Tonggak-tonggak Orde Baru
Melalui tiga buku yang ditulis-nya, B Wiwoho ingin menyodorkan sebuah timbangan yang tidak berat sebelah, dan ingin mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan Orde Baru dari sisi buruk dan baiknya.

Didie SW
Keberanian dan ketekunan B Wiwoho menulis tiga buku dengan tebal masing-masing 375 halaman, 395 halaman, dan 309 halaman selama masa pandemi menunjukkan daya kreatifnya yang tetap hidup, menghasilkan sebuah produk yang bisa memperkaya sejarah Indonesia.
Penulis menyatakan dalam bagian Pengantar bahwa tidak mungkin ia menulis betul-betul lengkap, apalagi sempurna, dan ia berharap ada penulis lain yang menuliskan dari sudut pandang berbeda karena dengan melukiskan apa yang dilihatnya dari tempatnya berdiri tentu tidak mungkin menulis hal-hal yang tidak dilihatnya (hlm xix).
Topik-topik favorit
Operasi Petrus, peristiwa Tanjung Priok, tragedi Talangsari 1989, krisis listrik, skandal emas Busang adalah topik-topik yang sering ditanyakan orang pada penulis dan lalu kepada beliau-beliau yang mungkin merasa tidak diuntungkan dengan tulisannya, B Wiwoho minta maaf atas apa apa yang ditulisnya.
Di dalam Kata Pengantar-nya, penulis menceritakan bahwa yang pertama kali menganjurkannya menulis semacam kesaksian atau apa pun yang diketahuinya tentang perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya dan umat Islam pada khususnya adalah Prof KH Ali Yafie, seorang ulama sepuh yang sangat dihormatinya, yang sering dipanggil Puang Kiai atau Mbah Kiai.
Menurut beliau, apa yang dialami penulis—selama 30 tahun—meskipun tak seberapa dan kemudian ditulisnya dalam buku mudah-mudahan bermanfaat bagi kemaslahatan umat. ”Seumpama sebuah pasak dari sebuah rumah gadang atau sesendok semen dari bangunan beton,” begitu kata penulis.
Menurut beliau, apa yang dialami penulisselama —30 tahun—meskipun tak seberapa dan kemudian ditulisnya dalam buku mudah-mudahan bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Penulis masih ragu mengingat perannya sebagai penonton, fasilitator, atau penghubung pada satu-dua kejadian ibarat seorang figuran dari sebuah film kolosal. Akan tetapi, keraguan itu berubah mejadi niat yang mengental setelah penulis bertemu dengan teman-teman lamanya pada 14 Maret 2012 di kediamannya. Mereka antara lain Parni Hadi, Daud Sinyal, Koos Arumdani, yang masing-masing berjanji akan menulis kenangannya dalam beberapa buku. Hingga pada akhirnya pada masa pandemi penulis tergerak membuka-buka semua catatannya dan mulai menuliskannya.
Tiga buku yang ditulis B Wiwoho berjudul Jatuh Bangun Strategi Pembangunan, Musuh Terbesar Kesenjangan Bernuansa SARA dan Ekstremisme, serta Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa.
Awal Orde Baru
Buku pertama dari trilogi ini, Jatuh Bangun Strategi Pembangunan, dibuka dengan topik ”Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru”. Tentu sudah banyak yang ditulis dalam buku-buku lain tentang hal ini, tetapi penulis membeberkan dengan lebih rinci bagaimana teror yang dialami oleh media dan ulama. Setelah rapat umum ”Maju Tak Gentar” yang diselenggarakan di Istora Senayan, untuk menyambut ulang tahun ke-19 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 23 Februari 1965, Bung Karno menyetujui tuntutan media-media pendengung binaan PKI untuk memberangus media massa anti-PKI.
Dua puluh satu media diberangus, sebulan kemudian menyusul delapan media, yang ditangguhkan penerbitannya ada tiga. Nama-nama media disebutkan secara rinci. Pembredelan ini didahului dengan pemecatan keanggotaan 12 wartawan oleh PWI yang dipimpin Karim DP sebagai ketua. Disusul pemecatan 5 wartawan Surabaya, 12 wartawan Medan.
Mereka mengungkit-ungkit pendidikan Soeharto yang cuma ”Ongko Loro”.
Penutupan sejumlah media antikomunis ini mendapat perlawanan dari para perwira tinggi Angkatan Darat yang secara terang-terangan menampung sejumlah wartawan dari media yang diberangus untuk bekerja dalam surat kabar yang mereka terbitkan, yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata (hlm 18-19).
Bagaimana hubungan Soeharto dengan Nasution pasca-peralihan ”orde”? Penulis memaparkan begini: ”…tahun pertama periode peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, dualisme kepemimpinan nasional antara Bung Karno di ”pihak sana” dan Nasution-Soeharto di ”pihak sini” sangat terasa. Bung Karno berkuasa secara de jure dan Nasution-Soeharto secara de facto (hlm 41).
Yang menarik dari bab ini adalah uraian bahwa Soeharto (menurut pengamatan wartawan Daud Sinyal) sering kali tersisih dalam pergaulan antara sesama perwira tinggi yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Mereka ini sering membicarakan Soeharto. Mereka merasa lebih tahu, lebih mampu, lebih intelektual, merasa lebih banyak membaca buku strategi militer dan sosial politik, dan HBA (has been abroad), pernah belajar dan tugas di luar negeri. Mereka mengungkit-ungkit pendidikan Soeharto yang cuma ”Ongko Loro”. Cuma schakel school (sekolah persamaan untuk lulusan SD), dan pelatihan militernya hanya sekolah calon prajurit di Gombong, Jawa Tengah.
Soeharto tak pernah kedengaran berbahasa Belanda atau Inggris. Bahasa Indonesia-nya pun dicela karena dalam berpidato sering mengucapkan frasa semangkin dan sudah barang tamtu.
Penulis memuji Soeharto yang di masa awal berkuasa (Maret 1966) pemerintah tidak memiliki cadangan beras, sedangkan tingkat produksi dalam beberapa tahun terakhir merosot drastis, maka melalui Repelita I tahun 1969 pemerintah bertekad mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun (hlm 127).

