Sejarah Kaum Nahdliyin
Melalui Gus Dur, sistem gagasan keagamaan abad ke-7 dan abad ke-13 kaum nahdliyin yang sebelumnya tampak ”tak relevan”, tersembur jadi ”great discourse” yang menimbulkan revolusi kegairahan intelektual keagamaan.
Muktamar Nahdlatul Ulama Desember 2021 di Lampung kian menandai atau menegaskan kehadiran ”sejarah publik” kaum nahdliyin. Kaum nahdliyin adalah golongan kaum muslimin Indonesia yang membagi budaya keagamaan yang sama dan yang secara organisasi terlembagakan dalam bentuk NU. Kelompok inilah yang disebut ”kaum santri” dalam pengertian Zamakhsyari Dhofier sebagaimana diuraikan di Tradisi Pesantren (1982). Jadi, yang dimaksud kaum nahdliyin adalah ”kaum santri” yang secara langsung direproduksikan lembaga pendidikan pesantren.
Penegasan kehadiran kaum ini ke dalam ”sejarah publik”, antara lain, terlihat pada kian ”belia”-nya pengurus tanfiziah (pengurus harian) organisasi Islam terbesar di dunia ini dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Namun, ”pembeliaan” itu hanya ”tanda permukaan” yang ”menyembunyikan” perubahan mendalam kehadiran kaum nahdliyin ke dalam ”sejarah publik” secara lebih substansial.
”Contemporary history” dan ”sejarah publik”
Saya terinspirasi menciptakan frasa ”sejarah publik” ini dari sejarawan Geoffrey Barraclough yang memperkenalkan konsep contemporary history. Dalam bukunya An Introduction to Contemporary History (1967 [1964]), Barraclough menyatakan, contemporary history adalah rentetan peristiwa yang digerakkan oleh kekuatan-kekuatan baru (yang tak dikenal sebelumnya) untuk membentuk the newly emerging constellation of forces (kemunculan baru susunan atau peta kekuatan) yang tak lagi berhubungan dengan peta lama.
Tentu, Barraclough mengakui sejarah pada dasarnya berkelanjutan (continuity). Namun, sejak 1890 peta kejadian kesejarahan telah berubah. Apa yang terjadi abad ke-20 bukan sekadar ujung terakhir abad ke-19. Benar, Renaisans abad ke-14 hingga ke-16 dan Reformasi abad ke-16 menentukan lahirnya ”sejarah modern” dengan peta kekuatan global di bawah dominasi kulit putih.
Muktamar Nahdlatul Ulama Desember 2021 di Lampung kian menandai atau menegaskan kehadiran ”sejarah publik ” kaum nahdliyin.
Namun, sejak akhir abad ke-19, yaitu 1890, arus sejarah telah berubah dan melemahkan kerangka masyarakat yang memudahkan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang terakui). Perkembangan ini lebih memperlihatkan the elements of discontinuity rather than the elements of continuity. Karena itulah, secara retorik Barraclough menyebutkan kekuatan-kekuatan sejarah baru itu menyusun diri dengan kokoh melawan masa lalu. Inilah yang dimaksud dengan Barrouclogh sebagai contemporary history.
Dalam perspektif inilah saya menciptakan frasa ”sejarah publik”, yaitu jalannya sejarah yang mengungkapkan kemunculan sebuah kalangan masyarakat (yang sebelumnya ”terpendam” dan ”terlupakan” di lintasan sejarah modern Indonesia) dan bertransformasi jadi kekuatan tersendiri yang terakui publik. Kemunculan kekuatan itu bukan saja mengubah peta kekuatan yang dibentuk oleh sejarah lama, melainkan juga menyebabkan negosiasi strategis pada tingkat nasional tak akan bisa berlangsung pungkas tanpa menyertakan mereka.
