Arah Pembangunan Jangka Panjang
Semua pihak mesti berupaya agar arah pembangunan jangka panjang Indonesia 2026-2045 ini terwujud: pemerintah, masyarakat sipil, media, akademisi, ataupun partai politik (parpol).

Indonesia punya mimpi: menjadi negeri besar pada tahun 2045 dengan ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia. Tak ada yang salah dengan mimpi itu. Ia justru harus diwujudkan. Pertanyaannya: bagaimana caranya? Saat Covid-19 melanda, kita khawatir capaian pembangunan terpuruk berantakan. Dan memang itu pernah terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang dijaga stabil di kisaran lima persen selama lebih dari setengah dasawarsa, anjlok hingga minus 2,07 persen.
Kemiskinan yang pertama kalinya dalam sejarah bisa ditekan hingga satu digit, kembali melejit di 10,14 persen. Demikian pula pengangguran yang naik kembali ke kisaran 7 persen, semuanya di masa pandemi. Namun, negeri ini mencoba bangkit lagi. Memasuki 2022, ekonomi kembali tumbuh meski baru 3,69 persen; kemiskinan sudah kembali ke tingkat prapandemi; dan pengangguran berkurang ke kisaran 6 persen.
Upaya bangkit dari pandemi tentu patut dipuji. Tapi, untuk meraih mimpi 2045, butuh kerja lebih keras. Tantangan mewujudkan mimpi itu besar dan bukan main-main. Butuh komitmen, kesungguhan, dan disiplin teknokratis dan politis yang tinggi. Sisa 20 tahun menuju 2045 bukan waktu yang lama untuk melakukan langkah-langkah dan perubahan mendasar. Apalagi kalau merefleksikan apa yang tengah terjadi dalam realm (dunia) pembangunan kita.
Tantangan mewujudkan mimpi itu besar dan bukan main-main.
Pembangunan dan rencana pembangunan
Bangunan ekonomi negeri ini belum sepenuhnya ditopang oleh ekonomi nilai tambah, tetapi masih lebih mengandalkan jual-beli komoditas dan industri alas kaki. Pembelahan sosial akibat kontestasi politik yang diperparah dengan sentimen agama dan ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi kini makin menantang untuk dijembatani.
Inklusi baik secara sosial, ekonomi, maupun politik menghadapi tantangan makin besar. Perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi perubahan iklim belum diarusutamakan menjadi agenda dan perspektif kunci kebijakan pembangunan. Hukum dan tata kelola juga belum mampu membawa keadilan bagi semua warga.
Karena itu, tidak ada cara lain meraih cita-cita Indonesia 2045 selain menurunkannya dalam arah pembangunan jangka panjang yang strategis. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 segera berakhir dan negeri ini mesti segera punya rencana selanjutnya: 2026-2045. Rencana 2026- 2045 ini akan menjadi rencana pembangunan paling strategis sekaligus kritis karena ia menentukan apakah cita-cita Indonesia 2045 bisa diwujudkan, atau hanya mimpi di angan-angan.
Baca juga : Tantangan Merawat Harapan
Maka, meski tengah sibuk membangun kembali ekonomi dan menangani pandemi, serta memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, penyusunan arah pembangunan jangka panjang mesti juga segera jadi prioritas.
Penyusunan arah pembangunan bukan hanya soal teknokratis, melainkan sudah menjadi perkara politis. Ini penting dipahami karena pembangunan jangka panjang butuh perumusan visi (envisioning) dan perencanaan (planning): arah yang jelas dan orientasi yang tegas agar target bisa dicapai lewat rencana dan kebijakan pembangunan.
Memang, visi dan arah biasanya terkait pada orientasi politis, sedangkan rencana umumnya terkait pada implementasi teknokratis. Namun, kita tahu bahwa urusan teknokratis amat tergantung pada perkara politis. Konkretnya, siapa yang nanti berkuasa: partai mana yang memenangi pemilu dan siapa yang terpilih jadi kepala negara akan ikut menentukan rencana pembangunan nanti akan seperti apa.
Karena itu, perumusan arah pembangunan jangka panjang ini menjadi sentral karena menjadi upaya negeri ini membentuk masa depannya sendiri. Di sini, ada dua pokok yang perlu diperhatikan: tantangan dan prinsip.

Didie SW
Tantangan struktural
Pokok pertama: tantangan struktural pembangunan. Dari refleksi atas dinamika pembangunan selama ini, setidaknya ada enam tantangan yang akan dihadapi pada tahun 2026-2045.
Pertama, kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan. Ada kemandekan dan kemunduran demokrasi. Pada 2020, Indeks Demokrasi Indonesia ada di posisi terendah dalam 14 tahun terakhir dan negeri ini berisiko tergelincir dari kategori flawed democracy ke hybrid regime (Economist Intelligence Unit, 2020). Di tahun yang sama, Indeks Persepsi Korupsi stagnan di skor 37 dari 100 dan peringkat ke-102 dari 180 negara (Transparency International, 2020).
Indeks Kebebasan Pers masih mengalami fluktuasi sejak 2010, media banyak dinilai kurang bebas dan plural jika dibandingkan dengan periode pertama reformasi (Power, 2018). Kualitas institusi yang kurang baik ini mengakibatkan perburuan rente. Karena itu perlu penguatan kapasitas negara (state capacity) untuk memastikan kinerja negara dalam melayani dan menjamin kebebasan warga (Nugroho, 2021).
Karena itu perlu penguatan kapasitas negara (state capacity) untuk memastikan kinerja negara dalam melayani dan menjamin kebebasan warga (Nugroho, 2021).
Kedua, rendahnya mobilitas sosial. Mobilitas sosial—yang terkait dengan perubahan status sosial-ekonomi—yang rendah menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan. Tingginya ketimpangan karena rendahnya mobilitas sosial ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. RI mengalami kenaikan ketimpangan pendapatan tercepat di dunia selama dekade 2000-an dengan indeks gini 37,8 pada 2018 (Solt, 2020). Mobilitas sosial rendah ditunjukkan oleh rendahnya pemerataan kesempatan. Dilihat dari tren rasio ketergantungan 2015-2045, Indonesia perlu waspada dengan isu mobilitas sosial ini agar potensi bonus demografi tidak sia-sia.
Ketiga, ketahanan pangan, energi, dan air bersih. Harga makanan dan kebutuhan pokok di Indonesia jauh lebih mahal (sekitar 64 persen) dibandingkan harga internasional, khususnya gula, daging, dan buah-buahan (Marks, 2017). Tingkat elektrifikasi rumah tangga nasional meningkat, tetapi masih banyak orang hidup tanpa akses listrik, kebanyakan di perdesaan dan di luar Jawa. Pada 2020, secara nasional baru 90,21 persen rumah tangga memiliki akses ke air minum layak. Temuan terakhir UNICEF menunjukkan 70 persen air minum rumah tercemar tinja (2022).
Keempat, urbanisasi dan tersierisasi. Pada 2045, 72,9 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan (SUPAS, 2015). Urbanisasi tanpa perencanaan menurunkan kualitas hidup warga: kemiskinan perkotaan, polusi, kemacetan, kualitas lingkungan hidup yang buruk, dan sebagainya. Urbanisasi yang tidak diantisipasi juga berdampak pada ketidakmampuan perkotaan untuk menciptakan lapangan kerja yang baik.
Baca juga : Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil
Urbanisasi di Indonesia jadi salah satu faktor pendorong tersierisasi, yaitu transformasi struktural dari sektor primer dan sekunder ke sektor tersier (jasa). Di negara maju, urbanisasi mendorong sektor manufaktur, tapi di negara berkembang dengan sektor primer dan sekunder yang belum solid, urbanisasi justru mendorong tersierisasi (Yusuf, 2021). Di sini, kita mesti punya strategi.
Kelima, ketergantungan terhadap sumber daya alam (SDA). Ketergantungan ini tecermin dari nilai tambah ekonomi ekspor Indonesia. Meski neraca perdagangan positif, ekspor Indonesia lebih banyak produk primer, produk manufaktur berbasis SDA, dan produk manufaktur dengan intensitas teknologi yang rendah. Sebaliknya, Indonesia lebih banyak melakukan impor produk manufaktur dengan intensitas teknologi menengah dan tinggi.
Terjadi ketergantungan terhadap SDA yang sangat tinggi karena pertumbuhan ditopang oleh likuidasi aset-aset alam. Sepertiga provinsi di Indonesia memiliki genuine saving (indikator pertumbuhan yang ditopang aset alam) negatif. Ini mengindikasikan pembangunan yang tidak berkelanjutan dan berbahaya bagi generasi yang mendatang (Yusuf, 2021).
