Meski tak pernah jadi pengurus NU, KH Muhammad Kholil memiliki jasa sangat signifikan dalam pendirian NU. Ulama yang biasa disebut Syaikhona Kholil ini memiliki andil signifikan dalam pola keberagamaan yang dianut NU.
Oleh
ABD A'LA
·4 menit baca
Pada tanggal 16 Rajab 1443 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 17 Februari 2022, Nahdlatul Ulama (NU) berusia 99 tahun berdasar kalender Hijriyah, atau ke-96 pada tanggal 31 Januari lalu menurut kalender Masehi. Saat kelahiran NU, 16 Rajab 1344 Hijriyah, tahun masehinya 31 Januari 1926.
Menjelang usia satu abad ini, layak mengenang jasa para tokoh yang sangat berperan dalam kelahiran organisasi ini. Sejujurnya, NU tidak bisa dilepaskan dari peran KH Muhammad Kholil dari Bangkalan. Kendati tidak pernah masuk struktur kepengurusan NU, karena wafat hampir satu tahun sebelum organisasi ini didirikan, ulama yang biasa disebut Syaikhona Kholil itu memiliki jasa sangat signifikan dalam pendirian organisasi keagamaan ini.
Salah satu peran besarnya terletak pada restu dan izin Syaikhona kepada KH Hasyim untuk mendirikan organisasi sosial keagamaan yang kemudian diberi nama NU. Restu itu disampaikan melalui dua penanda. Salah satunya berupa pemberian tongkat dan pembacaan Alquran surat Thoha ayat 17 sampai 23 tentang dialog Allah dengan Nabi Musa (as) mengenai kegunaan tongkat yang dipegang sang Nabi. Penanda lainnya berupa hadiah tasbih. Sebelum ada isyarat tersebut, KH Hasyim yang sempat ragu menjadi mantap untuk mendirikan NU.
Tampaknya Syaikhona bukan hanya berperan dalam pemberian izin, ia juga memiliki andil signifikan dalam pola keberagamaan yang dianut salah satu organisasi terbesar tersebut. Sejarah memperlihatkan, KH Kholil dikenal sebagai ulama pesantren yang berhasil dengan cemerlang meneguhkan sinergitas ajaran fiqh (hukum Islam) dan nilai-nilai tasawuf sufistik. Fiqh sufistik yang menjadi karakteristik Islam pesantren itu kemudian juga dikembangkan di NU.
Ortodoksi fiqh dengan sentuhan tasawuf itu menjadikan watak Islam yang dari awalnya memang mengusung moderasi tampak kelihatan dengan jelas. Karakteristik ini kian membumi kokoh saat Syaikhona bersama Kiai Soleh Darat Semarang menyusun kaidah penulisan huruf pegon; tulisan Arab untuk bahasa Jawa, Sundan, dan Madura (Bizawie: 2016). Pembakuan pegon ini senyatanya menampakkan selain watak Islam moderat, juga terjadinya kontekstualisasi Islam ke dalam konteks lokal, bumi Nusantara.
Lebih dari itu, KH Kholil telah mempersiapkan tokoh Islam yang akan menjadi pemimpin umat Islam - khususnya di kalangan Pesantren NU - dan Indonesia di masa depan. Ia mendidik para santri bukan hanya dengan ilmu agama semata. Ia juga menggembleng mereka dengan tata bahasa, gramatika, dan leksikon bahasa Arab. Dengan demikian, para santri akan menguasai ilmu keagamaan Islam berdasar pada sumber asli dan khazanah intelektual Islam klasik yang benar-benar mumpuni.
Tentu bukan kebetulan, terbukti semua santri Syaikhona menjadi ulama besar dan nyaris semua menjadi pimpinan NU pada masanya. Mereka menyebar di berbagai daerah, mulai dari daerah tapal kuda, mataraman, sepanjang pantura, Yogyakarta dan sekitarnya, Cirebon dan sekitarnya, Jambi dan Palembang, Borneo, hingga di Nusantara barat.
Lebih dari itu, KH Kholil telah mempersiapkan tokoh Islam yang akan menjadi pemimpin umat Islam - khususnya di kalangan Pesantren NU - dan Indonesia di masa depan.
Watak kebangsaan NU
Watak keberagamaan NU yang moderat mengantarkan NU memiliki pandangan yang mencerahkan mengenai konsep kebangsaan. Pandangan NU mengenai Indonesia dengan dasar Pancasila sebagai bentuk final bagi Indonesia bukan sekadar persoalan politik. Namun pandangan yang dirumuskan di Munas NU 1983 dan dikukuhkan di Muktamar NU 1984 ini juga memiliki dasar keagamaan yang dapat dipertanggungjawabkan dan sebagai implementasi ajaran Islam.
Dasar keagamaannya mengacu kepada dalil dalam kaidah fiqh, seperti manakala suatu kewajiban tidak bisa dicapai sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu menjadi wajib. Mengemban kemaslahatan umat dan bangsa merupakan kewajiban. Hal ini tidak akan bisa diraih secara sempurna manakala tidak ada kesepakatan di antara unsur-unsur bangsa yang beragam.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila diyakini sebagai syarat karena ideologi ini merupakan bentuk kesepakatan bangsa. Oleh karena itu menerima Pancasila juga merupakan kewajiban.
Sepanjang sejarah yang dilalui, komitmen NU terhadap kebangsaan semacam itu memang tidak diragukan lagi. NU dengan strategi yang dikembangkan tidak pernah sebersit pun mengkhianati bumi pertiwi ini. Pada saat yang sama, NU tidak pernah kehilangan sikap kritisnya terhadap Pemerintah. Hal itu selalu dimunculkan saat kebijakan pemerintah dianggap berlawanan dengan prinsip yang dianut NU, atau kepentingan bangsa.
Pola keberagamaan yang dianut NU tersebut memiliki benang merah yang terjalin kuat yang salah satu simpul utamanya berada pada pandangan keagamaan Syaikhona. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, para pendiri dan generasi penerus NU yang terus dilestarikan hingga kini.
NU yang sebentar lagi akan merayakan satu abad kelahirannya niscaya bukan hanya melestarikan konsep kebangsaannya, tetapi juga mengembangkannya sebagai salah satu bagian intrinsik dari pandangan bangsa. Untuk itu, pemikiran para ulama dan tokoh NU perlu dielaborasi dan didialogkan antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lain sehingga menghasilkan suatu pemikiran utuh yang benar-benar berkarakter NU dan Indonesia. Kemudian pemikiran ini dikontekstualisasikan ke dalam kondisi Indonesia kekinian.
Pada sisi itu, pemikiran Syaikhona sebagai salah satu tokoh utama pesantren yang memiliki warisan besar bagi NU dan Indonesia sangat signifikan diangkat. Pandangannya yang mampu mengantarkan seluruh santrinya menjadi ulama dan pejuang kemerdekaan sangat layak untuk dielaborasi dan dikembangkan ke depan. Pada gilirannya, pemikiran kebangsaan NU ini perlu dilabuhkan secara berkelanjutan ke depan.
Abd A’la, Rois Syuriah PBNU; Khadim Pesantren Annuqayah Latee Sumenep; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya