PR Otonomi Daerah 2022
Politik resentralisasi ala Jokowi yang pernah jadi Wali Kota Solo adalah sebuah langkah mundur otda. Jokowi hanya punya waktu efektif sekitar dua tahun mengerjakan pekerjaan rumah (PR) otda (2022 dan 2023).
Menata otonomi daerah tidak bisa sekali jadi. Ia proyek besar negara yang berlanjut terus dari waktu ke waktu, dari satu presiden ke presiden yang lain.
Pada era awal reformasi adalah Presiden BJ Habibie yang mempromosikan otonomi daerah (otda) habis-habisan lewat kebijakan UU No 22/1999 tentang Pemda, di mana daerah dapat kewenangan yang sangat besar.
Terjadi dentuman desentralisasi yang dahsyat (big bang of decentralization). Antitesis dari penerapan sentralisasi selama 25 tahun oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto (UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah). Presiden Abdurrahman Wahid, pemimpin pertama yang membuka keran otonomi khusus bagi Aceh (UU No 18/2001 tentang NAD) dan Papua (UU No 21/2001).
Presiden Megawati Soekarnoputri mengubah pilkada dari tak langsung (DPRD) jadi langsung oleh rakyat dan mengenalkan pembagian urusan pemerintahan secara konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (UU No 32/2004 tentang Pemda). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi pengakuan konkret sebagai daerah istimewa kepada Provinsi DIY (UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY), menguatkan keberadaan otonomi khusus Aceh (UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh), menerbitkan pengaturan pilkada yang terpisah dari UU Pemda (UU No 22/2014 tentang Pilkada), dan memperjelas pembagian urusan pemerintahan konkuren sehingga lebih clear cut dan clear guidance, tak overlapping (UU No 23/2014 tentang Pemda).
Menata otonomi daerah tidak bisa sekali jadi.
Saat ini Presiden Jokowi baru saja mengukir kebijakan “bedol” ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur (UU IKN). Jokowi juga telah memutuskan meniadakan Pilkada Serentak 2022 (101 daerah) dan 2023 (171 daerah) serta menggelar one day election alias pilkada serentak nasional pada 27 November 2024 (541 daerah) sesuai dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Konsekuensinya, kekosongan jabatan kepala daerah akan diisi pejabat struktural ASN eselon I (JPT Madya) untuk 25 gubernur dan eselon II (JPT Pratama) untuk 247 bupati dan wali kota. Jokowi telah berhasil pula merevisi UU No 2/2001 tentang Otsus Papua dengan menerbitkan UU No 2/2021 yang menaikkan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen plafon DAU nasional, dan melapangkan jalan pemda di sana.
Bahkan, UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemda yang telah belasan tahun bercokol bisa diganti jadi UU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (UU No1/2022) yang lebih mendorong tertib anggaran dan kemandirian fiskal daerah.
Baca juga: Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah Berpotensi Langgar Aturan
Pilkada 9 Desember 2020 di 270 daerah bisa pula digelar kendati Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Sayangnya, tahun lalu Jokowi batal memperbaiki UU No 10/2016 tentang Pilkada yang berbiaya mahal, dan telah menjerumuskan 446 kepala daerah/wakil kepala daerah ke penjara karena terjerat kasus korupsi. Pembahasannya di Baleg DPR tak dilanjutkan tanpa alasan jelas. Dikhawatirkan hasil Pilkada Serentak 2024 tidak dapat menghilangkan perilaku koruptif kepala daerah.
Deotonomisasi melalui penarikan kewenangan pertambangan ke pusat (UU No 3/2020) dan aneka perizinan melalui UU No 11/2020 tentang Omnibus Law Cipta Kerja serta penyeragaman sistem informasi pemda telah melemahkan semangat orang-orang pemda menyelenggarakan urusan rumah tangganya. Ruang gerak otonomi jadi kian menyusut.
Politik resentralisasi ala Jokowi yang pernah jadi Wali Kota Solo adalah sebuah langkah mundur otda. Jokowi hanya punya waktu efektif sekitar dua tahun mengerjakan pekerjaan rumah (PR) otda (2022 dan 2023). Sementara pada Pemilu 2024, pemerintahannya tentu sudah memasuki fase lameduck alias tak bisa membuat kebijakan strategis lagi.
Ada tiga PR penting yang mesti dikerjakannya dengan baik pada 2022 di tengah-tengah naiknya suhu politik pilpres, pileg, dan pilkada, serta belum usainya perang melawan Covid-19 dan terbatasnya keuangan negara.
PR IKN baru
PR pertama, menerbitkan berbagai peraturan pelaksanaan dari UU IKN, mulai dari 5 PP, 5 perpres, dan 4 keppres. Paralel dengan itu diisi pula struktur organisasi Otorita Nusantara (Otnus), yaitu gubernur dan wakil gubernur IKN yang masing-masing merangkap sebagai kepala dan wakil kepala Otnus beserta segenap perangkatnya. Paling tidak 100-200 pegawai harus diangkat pada tahap awal ini untuk jadi karyawan Otnus guna mengurus pembangunan, pemindahan, dan penyelenggaraan pemerintahan IKN Nusantara yang direncanakan dimulai semester I-2024.
Kantor dan dana operasional Otnus sudah harus pula disediakan. Begitu pula dana pembangunan fisik IKN untuk 2022, baik dari sumber APBN yang konon belum tersedia maupun non-APBN.
Pelaksanaan pembangunan fisik IKN, seperti istana, gedung parlemen/lembaga tinggi negara, serta kantor kementerian beserta sarana dan prasarana penunjang, bisa dilakukan oleh Otnus atau kementerian/lembaga (K/L) yang ditugasi Presiden. Berarti, Presiden mesti menjadi ”mandor” agar semua aktivitas berjalan dengan serasi dan sesuai dengan target.
Kerepotan kerja itu, ditambah pula dengan tugas Presiden untuk menyiapkan RUU tentang Provinsi Jakarta dengan kewenangan khusus di bidang ekonomi-bisnis sebagai pengganti UU No 29/2007 tentang DKI Jakarta . Tentu Presiden yang pernah di kursi DKI-1 akan mencurahkan perhatian agar mantan IKN Jakarta tak binasa (tenggelam) bila ditinggalkan. Memang, sesuai teori local acts, draf awal RUU itu disiapkan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan, tetapi pengajuannya ke DPR dilakukan Presiden. Suara warga Jakarta dan masyarakat Betawi perlu didengar Presiden dalam penyiapan RUU ini. Konsultasi publik hendaknya disediakan waktu cukup.
Suara warga Jakarta dan masyarakat Betawi perlu didengar Presiden dalam penyiapan RUU ini.
PR angkat penjabat
PR kedua, Presiden mulai Mei hingga Desember 2022 harus mengangkat 101 penjabat (Pj) kepala daerah (8 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota) dari pejabat struktural ASN. Para pegawai negeri (PNS) ini didrop dari pemerintah atasan (pusat atau provinsi). Mereka akan memimpin pemda untuk waktu yang lama rata-rata bilangan tahun, bahkan ada yang sampai mendekati tiga tahun.
Tugasnya tidak saja mengerjakan rutinitas pemerintahan, seperti pelayanan publik, tetapi juga menjalankan pembangunan daerah, menangani Covid-19, memulihkan ekonomi, memfasilitasi kelancaran jalannya pemilu dan pilkada serentak nasional, serta menetapkan APBD bersama DPRD. Untuk daerah seperti Papua, Pj kepala daerah dari PNS itu juga harus mengurus konflik.
Sementara hingga Februari ini aturan main yang jelas terkait seleksi dan pelatihan bagi ASN yang akan jadi Pj KDH dalam waktu lama akibat kekosongan jabatan kepala daerah/wakil belum ada. Sampai terdengar suara dari Senayan agar DPR dilibatkan dalam fit and proper test calon Pj kepala daerah agar jangan terjadi penyimpangan dalam pengangkatannya, seperti ”orang titipan”, intervensi kekuasaan, dan praktik suap.
Karena itu, Presiden perlu menerbitkan regulasi setingkat PP untuk menghindari kegaduhan pengangkatan Pj kepala daerah pada musim pemilu yang sarat kepentingan. Akan lebih afdal bila diterbitkan saja perppu untuk perpanjang masa jabatan kepala daerah dan wakil apabila terjadi kekosongan hingga dilantiknya kepala daerah terpilih hasil Pilkada Serentak Nasional 2024. Itu karena lebih aman, demokratis, efektif, dan praktis atau tak ”ribet”. Terhindar dari berbagai tuduhan fraud, legitimasinya kuat (hasil pilkada lalu di daerah itu), dan berpengalaman panjang memimpin pemda, termasuk pada masa pandemi.
Baca juga: Masa Jabatan Penjabat Kepala Daerah yang Terlalu Lama Berisiko
PR pemekaran Papua
PR ketiga, konsekuensi dari diterbitkannya UU No 2/2021 tentang Otsus Papua, Presiden tidak saja harus mengalokasikan dana Otsus 2,25 persen dari plafon DAU nasional di APBN 2022, tetapi juga mesti siap-siap menerima usulan pemekaran daerah. Padahal, sejak 2014, keran pemekaran daerah distop (moratorium).
Isu yang berkembang di publik, provinsi di Papua akan bertambah dari dua jadi enam. Provinsi Papua sebagai provinsi induk akan dipecah jadi empat: Papua, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan. Provinsi Papua Barat dibelah dua: Papua Barat dan Papua Barat Daya. Keempat provinsi baru itu, menurut rencana, akan dibentuk pada 2022. Pada 2023 awal sudah diangkat empat Pj gubernur dari ASN. Targetnya, keempat provinsi baru sudah mengikuti pilkada serentak nasional pada November 2024. Pembentukan provinsi di Papua, mekanismenya tak melalui tahapan daerah persiapan (provinsi administratif) sesuai dengan UU No 23/2014 tentang Pemda , tetapi dikecualikan sebagaimana diatur dalam UU No 2/2021 tentang Otsus Papua.
Karena itu, Presiden perlu menerbitkan regulasi setingkat PP untuk menghindari kegaduhan pengangkatan Pj kepala daerah pada musim pemilu yang sarat kepentingan.
Pemerintahan Jokowi tentu harus merogoh kantong lebih dalam guna membiayai keempat provinsi baru itu. Memang, ada bantuan dari provinsi induk kepada provinsi baru selama beberapa tahun, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Pemerintah pusat juga harus siap-siap menghadapi gelombang tuntutan sejumlah daerah di seluruh Indonesia yang akan minta pemekaran. Sekali keran moratorium pemekaran dibuka, daerah akan berlomba-lomba mengejarnya. Mereka tak mau tahu bahwa Papua bisa dimekarkan karena berstatus otsus sehingga boleh ada dispensasi.
Di Provinsi Sumatera Utara, mereka sudah lama ingin memekarkan provinsi itu jadi enam. Di Jawa Barat, puluhan kabupaten dan kota baru didesakkan elite untuk dibentuk. Begitu pula di daerah lain. Alhasil, dari diskusi ketiga PR itu, boleh jadi tahun politik 2022 akan kian ingar-bingar. Padahal, pakemnya, kalau mau pemilu, pemerintah jangan bikin kebijakan yang ”aneh-aneh”.
Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, Dirjen OTDA 2010-2014, Pendiri i-OTDA