Terakhir, lingkungan hidup dan perubahan iklim. Dalam kurun 2015-2021, total deforestasi mencapai 2,1 juta hektar (KLHK, 2020). Tahun 2010, studi Economic and Environment Program for South East Asia menghitung indeks kerentanan iklim se-Asia Tenggara dan menemukan bahwa kota-kota di Indonesia merupakan daerah yang paling rentan. Dengan tren saat ini, diproyeksikan pada 2030 Indonesia akan menempati peringkat keenam dunia dalam emisi CO2 (Patunru dan Yusuf, 2016).
Ini enam tantangan struktural yang mesti jadi fondasi dalam merumuskan arah pembangunan masa depan.

Didie SW
Prinsip kebijakan dan rencana pembangunan
Berikutnya, perlu disepakati prinsip dalam menyusun kebijakan dan arah pembangunan jangka panjang. Dalam pembuatan kebijakan dan rencana pembangunan, GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) sering dirujuk. Prinsip ini memastikan agar kebijakan dan rencana pembangunan bisa dinikmati oleh semua. Namun, GEDSI saja tidak cukup. Ada sejumlah prinsip lain yang penting dirujuk.
Pertama, inklusif. Sejalan dengan GEDSI, prinsip ini memastikan bahwa kebijakan dan rencana pembangunan tak hanya soal ekonomi, tetapi juga kesejahteraan yang mencakup pendidikan, kesehatan, standar hidup, keamanan, kesempatan, dan keberlanjutan lingkungan.
Kedua, setara dan adil. Ini menjadi syarat pembangunan yang sukses dan pertumbuhan yang tinggi. Kesetaraan dan keadilan hanya bisa dicapai dengan pemerataan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup individu.
Ketiga, berbasis bukti. Pengetahuan harus diintegrasikan dalam proses pembuatan kebijakan dan perencanaan pembangunan. Kebijakan berdasarkan bukti harus jadi norma dalam kerangka besar tata kelola pemerintahan.
Keempat, tata kelola yang baik (good governance). Sistem pemerintahan yang baik, akuntabel, transparan, terbuka, dan punya jaminan kepastian hukum dan keadilan menjadi syaratnya.
Selain prinsip-prinsip itu, ada sejumlah isu kunci yang bersifat cross-cutting, sebagai bagian tak terpisah dalam kebijakan dan rencana pembangunan.
Selain prinsip-prinsip itu, ada sejumlah isu kunci yang bersifat cross-cutting, sebagai bagian tak terpisah dalam kebijakan dan rencana pembangunan. Satu, inovatif: penciptaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan mesti berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan hidup masyarakat. Dua, kepastian penegakan hukum: hukum harus mampu melindungi seluruh warga masyarakat tanpa intervensi dari pihak mana pun termasuk penyelenggara negara.
Terakhir, partisipatif. Partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dan rencana pembangunan adalah bagian dari upaya mendorong sinergi, bukan penghambat, atau sekadar formalitas.
Melangkah ke depan
Semua pihak mesti berupaya agar arah pembangunan jangka panjang Indonesia 2026-2045 ini terwujud: pemerintah, masyarakat sipil, media, akademisi, ataupun partai politik (parpol).
Perumusan arah pembangunan jangka panjang ini sekaligus adalah langkah teknokratis dan politis. Menganggapnya sebagai sekadar upaya politis akan membuatnya kehilangan teknikalitas dan aspek teknokratis yang menentukan bisa-tidaknya rencana itu dijalankan. Sebaliknya, memandang arah pembangunan 2026-2045 melulu sebagai upaya teknokratis akan membuatnya ”tersesat” dalam belantara teknikalitas dan kehilangan perspektif politis.
Siapa pun yang terpilih memimpin negeri pada 2024 bukan hanya akan menjalankan roda pemerintahan. Ia mesti menjadi pemimpin dengan visi: tak hanya mampu merencanakan pembangunan, tetapi juga bisa mewujudkan mimpi Indonesia masa depan.
Yanuar NugrohoDosen STF Driyarkara Jakarta, Advisor CIPG, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019

Yanuar Nugroho