Grafiti Presiden kedua RI Soeharto terpampang di gang Jalan Pedati, Kota Depok, Jawa Barat, Senin (21/5/2012). Pemimpin Orde Baru tersebut resmi mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998, yang menandai lahirnya era Reformasi.
Pembangunan
Bagaimana di sisi keuangan? B Wiwoho selain sebagai wartawan yang pernah bertugas meliput kegiatan kepresidenan juga general assignment reporter. Wartawan yang harus siap setiap saat meliput segala macam hal, bukan hanya bertugas meliput satu bidang saja. Penulis beberapa kali menggantikan wartawan lain yang bertugas di pos perbankan, khususnya Bank Indonesia. Salah satunya meliput ”gerakan menabung” yang dicanangkan oleh Gubernur Bank Indonesia waktu itu, Radius Prawiro.
Sejalan dengan upaya mengendalikan inflasi yang sempat mencapai 650 persen, bank-bank mendapat tugas untuk berada di barisan terdepan dengan strategi memengaruhi masyarakat yang mampu agar tidak sembarangan membelanjakan uangnya untuk menekan jumlah peredaran uang. Pemerintah menganjurkan agar uang masyarakat ditabung di bank untuk menambah likuiditas perbankan dan selanjutnya bisa disalurkan ke investasi yang produktif.
Disinggung juga aspek pembangunan manusia yang menjadi fokus kabinet saat itu. Dalam hal pembangunan manusia banyak kemajuan yang dicapai di bidang kesehatan masyarakat dan keluarga berencana, tetapi tidak demikian halnya di bidang pendidikan yang hanya berhasil mencetak banyak sarjana dan bukan tenaga terampil yang justru berguna untuk smart technology di masa depan.
Mengenai produksi minyak Indonesia, sebagai wartawan, ia menulis ”Saya terperangah menyaksikan bagaimana tiba-tiba instansi-instansi pemerintah berlomba pesta, belanja barang dengan gampang.
Mengenai produksi minyak Indonesia, sebagai wartawan, ia menulis ”Saya terperangah menyaksikan bagaimana tiba-tiba instansi-instansi pemerintah berlomba pesta, belanja barang dengan gampang. Sebentar-sebentar upacara, kunjungan kerja dengan rombongan besar termasuk wartawan. Klub-klub malam, pelacuran-pelacuran kelas menengah atas yang berkedok panti pijat dan klub malam, restoran dan pembangunan hotel tumbuh bak jamur di musim hujan” (hlm 276).
Hal lain yang menarik dari buku ini adalah pada bab terakhir yang berjudul ”Saatnya Rakyat Jadi Majikan Pemerintah”. Kalimat yang cukup menggelitik pada bagian itu tertulis demikian: ”Kita semua tanpa kecuali, sejak bayi dalam kandungan hingga masuk ke liang kubur, sudah harus terpaksa membayar pajak. Vitamin, obat-obatan, makanan bergizi yang dibeli oleh seorang ibu guna menjaga pertumbuhan bayi di dalam kandungannya, harus atau sudah termasuk membayar PPN. Sungguh benar joke yang menyatakan, manusia tidak bisa menghindar dari dua hal, yaitu kematian dan pajak. Karena semua yang kita konsumsi dan yang menempel di tubuh kita, meski sudah jadi jenazah, tanpa kita sadari sudah harus membayar pajak” (hlm 335).
Lugas namun Lentur
Membaca tulisan B Wiwoho yang sarat dengan peristiwa sejarah, dalam arti kejadian-kejadian yang memberi warna dalam perjalanan Republik tercinta ini, sungguh tidak membosankan. Penulis berhasil menyusunnya dalam kalimat bertutur yang enak untuk diikuti (bahkan juga dalam menyajikan data angka). Kalimat-kalimatnya pendek. Kata-kata yang dipilih juga sederhana sehingga mudah dicerna.
Sejumlah peristiwa menarik yang sempat dicatat B Wiwoho bisa ditemukan pada buku jilid dua dan tiga, misalnya tentang RUU Perkawinan, kejatuhan Soeharto, dan pertemuan penulis dengan Prabowo.
Pembaca seyogianya membaca tiga buku yang diterbitkan sebagai berkesinambungan sebagai trilogi, agar memahami keseluruhan bangun gagasan B Wiwoho tentang ”Tonggak-tonggak Sejarah Orde Baru”. Kuatkah tonggak itu? Atau rapuh? Penilaiannya tentu berpulang pada pembaca masing-masing.
Adapun pesan yang ingin disampaikan penulis dari buku ini adalah ingin menyodorkan sebuah timbangan yang tidak berat sebelah, tidak njomplang, dan ingin mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan Orde Baru dari sisi buruk dan baiknya.
Sedikit catatan terkait kekurangan buku ini, ditemukan beberapa kesalahan ejaan dan tanda baca. Tetapi, hal ini bisa dimengerti karena edisi ini masih dicetak terbatas yang perlu diperbaiki jika akan dicetak untuk umum.
Threes Emir, Penulis Buku

Sampul buku Jatuh Bangun Strategi Pembangunan
Judul buku: Jatuh Bangun Strategi Pembangunan
Penulis: B Wiwoho
Penerbit: Elmatera Publishing
Tahun cetak: I, tahun 2021
Jumlah halaman: xlix + 375 halaman
ISBN: 978-623-223-198-6