Lembaga penegak hukum seharusnya tertampar dengan temuan kerangkeng manusia di halaman rumah Bupati Langkat non aktif. Dukungan masyarakat setempat jadi bukti ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum.
Oleh
AMIN MULTAZAM LUBIS
·5 menit baca
Heryunanto
Temuan kerangkeng manusia di halaman belakang rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin-Angin mengejutkan banyak pihak. Semakin menarik ketika masyarakat setempat justru mendukung keberadaan kerangkeng tersebut.
Polemik keberadaan kerangkeng berawal dari operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (18/1/2022) malam. Ketika itu, Perangin-Angin bersama lima orang lainnya menjadi tersangka dugaan suap proyek pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Langkat. Rabu (19/1), KPK bersama kepolisian menggeledah rumah pribadi Perangin-Angin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat. Penggeledahan menghasilkan fakta baru di luar kasus korupsi, yakni temuan kerangkeng manusia.
Meski begitu, informasi keberadaan kerangkeng baru benar-benar terungkap ke publik pada hari Senin (24/1), berkisar empat hari pasca penggeledahan. Adalah Migran Care, organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada perlindungan pekerja migran, yang pertama kali menyampaikan keberadaan kerangkeng manusia di halaman belakang rumah Bupati.
Wacana atas dugaan perbudakan manusia untuk kepentingan bisnis perkebunan Perangin-Angin pun bergulir kencang. Tidak hanya itu, sejumlah dugaan pelanggaran hak asasi manusia lain seperti penyiksaan hingga perampasan kemerdekaan seseorang ikut menyeruak ke permukaan. Di tengah silang sengkarut pendapat, muncul informasi bahwa kerangkeng tersebut adalah tempat rehabilitasi para pengguna narkoba.
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam merehabilitasi pengguna narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) secara tegas menyatakan bahwa kerangkeng di halaman belakang rumah Perangin-Angin bukanlah tempat rehabilitasi. Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, tidak berizin. Kedua, sarana dan prasarana yang tidak sesuai standar kelayakan. Ketiga, nihil program, Keempat, minim personel yang memadai untuk kebutuhan proses rehabilitasi.
Simpulan serupa juga saya dapatkan dari investigasi KontraS Sumatera Utara dan rekan-rekan jurnalis. Kami berpandangan bahwa secara prinsipil, kerangkeng tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai penjara, bukan tempat rehabilitasi. Sebab, orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat (tidak hanya pengguna narkoba) bisa dikirim ke sana, asalkan dengan persetujuan keluarga yang dibuktikan dengan membuat surat pernyataan.
Kompas
Bupati Langkat Diperiksa Terkait Kasus Kerangkeng Manusia
Memudarnya rasa kemanusiaan atau bentuk kefrustasian?
Salah satu cerita menarik dari penemuan kerangkeng manusia adalah perihal besarnya dukungan masyarakat setempat. Saat saya mendatangi lokasi pada Selasa (25/1), puluhan warga sedang berada di lokasi guna menolak penutupan kerangkeng. Sehari sebelumnya, warga juga menolak kedatangan petugas yang hendak mengevakuasi penghuni kerangkeng. Setelah dilakukan mediasi, barulah para penghuni bisa dievakuasi ke Dinas Sosial Sumatera Utara. Namun kerabat atau keluarga para penghuni justru menjemput dan membawa pulang para penghuni kerangkeng ke rumah masing-masing.
Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan hal itu. Pertama, tentu saja soal kuatnya pengaruh Perangin-Angin. Sebelum menjabat sebagai Bupati, ia menjabat Ketua DPRD Langkat, tokoh masyarakat, pimpinan ormas, sekaligus pengusaha besar. Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan ekonominya pada Perangin-Angin.
Terdapat semacam hubungan antara patron dan klien, seperti yang diutarakan James Scott. Patronase dideskripsikan Scott sebagai konsep kekuasaan yang lahir dari hubungan tidak seimbang antara patron dan klien. Patron diidentifikasi sebagai aktor pemegang kekuasaan yang mampu mengatur berjalannya klien. Sedangkan klien diidentikkan sebagai pengikut setia yang selalu tunduk pada aturan aturan patron.
Bagi masyarakat, kerangkeng merupakan solusi konkret untuk ‘menertibkan’ orang-orang yang selama ini meresahkan.