Untuk memulainya, saya tertarik dengan istilah Clifford Geertz: paraxysm of defensive solidarity (poros solidaritas bertahan). Sebagaimana diungkap dalam bukunya, Islam Observed (1971 [1968]), Geertz menggambarkan bagaimana petani Jawa memperlakukan diri dalam bentuk membangun solidaritas bertahan akibat ekspansi ekonomi ekspor Belanda abad-ke-17 dan ke-18. Namun, dengan istilah itu, Geertz ingin menekankan bagaimana dalam situasi bertahan itu, kaum petani memperlakukan Islam secara berbeda dibandingkan dengan golongan priayi dan santri. Perbedaan daya tanggap ini yang dirumuskan, dalam The Religion of Java (1976 [1960]), sebagai ”trilogi” santri, priayi, dan abangan.
Baca Juga: Menjaga Relevansi NU
Kendatipun demikian, istilah paraxysm defensive solidarity itu pada dasarnya cocok dikenakan pada kaum santri. Geertz mengatakan, kehadiran Belanda di abad-abad itu telah menyingkirkan para pedagang pribumi Muslim dari gelanggang perdagangan internasional ke arah penjaja domestik (domestic peddling) dan karena itu bergerak jauh dari pantai ke arah pedalaman.
Dalam konteks ”ekspresi politik”, kalangan Islam yang telah mengalami ”pedalamanisasi” inilah yang, menurut Peter Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of the Older in Java, 1785-1885 (2007), menjadi tenaga besar mendukung Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830. Dan dalam konteks komunitas dan kelembagaan, mereka inilah, antara lain, yang terkonsentrasi di pesantren yang tersebar di pedalaman Jawa.
Isolasi struktural-geografis kalangan ini diperkukuh oleh pandangan keagamaan tipikal mereka. Mengikuti Dhofier dalam Tradisi Pesantren, pandangan keislaman kalangan ini ”masih terkait kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fikih (hukum Islam), hadits, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ke-7 sampai ke-13.”
Di sini kita melihat simbiosis kuat antara posisi struktural-geografis pedalaman, akibat terdesak kehadiran Belanda yang ekspansif, dan pandangan keagamaan yang terumuskan pada abad ke-7 hingga ke-13. Ini berarti paraxysm defensive solidarity tak hanya mencerminkan keterkungkungan geografis, melainkan juga terbalut sistem pandangan keagamaan yang tak beranjak dari sistem gagasan keagamaan pasca-abad ke-14 dan periode-periode selanjutnya.
Karena itu, beda dengan Muhammadiyah (lahir 1912) yang memberikan respons terhadap pergolakan dan dinamika modern. Dalam konteks pemikiran, Muhammadiyah lebih membuka diri pada, antara lain, gagasan Islam reformis Jamaluddin al-Afghani (1838 -1897), Muhammad Abduh (1849 -1905), dan Rashid Ridha (1865-1935) yang tumbuh pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ini bukan saja menjelaskan mengapa Muhammadiyah awalnya lebih tumbuh di perkotaan, melainkan juga corak gerakan sosial-pendidikannya yang terbuka terhadap pengaruh modern. Sementara kaum santri sampai dekade pertama abad ke-20, tetap berada dalam ”pagar” poros solidaritas bertahan.
Negara kolonial, priayi dan intelektual kota
Karena itu, bisa dimengerti bahwa bahkan ketika Ratu Belanda Wilhelmina (1880-1962) berpidato pada 1901 sebagai ”peluit” dimulainya kebijakan Politik Etis, dengung bunyi alat itu tak menggetarkan ”pagar” paraxysm defensive solidarity kaum nahdliyin itu. Padahal, untuk ukuran masa itu, kebijakan ”reformasi terbatas” ini berfungsi sebagai big push (dorongan besar) perekrutan kaum pribumi ke dunia pendidikan Barat.
Yang tampil ke dalam ”sejarah publik” akibat terdorong oleh Politik Etis itu adalah kaum priayi dan kaum intelektual kota. Kaum priayi adalah kalangan keturunan penguasa Jawa tradisional. Posisi sosial mereka ”terselamatkan” dari reformasi politik-ekonomi Stamfort Raffles, yang memerintah Jawa pada 1811-1818, karena program Tanam Paksa yang diprakarsai J Van den Bosch pada 1830.
Sebagai penguasa asing, van den Bosch butuh dukungan elite tradisional bagi keberhasilan program itu. Dalam konteks inilah status sosial kaum priayi, sebagai penguasa pribumi, direhabilitasi. Ini yang mendorong Heather Sutherland dalam The Making of Bureaucratic Elite (1979) menyebut bahwa sejak akhir abad ke-19, kaum priayi merupakan an uprooted elite (elite yang tercerabut akarnya) dari masyarakat.
Integrasi elite tradisional ini ke dalam negara kolonial modern menunjukkan bahwa kaum priayi merupakan golongan masyarakat ”pertama” yang bersentuhan dengan modernisasi. Tak mengherankan, sebagian dari mereka melahirkan kaum administrator berkualitas, seperti Achmad Djajadiningrat dari Banten. Bahkan, dalam beberapa hal, sebagian dari mereka terekrut ke dalam Dewan Rakyat (Volksraad) yang dibentuk pada 1918.
Keterampilan administrasi dalam negara kolonial telah menyebabkan kalangan ini menduduki posisi pemerintahan mulai dari kecamatan hingga ke tingkat lebih tinggi, yang bertahan bahkan hingga dekade awal kemerdekaan.
Integrasi elite tradisional ini ke dalam negara kolonial modern menunjukkan bahwa kaum priayi merupakan golongan masyarakat ”pertama ” yang bersentuhan dengan modernisasi.
Kaum intelektual kota di pihak lain, hampir sepenuhnya reproduksi Politik Etis. Robert van Niel dalam bukunya The Emergence of the Indonesian Elite (1970 [1960]) telah dengan detail menguraikan tokoh-tokoh intelektual kota ini. Pengaruh pendidik Barat yang diperoleh melalui Politik Etis itu mendorong kaum intelektual kota memberikan evaluasi kritis, baik tentang posisi sosial maupun politik di struktur pemerintah kolonial.
Pada hemat saya, evaluasi posisi sosial inilah yang mendorong lahirnya Budi Utomo (1908) dan Muhammadiyah (1912). Artikulasi kedua organisasi yang didirikan Wahidin Soediraoeosada (1852-1917) dan Ahmad Dahlan (1868-1923) ini memberikan warna baru sejarah pergerakan Indonesia awal abad ke-20. Dari kedua organisasi inilah proses pembiakan kaum intelektual kota terjadi.
Evaluasi posisi politik melahirkan Sarekat Islam (SI) pada 1912. Kelahiran SI ini sangat menentukan dalam sejarah karena turut mendorong apa yang disebut Robert van Niel rampart radicalism, yang kelak kian mengarah pada gagasan kemerdekaan Indonesia.
Di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto (1882-1934), untuk pertama kali kita menyaksikan terintegrasinya kaum intelektual kota dengan massa rakyat hingga tingkat perdesaan dalam sebuah gerakan bersama. Karena itu, tak mengherankan, seperti disebutkan Robert van Niel, bersama dengan Abdul Muis (1883-1959) dan A Widiasastra, Soewardi Surjaningrat (1889-1959) dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, turut memimpin SI di Bandung.
Baca Juga: Catatan Visual Muktamar NU
Akan tetapi, yang terpenting dicatat adalah bahwa melalui gabungan Tjokroaminoto dan SI, Indonesia melahirkan Soekarno (1901-1970) dan Semaun (1899-1971). Kita tahu, selain mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927, Soekarno, bersama Moh Hatta (1902-80) dan lain-lain membawa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Sementara Semaun, bersama ”SI-Merah” memperkenalkan corak perjuangan di dalam lingkungan ”semi kapitalis-industrial” kepada bangsa Indonesia, yang pasti sangat berbeda dengan perjuangan dalam dunia agraris.
