gaji (dialami pula oleh Sunarsih dan Elok) baik secara total maupun sebagian.
Beberapa kasus penipuan juga terjadi. Majikan memberikan kalung emas sebagai tabungan gaji dua tahun, tetapi ternyata kalung tersebut sepuhan belaka. Di kasus lain, bos perusahaan tambang asing terbesar di dunia menolak membayar gaji PRT-nya selama dua tahun. Terkait gaji, Jala PRT menemukan sebagian besar PRT digaji di bawah upah minimum regional.
Meski demikian, ada banyak juga PRT yang beruntung karena diperlakukan dengan sangat baik layaknya keluarga sendiri. RUU PPRT tidak akan mengganggu pola relasi yang saling menguntungkan demikian. Justru praktik-praktik manusiawi demikian yang menjadi tujuan RUU PPRT, yaitu adanya pola relasi yang simetris, saling memanusiakan antara pemberi dan penerima kerja.
Dari riset media, Jala PRT (2021) menemukan, dari tahun 2012 hingga 2020 jumlah kasus yang dialami PRT rata-rata 457 kasus per tahun. Lonjakan luar biasa terjadi saat pandemi, yaitu dari 467 kasus di tahun 2019 menjadi 897 kasus di tahun 2020. Kenaikan sebesar 92 persen tersebut didominasi kasus pemutusan hubungan kerja mendadak. Hingga akhir 2021 situasi tidak membaik, jumlah kasus tercatat lebih dari 400 kasus.
PRT merupakan sebuah keniscayaan bagi perekonomian keluarga maupun perekonomian nasional. Keberadaan 5 juta PRT menunjukkan mereka memang dibutuhkan. PRT-lah kelompok pekerja yang mendukung sesama pekerja lain (di sektor publik) untuk fungsional dan produktif. Peran dan kontribusi PRT pun dicatat BPS di setiap Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), yaitu termasuk kelompok buruh/karyawan/pegawai. Artinya, produktifitas nasional kita dimungkinkan karena sumbangan peran PRT.
Baca juga: Panggil Mereka Pekerja Rumah Tangga, Bukan Pembantu
Mencegah perbudakan dengan gotong royong
Hal paling penting dalam RUU PPRT adalah pengakuan negara atas profesi ‘pekerja’ RT. Mereka bukan babu, pembantu, atau asisten RT. Pengakuan sebagai pekerja RT akan menempatkan mereka pada pola relasi ekonomi yang setara dengan pemberi kerja. Adanya ‘upah/gaji’ adalah penanda dari relasi ekonomi, yaitu PRT mendapat imbalan dari kerja-kerja mereka di satu RT.
Pemerintah sebenarnya secara de facto telah mengakui PRT sebagai pekerja saat BPS mencatat mereka sebagai bagian dari angkatan kerja dalam penghitungan Sakernas. Tetapi tanpa pengakuan de jure dari negara, maka PRT kehilangan berbagai hak mereka sebagai pekerja maupun hak sebagai kelompok miskin yang harusnya menerima berbagai bentuk bantuan negara dari paket perlindungan sosial.
Pengakuan sebagai pekerja RT akan menempatkan mereka pada pola relasi ekonomi yang setara dengan pemberi kerja.
Sebagai pekerja, PRT berhak menjadi peserta Jamsostek yang di RUU PPRT diikutsertakan untuk paket termurah, yaitu asuransi kematian dan kecelakaan kerja, dengan iuran sebesar Rp 16.800 per bulan. Sebagai kelompok miskin, PRT bisa diikutsertakan ke BPJS Kesehatan yang tidak berbayar. Jika sudah ada UU PPRT, Menteri Sosial tidak perlu pusing dengan penataan data penerima bantuan sosial (bansos) dan bingung membagi sisa bansos senilai Rp 2,7 triliun
Begitu juga Jamsostek tidak perlu repot mencari-cari peserta asuransi. Data dari BPJS Ketenagakerjaan 2021 menunjukkan bahwa hanya 150.000 pekerja yang terlindung Jamsostek. Sayangnya dari angka itu 147.500 adalah pekerja migran. Sisanya adalah PRT pada kategori bukan penerima upah (BPU). Adanya UU PPRT akan menyelamatkan bisnis BPJS sekaligus para PRT dan keluarganya. Pemberi kerja juga beruntung karena tidak perlu ada pengeluaran ekstra saat pekerjanya mendapat musibah kecelakaan maupun kematian.
Kita mengharap pihak pemberi kerja yang akan membayar iuran Jamsostek para PRT-nya senilai Rp 16.800 per bulan tersebut. Iuran itu sebagai bentuk gotong royong dan kekeluargaan yang dikehendaki Pancasila dan konsitusi. Sehingga, UU PPRT sebenarnya merupakan upaya nyata pelembagaan dan perlindungan modal sosial sekaligus kearifan lokal kita berupa dua nilai karakter mulia tersebut.