Faktor selanjutnya bisa ditinjau dari sisi kebermanfaatan kerangkeng. Bagi masyarakat, kerangkeng merupakan solusi konkret untuk ‘menertibkan’ orang-orang yang selama ini meresahkan. Daripada terus berulah, membuat malu keluarga dan menggangu ketertiban umum, maka lebih baik orang tersebut dijebloskan dalam kerangkeng. Toh, menurut mereka, orang baik tidak mungkin berada dalam kerangkeng. Hanya yang bermasalah dan tidak mampu lagi ditanggulangi oleh kerabatnya yang berpotensi masuk ke sana. Persepsi ini tentu sangat kompatibel dengan situasi di lapangan.
Lihatlah bagaimana kepolisian tertatih-tatih memberantas kasus yang jadi musuh opini publik seperti narkotika, pencurian, kekerasan hingga perjudian. Di sisi lain, lembaga peradilan belum tentu menghasilkan keadilan sedangkan lembaga pemasyarakatan masih saja berkutat dengan segala problematikanya dalam mendidik warga binaan.
Padahal, dalam sistem peradilan pidana, gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan sangat dibutuhkan. Gerak tersebut merupakan satu kesatuan yang ujungnya berupaya mentransformasikan input menjadi output, berupa penindakan terhadap pelaku tindak pidana, pencegahan kejahatan, hingga pencapaian jangka panjang berupa kesejahteraan.
Sayangnya, konsep ideal penegakan hukum itu menghasilkan celah besar, pada realitanya berlangsung terus menerus sehingga menimbulkan kefrustasian di tengah-tengah masyarakat. Apabila penegakan hukum berjalan optimal, mustahil faktor kebermanfaatan jadi alasan masyarakat dalam mendukung keberadaan kerangkeng.
Kefrustasian masyarakat ibarat api dalam sekam. Ketika muncul saluran-saluran penegakan hukum lain, sekalipun itu ilegal, bahkan mencederai rasa kemanusiaan, maka potensi masyarakat memilih menggunakan saluran itu amat besar. Fenomena demikian tidak hanya tercermin dalam kasus kerangkeng manusia, tetapi juga pada maraknya tindakan main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat.
Sepatutnya, lembaga-lembaga penegak hukumlah yang ‘tertampar’ dengan beroperasinya kerangkeng manusia. Sekalipun diberikan wewenang dan dilindungi oleh undang undang dalam melaksanakan tanggung jawab penegakan hukum, hadir fakta bahwa masyarakat justru lebih percaya pada konsep kerangkeng manusia. Padahal jelas konsep ini ilegal dan mengesampingkan penghormatan hak asasi manusia. Lebih miris, beberapa temuan lapangan menunjukkan institusi penegak hukum yang justru merekomendasikan agar orang-orang bermasalah ini dibina dalam kerangkeng milik Perangin-Angin. Aneh bin ajaib.
Ujian sekaligus pembuktian
Tulisan ini tidak sedikit pun membenarkan Perangin-Angin dan konsep kerangkeng manusianya, melainkan hanya mencoba menelaah persepsi masyarakat berdasarkan cara berpikir mereka. Sebagai outsider (orang luar) dengan sejumlah prinsip hak asasi manusia di kepala, penulis sebisa mungkin menjadi insider (masyarakat setempat) dalam melihat konteks kerangkeng manusia.
Di luar konteks tersebut, proses hukum terhadap beroperasinya kerangkeng manusia adalah keniscayaan. Bahkan sepatutnya tidak hanya menyasar persoalan legalitas seperti izin dan penyalahgunaan wewenang, namun juga terhadap berbagai bentuk pelanggaran lain seperti penyiksaan, perampasan kemerdekaan, hingga praktik kerja paksa yang dalam konsepsi hak asasi manusia merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun. Temuan awal Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) maupun Polda Sumatera Utara kiranya lebih dari cukup menegaskan hal ini.
Bahkan tidak fair jika pertanggungjawaban hukum kasus kerangkeng hanya dialamatkan pada Perangin-Angin. Perlu dicatat bahwa langgengnya operasionalisasi kerangkeng manusia dalam 10 tahun terakhir nyatanya melibatkan banyak pihak, mulai dari tokoh masyarakat, pejabat publik, instansi pemerintahan, hingga penegak hukum itu sendiri. Keterlibatan bisa dilihat dalam banyak bentuk, mulai dari kontribusi langsung hingga adanya pembiaran.
Pertanyaannya, apakah keadilan hukum mampu menyasar jauh sampai ke hal-hal demikian? Sekali lagi, ini ujian sekaligus pembuktian bagi penegakan hukum kita.
Amin Multazam Lubis, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara