Melihat Perguruan Tinggi secara Positif
Tak dapat dimungkiri bahwa di setiap PT terjadi dinamika, tarik-menarik antara mereka yang menghendaki perubahan dan mereka yang telah merasa nyaman dengan keadaan yang berlangsung selama ini. Kepemimpinan jadi penentu.
Menyikapi perubahan global yang begitu dahsyat, terjadi polarisasi di antara para penanggung jawab, pengelola, dan para peserta pendidikan tinggi (PT).
Di Indonesia, polarisasi terasa hangat, bahkan kadang terlihat panas dan bahkan ganas. Jika bukan di permukaan yang berfokus pada debat kebijakan, misalnya tentang kebijakan Kampus Merdeka, polarisasi itu lebih terasa di lapangan, diwarnai oleh keengganan, kecemasan, atau resistensi.
Bersyukur bahwa lebih banyak jumlah mereka yang tidak terlibat secara serius dalam perdebatan kebijakan maupun implementasi kebijakan tersebut.
Lebih bersyukur lagi karena banyak juga yang menerima dan menyambut antusias tuntutan transformasi pendidikan tinggi sebagai respons terhadap perubahan yang dahsyat tersebut. Mereka ini umumnya berusia dan berjiwa muda dan progresif, baik dengan peran struktural, maupun fungsional dosen. Sebuah indikasi positif.
Wujud perubahan global adalah revolusi teknologi dan intrusi digital. Selain berakibat pada masifikasi dan diversifikasi produk oleh dunia usaha dan dunia industri (DUDI), digitalisasi teknologi juga memungkinan privatisasi produk, termasuk dalam aspek sosial-humaniora.
Disrupsi jadi diksi magis yang jika dilihat secara negatif telah menghasilkan VUCA ( volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity).
Disrupsi jadi diksi magis yang jika dilihat secara negatif telah menghasilkan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Jika ditambahkah persoalan lain berupa degradasi lingkungan hidup (pemanasan global) dan pandemi Covid-19, maka telah terjadi kekalutan tingkat tinggi di berbagai kelompok masyarakat, termasuk PT.
Untungnya, banyak juga yang melihat bahwa disrupsi menghadirkan peluang, menumbuhkan kreativitas dan inovasi, meningkatkan kegesitan, melahirkan pemenang-pemenang baru. Ini pertanda positif lainnya.
Menarik, dan sekaligus baik, bahwa semua penggiat pendidikan tinggi mengkhawatirkan bahaya disrupsi negatif itu dan sama-sama tak menghendakinya. Tentu semakin baik dan jauh lebih penting ketika para penanggung jawab dan pengelola PT melihat sisi positif yang diusung oleh disrupsi tersebut. Ini menjadi titik tolak melihat pendidikan dan PT di Indonesia secara positif dan optimistis.
Baca juga : Perguruan Tinggi Biang
Kampus ”tidak merdeka”
Sikap positif dan optimistis melihat PT boleh jadi akan tergerus oleh beberapa faktor. Dua faktor utama adalah keengganan berubah dan ketatnya regulasi oleh pemerintah (Satryo Brodjonegoro, Kompas, 29/1/2022). Keengganan berubah merupakan faktor internal PT. Tak dapat dimungkiri bahwa di setiap PT terjadi dinamika, tarik-menarik antara mereka yang menghendaki perubahan dan mereka yang telah merasa nyaman dengan keadaan yang berlangsung selama ini.
Kepemimpinan jadi penentu. Apabila pimpinan PT (termasuk yayasan untuk PTS) lebih menomorsatukan kenyamanan dan menomorduakan perubahan dan pengembangan, peluang untuk menjadi pemenang akan hilang menguap.
Ketidakmerdekaan kampus juga terjadi karena faktor eksternal. Ini sebagian besar berasal dari berbagai regulasi pemerintah yang menetapkan berbagai norma dan standar yang harus dipatuhi oleh semua PT.
Regulasi yang bersifat otoritatif (mengikat) ini mengakibatkan penyeragaman dan keseragaman semua PT. Regulasi semacam ini mencakup standar input (kualifikasi dosen, mahasiswa, gedung), proses (kurikulum dan metode pembelajaran), output (berupa persentase kelulusan, waktu studi, besaran SKS dan IPK), outcome (tingkat keterserapan lulusan, publikasi plus sitasi dan jurnal scopus), dan impact (H-index, kontribusi terhadap dunia industri dan pembangunan masyarakat).
Standardisasi semacam itu telah membebani PT, tak saja secara substansial, tetapi lebih-lebih secara administratif.
Tidak cukup ruang bagi setiap PT untuk menunjukkan kelebihan atau keunggulannya secara diferensial, tetapi lebih banyak bersifat komparatif (atas ukuran yang sama). Dalam konteks ”kampus tidak merdeka” (secara internal dan eksternal), sangat sulit menjaga sikap positif dan optimistis menanggapi disrupsi global.
Kampus Merdeka
Sebaliknya, kebijakan MBKM (baca: Kampus Merdeka) menggelorakan sikap positif dan optimisme terhadap PT. Memasuki tahun ketiga implementasi Kampus Merdeka (sejak dicanangkan pada Januari 2020), makin luas penerimaan, makin nyata gerak langkah perubahan, dan makin terlihat hasil yang diperoleh PT. Salah satu program penting dari edisi pertama kebijakan Kampus Merdeka adalah pemberian hak kepada mahasiswa untuk belajar sampai tiga semester di luar program studi (prodi) dan PT-nya.
Sejumlah mahasiswa yang telah memanfaatkan kesempatan itu memberi testimoni yang sangat positif. Dan untuk mengakomodasi hak itu, setiap prodi wajib dan telah melakukan penyesuaian (amendemen) kurikulum yang harus mengadopsi 8-10 jenis kegiatan yang dapat dipilih mahasiswa.
PT pun telah melakukan berbagai penyesuaian dan fasilitasi institusional dalam rangka implementasi Kampus Merdeka.
Walau masih diwarnai perdebatan internal, determinasi pimpinan PT sangat menentukan kecepatan, kedalaman, dan keluasan implementasi Kampus Merdeka. Akselerasi didapatkan melalui edisi berikutnya (2021) dari kebijakan Kampus Merdeka berupa penyediaan fasilitasi, pembiayaan, dan insentif bagi prodi dan PT.
Di antaranya, melalui hibah kompetisi, hibah kemitraan, bantuan pembiayaan yang mendukung program pertukaran mahasiswa, IISMA, ICT, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu, imbauan dan ajakan ke lembaga pemerintahan lain, BUMN dan DUDI juga gencar dilakukan untuk menerima para mahasiswa melakukan magang atau praktik kerja dan kepada para pimpinan PT untuk melakukan program pertukaran mahasiswa di antara sesama PT.
Keberlanjutan transformasi sering kali sangat dipengaruhi ketersediaan sumber daya dan insentif.
Konsolidasi internal dan pengembangan kolaborasi eksternal PT akan jadi agenda utama di tahun ketiga dan keempat kebijakan Kampus Merdeka. Dua tantangan konkret yang harus dihadapi adalah pelembagaan (institutionalization) dan keberlanjutan (sustainability) transformasi yang diusung oleh kebijakan Kampus Merdeka.
Agar tak jadi program ad hoc (yang dikhawatirkan sebagai program sementara atau tergantung menterinya), PT dituntut secara konsisten melakukan transformasi. Ini hanya bisa berjalan hanya jika PT benar-benar menerima, mengakui, dan menyelami tujuan, esensi dan spirit dari kebijakan Kampus Merdeka. Kesetiaan pada tujuan PT sebagaimana ditetapkan dalam UU Dikti dan komitmen pada kesiapan menjawab disrupsi secara positif merupakan bagian penting pelembagaan transformasi.
Keberlanjutan transformasi sering kali sangat dipengaruhi ketersediaan sumber daya dan insentif. Dalam konteks ini setiap PT diharapkan mampu mengelola dan menyediakan sendiri fasilitasi-fasilitasi itu bilamana suatu saat nanti Kemendikbudristek tak lagi menyediakannya.
Mengatasi tantangan ini terdapat dua strategi yang mungkin ditempuh, yaitu kolaborasi yang kian intensif dan ekstensif dengan mitra kerja sama PT (seperti BUMN/D dan DUDI). Di sini pembiayaan pendidikan tinggi dapat ditanggung bersama dengan dunia industri.
Baca juga : ”Mencari Kebahagiaan” Kampus (Merdeka)
Alternatif kedua adalah PT dituntut untuk melakukan restrukturisasi atau perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ini tampaknya tak mudah, apalagi untuk PTS, karena sumber dayanya sebagian besar dari uang kuliah mahasiswa.
Mendiversifikasi dan memperbesar penerimaan di luar uang kuliah menjadi tantangan berat agar dapat menjamin para dosen dan tenaga kependidikan dapat melakukan tanggung jawabnya secara profesional serta memastikan ketersediaan infrastruktur pendidikan dengan kualitas yang baik pula.
Sebagai catatan akhir, jika semua setia dengan tujuan pendidikan tinggi, yakni menghasilkan lulusan yang kompeten, berdaya saing, dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara, maka perihal strategi, program atau cara untuk mewujudkannya bukanlah sesuatu yang harus menyurutkan tekad bersama.
Ungkapan ”seribu jalan menuju Roma” mungkin harus dilengkapi dengan ”seberapa cepat sampai di Roma”. Karena, bagaimanapun transformasi tetap harus memperhitungkan waktu. Dan untuk itu, kemerdekaan kampus secara diferensial merupakan syarat penting untuk tetap positif dan optimistis.
Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Katolik Parahyangan