Dengan ikut sertanya PRT dalam dua skema BPJS ketenagakerjaan dan Kesehatan, serta terdata sebagai kelompok miskin oleh Kemensos maka kemanfaatannya akan bisa dirasakan oleh setidaknya 20 juta penduduk. Data tentang rasio ketergantungan satu PRT biasanya menanggung empat orang sehingga skema pengentasan kemiskinan sangat terbantu dengan pengesahan RUU PPRT yang sudah dinanti oleh 5 juta PRT selama 18 tahun.
UU PPRT juga memperkenalkan pembuatan kesepakatan kerja yang akan mengatur hak dan kewajiban dua belah pihak. Kesepakatan kerja ini kelak merupakan hasil dari musyawarah mufakat sesuai kemampuan dan kondisi ekonomi pemberi kerja dan persetujuan PRT. Sehingga, tidak ada unsur pemaksaan, kesewenang-wenangan oleh salah satu pihak. Praktik mengontrol dan dominasi hidup pemberi kerja ke penerima kerja bisa dihindarkan.
Baca juga: Mengapa Perlu UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?
Dalam kesepakatan kerja tersebut akan diatur hak-hak normatif PRT untuk mencegah adanya eksploitasi. Hak-hak pekerja yang dicantumkan minimal terkait upah, libur, cuti, jam kerja, beribadah, diikutkan BPJS dan kondisi kerja yang layak. Sedang hak-hak dari pemberi kerja setidaknya meliputi informasi yang jelas soal identitas dan kapasitas kerja PRT, mekanisme mengakhiri kerja jika ada pelanggaran kesepakatan, mendapatkan pemberitahuan awal sebelum PRT mundur dari kesepakatan, dan hak mendapatkan hasil kerja PRT sesuai kesepakatan.
UU PPRT juga dapat menghindarkan jebakan perdagangan orang dengan membuat pasal-pasal berkaitan dengan mekanisme perekrutan dan penempatan PRT. Mekanisme yang ada harus tidak ada unsur pemalsuan keterangan (yang sering dilakukan penyalur), tidak dibenarkan pula menahan dokumen pribadi yang kemudian untuk ditebus PRT. Di atas semua itu, penyelenggaraan penyalur ini harus mempunyai izin dan dalam praktiknya selalu diawasi pemerintah.
Salah satu praktik baik yang bisa dilakukan pemerintah adalah seperti yang dilakukan KBRI di Singapura. Para PRT migran Indonesia di sana diberikan ruang dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Setiap hari Minggu, PRT ikut pelatihan, kursus ketrampilan, dan bahkan melanjutkan pendidikan. Para PRT dibantu ikut program ujian persamaan SMA dan kuliah Universitas Terbuka sehingga purna menjadi PRT di rantau mereka punya pilihan-pilihan yang lebih luas dan tidak terjebak di lingkaran PRT. Di UU PPRT ada pasal-pasal untuk memenuhi hak PRT untuk mengembangkan diri.
Salah satu praktik baik yang bisa dilakukan pemerintah adalah seperti yang dilakukan KBRI di Singapura. Para PRT migran Indonesia di sana diberikan ruang dan kesempatan untuk mengembangkan diri.
Pemerintah Singapura, walaupun menganut mekanisme pasar dalam kebijakan tenaga kerja, tetapi tidak lepas tangan saat ada konflik yang melibatkan PRT di sana. Peran pemerintah lebih sebagai regulator yang mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang ada. Pemerintah kita tinggal mengadopsi tata laksana pengiriman pekerja migran ke luar negeri yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Adanya UU PPRT dipastikan juga akan memberikan dampak positif untuk para PRT kita di luar negeri. Penelitian Pertimig Malaysia (2022) menunjukkan, kondisi PRT Philipina di Malaysia lebih baik daripada PRT asal Indonesia. Bukan karena faktor tingkat pendidikan PRT tetapi karena faktor adanya UU domestic workers di Philipina. Keberadaan UU tersebut membuat segan orang Malaysia untuk memperlakukan PRT Philipina seenaknya termasuk upah yang lebih tinggi. Mereka melihat pemerintah Philipina serius melindungi PRT-nya.
Proses legislasi RUU PPRT yang panjang dan terjal selama 18 tahun (sejak 2004) terganjal di meja pimpinan DPR yang tidak kunjung menjadwalkan RUU ini ke sidang paripurna DPR. Sikap ini agak membingungkan karena posisi Ketua DPR sangat tegas mengutuk perbudakan modern sebagaimana kutipan di awal tulisan ini.
Nasib RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebenarnya nyaris seperti RUU PPRT seandainya tidak ada dukungan (endorsement) dari Presiden Jokowi di awal Januari tahun ini. Sikap afirmasi dari presiden ini mampu menormalkan perilaku DPR agar responsif terhadap situasi darurat kekerasan seksual. Kampanye masyarakat laki-laki dan perempuan lintas kelas dan profesi yang luar biasa tampaknya mampu menarik perhatian dan membuat gerah presiden. Semoga presiden kembali memberikan endorsement untuk mendorong RUU PPRT berlanjut setelah macet 1,5 tahun di meja pimpinan DPR.
Eva K Sundari, Institut Sarinah