Gus Dur dan kaum nahdliyin
Kecuali di dunia politik, bahkan, hingga masa awal Orde Baru (1967-1998), kaum nahdliyin belum masuk ke dalam orbit ”sejarah publik”. Walau mengalami pasang-surut, aktor-aktor sosial-politik yang tampil di panggung ”sejarah publik” hingga beberapa dekade lalu pada dasarnya adalah kalangan yang berkaitan dengan derap sejarah akhir ke-19 dan awal abad ke-20. Dengan berbagai cara dan saluran, mereka tampil sebagai teknokrat, perwira militer, kepolisian dan birokrat dan profesi modern lain. Karena itu, mereka pula yang berperan besar membuat kebijakan dan mengambil keputusan di tingkat nasional.
Peta susunan kekuatan sosial-budaya baru yang membawa kaum nahdliyin ke panggung ”sejarah publik” baru terlihat pada pertengahan 1980-an. Tentu, banyak faktor yang berjalan seiring proses ini. Akan tetapi, ada tiga hal paling pokok yang membuka struktur artikulasi kaum nahdliyin ke dalam ”sejarah publik”:
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pendidikan masif masa Orde Baru dan reformasi 1998 yang melahirkan PKB.
Posisi strategis dan menentukan Gus Dur (1940-2009) bagi kaum nahdliyin bukan terletak pada fakta bahwa ia presiden pertama dari kalangan santri. Melainkan pada transformasi wacana kaum nahdliyin melalui gagasan-gagasan keagamaannya. Pikiran-pikiran keagamaan Gus Dur pada dasarnya penggelaran gagasan keagamaan tradisional kaum nahdliyin ke dalam struktur modern. Inilah, dalam spekulasi saya, kekuatan pertama yang mendobrak dinding paraxysm defensive solidarity kaum santri yang telah bertahan ratusan tahun.
Melalui Gus Dur, sistem gagasan keagamaan abad ke-7 dan abad ke-13 kaum nahdliyin yang sebelumnya tampak ”tak relevan”, tersembur jadi great discourse (wacana besar) yang menimbulkan revolusi kegairahan intelektual keagamaan kalangan muda nahdliyin. Ini membuat, secara konseptual, eksistensi massa nahdliyin jadi relevan di dalam perbincangan kebangsaan modern.
Pendidikan masif masa Orde Baru, di lain pihak, telah memainkan peranan penting dalam pertumbuhan pesat demografi kalangan terpelajar kaum nahdliyin. Dalam spekulasi saya, kalangan terdidik kaum nahdliyin inilah yang perlahan mulai menggeser posisi kaum priayi abad lalu di dalam modern ocupations (lapangan pekerjaan modern) di bidang teknokrasi, birokrasi, kaum intelektual dan profesi-profesi lainnya.
Terakhir, kelahiran PKB, organisasi politik kaum nahdliyin. Ini sangat berbeda dengan NU yang menjadi partai setelah keluar dari Masyumi pada 1952. Di samping mengandalkan konstituen pendukung berlatar belakang agraris, hampir seluruh aktor NU, sebagai partai, adalah reproduksi pesantren. Berkat pendidikan masif Orde Baru, PKB lebih didukung kaum terpelajar nahdliyin dengan pandangan dan kemampuan memadai menyesuaikan diri ke dalam dunia modern. Bahkan, dalam beberapa hal, PKB telah menjadi wahana efektif mereproduksi kelas menengah dan menengah atas masif dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui jabatan-jabatan politik di pusat ataupun di daerah secara nasional.
Tiga faktor yang bekerja secara bersamaan inilah yang jadi latar belakakang Muktamar NU Lampung, Desember lalu. Faktor-faktor yang membuat susunan kekuatan sosial-budaya, teknikal dan intelektual lama, menggunakan istilah Barraclough, weakened alias melemah. Dari pelemahan susunan lama itulah kaum nahdliyin memasuki ”sejarah publik” yang mendorong terbentuknya susunan kekuatan baru.
Fachry Ali Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia)