Hasilnya terbukti sangat luar biasa, bahkan di luar dugaan Partai Komunis China (Cheng Ji, 2017). Pada tahun 1996, jelang privatisasi total, TVEs tercatat behasil berkontribusi pada PDB nasional China sekitar 40 persen, dibanding tahun 1978 yang hanya sekira 20 persenan karena dominasi kontribusi perusahaan-perusahaan negara yang jumlahnya ratusan ribu saat itu.
Baca juga: Membangun Dunia yang Sejahtera
Di era Great Leap Forward dan Revolusi Kebudayaan, people commune dan brigade diwajibkan berproduksi berdasarkan kuota yang ditentukan oleh pemerintah dengan harga yang juga telah ditetapkan. Saat beralih menjadi TVEs, kuota masih tetap dibebankan tetapi dengan keleluasaan untuk berproduksi melebihi kuota untuk dijual berdasarkan harga pasar (dual track pricing system). Kebijakan liberalisasi harga secara bertahap ini ternyata memotivasi TVE-TVE untuk menjadi lebih produktif karena ada peluang untuk mendapatkan profit dari kelebihan produksi yang mereka hasilkan.
Pada mulanya, kepemilikan TVEs bersifat kolektif. Untuk level desa anggotanya kira-kira 66 orang, sementara untuk level kota atau daerah di atas 200 orang, dengan satu orang manajer unit. Lalu pelan-peran berubah menjadi joint share model antara pemerintahan daerah, kota, desa, manajer, dan anggota. Dengan manajemen, kinerja produksi, dan profit yang kian membaik, pelan-pelan sebagian besar TVEs diprivatisasi (sekitar 80 persen) dari total jumlah TVEs yang lebih dari 1,2 juta, sisanya dibeli secara total oleh pemerintahan lokal alias menjadi BUMD-BUMD.
Sementara soal pembiayaan, pemerintah pusat dan daerah mendirikan Rural Credit Cooperatives (RCCs) yang berbagi peran dengan bank-bank milik pemerintahan daerah. Hasilnya, justru setelah diperkenalkan dual track system China berhasil memproduksi bahan kebutuhan pokok secara massif, di mana di era Mao justru masyarakat desa mengalami kelaparan akut.
Baik TVEs maupun Saemaul Undong, terbukti bisa menjadi institusi ekonomi pedesaan yang menopang cepatnya proses industrialisasi di China dan Korea Selatan.
Dari sisi latar belakang, TVEs berbeda dengan gerakan Saemaul Undong di Korea, yang dijadikan sebagai ujung tombak program-program pembangunan pedesaan nasionalistik ala rezim otoriter Park Chung Hee, mulai dari pembangunan jalan desa, jembatan, irigasi, dll, yang kemudian berakhir menjadi UKM-UKM kreatif Korea Selatan sampai hari ini.
Namun demikian, baik TVEs maupun Saemaul Undong, terbukti bisa menjadi institusi ekonomi pedesaan yang menopang cepatnya proses industrialisasi di China dan Korea Selatan. Dan tak bisa dipungkiri, keduanya menjadi salah satu ciri khas dari suksesnya industrialisasi pedesaan di negara-negara Asia Timur, selain konglomerasi-konglomerasi seperti Chaebol di Korea atau Keiretsu di Jepang.
Pembangunan desa di Indonesia
Bagamana dengan Indonesia? Rezim Orde Baru juga sempat dipengaruhi oleh model pembangunan Asia Timur ini, yang disebut oleh Chlamers Johnson dengan istilah "Developmental State Model." Bahkan Presiden Soeharto waktu itu dianugerahi gelar Bapak Pembangunan karena mengadopsi model tersebut.
Keberhasilan swasembada beras Orde Baru, misalnya, ditopang oleh Koperasi Unit Desa (KUD) dan kelompok-kelompok tani, yang menjadi proksi ekonomi dari program-program pembangunan desa Orde Baru. Sangat disayangkan institusi-institusi ini satu persatu tumbang sebelum mendapatkan suntikan spirit kewirausahaan yang telah berhasil membuat TVEs di China dan Saemaul Undong di Korea berperan penting pada perekonomian.
Konon, KUD-KUD yang tersisa hanya menjadi institusi ekonomi penerima bantuan pemerintah. Artinya, jika tak ada bantuan, maka KUD-KUD tersebut mati suri alias sangat tidak produktif dan tidak profit oriented.
Baca juga: Refleksi Kedesaan Kita
Kemudian, beberapa tahun belakangan, pemerintahan Jokowi juga sudah mulai memasukkan program pembangunan institusi ekonomi pedesaan ini ke dalam program pemerintahan nasional, dengan memunculkan istilah Badan Udaha Milik Desa (BUMDes). Pemerintah memberikan peluang bagi pemerintahan desa untuk memanfaatkan sebagian dana desa yang telah terlebih dahulu dikonstitusionalisasikan untuk membangun BUMDes, tetapi gaung hasilnya nyaris tak terdengar.
Ada satu dua yang muncul di ruang publik, terutama berupa BUMDes Wisata di beberapa desa wisata, tetapi sangat tidak signifikan. Dengan kata lain, BUMDes belum bisa diharapkan untuk berkontribusi secara signifikan pada peningkatan PDB nasional Indonesia.
Banyak persoalan yang belum selesai dengan BUMDes ini yang harus segera dibenahi oleh pemerintah pusat, agar geliat ekonominya bisa segera dirasakan, terutama terkait dengan peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan. Pertama soal bentuk hukum dari BUMDes.
Sampai hari ini, BUMDdes masih diposisikan sebagai unit usaha desa yang langsung berada di bawah kekuasaan dan preferensi politik kepala desa. Kondisi ini membuat BUMDes justru berada di bawah pengaruh politik kepala desa dan aparat-aparat desa lainya, bahkan berpeluang menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat desa di dalam penentuan alokasi anggaran dan alokasi sumber daya manusia. Risikonya, hanya satu di antara sekian ribu BUMDes yang berpeluang untuk sukses menjadi badan usaha professional layaknya perusahaan atau UKM bisnis, itupun karena faktor visioner atau tidaknya seorang kepala desa terpilih.
Ke depan, tentu pemerintah perlu memberikan landasan konstitusional pada status hukum BUMDes ini yang dipisahkan secara tegas dari dinamika politik sehari-hari di tingkat desa. Dengan kata lain, penentuan status hukum badan usaha desa ini akan memberi kepastian pada bentuk hubungan yang profesional antara BUMDes dengan kekuasaan desa. Sehingga, BUMDes bisa menjadi badan usaha yang benar-benar didasari semangat enterprenurial dan berorientasikan keuntungan dengan ditopang oleh managemen dan tata kelola bisnis yang bisa dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik desa dan pemangku kepentingan lainnya.
Ke depan, tentu pemerintah perlu memberikan landasan konstitusional pada status hukum BUMDes ini yang dipisahkan secara tegas dari dinamika politik sehari-hari di tingkat desa.
Target selanjutnya dari kejelasan status hukum badan usaha tersebut adalah kejelasan kepemilikan saham dan garis pertanggungjawaban. Setelah status hukumnya jelas, maka otomatis akan ada formasi kepemilikan saham dan bagaimana pembagian hasilnya.
Jika berpatokan pada sumber dan model pencairan dana yang ada hari ini, maka otomatis saham BUMDes akhirnya dimiliki oleh masyarakat desa via dewan perwakilan desa. Namun saya menduga formasi seperti ini tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan, berapapun dana yang diturunkan untuk BUMDes nanti, mengingat karakteristik masyarakat desa yang belum terlalu terpapar oleh semangat kewirausahaan dan belum terbiasa dengan budaya korporasi.
Menurut hemat saya, akan sangat baik jika pemerintah pusat menambah aturan yang berkaitan dengan dana pendamping dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun pemerintah daerah yang dikonversikan ke dalam kepemilikan saham di BUMDes, sehingga keduanya bisa mengalokasikan sumber daya manusia (SDM) di kursi komisaris atau dewan pengawas di setiap BUMDes. Dengan kata lain, dana pendamping bukan dalam bentuk anggaran untuk pemerintah desa, tetapi justru dalam bentuk investasi.
Dan untuk menghindari pengaruh politik dari pemerintah yang lebih tinnggi di daerah, akan sangat baik jika penyertaan modal daerah di dalam BUMDes melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pula. Bahkan akan sangat produktif jika daerah mendirikan sendiri semacam local capital venture (misalnya Bumdes Capital Venture) milik pemerintah daerah yang khusus dimaksudkan untuk membesarkan BUMDes-BUMDes, ketimbang dalam bentuk kredit (seperti RCCs di China).
Dan untuk menghindari pengaruh politik dari pemerintah yang lebih tinnggi di daerah, akan sangat baik jika penyertaan modal daerah di dalam BUMDes melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pula.
Dengan begitu, local capital venture ini nanti akan sangat termotivasi untuk fokus memajukan BUMDes-BUMDes, membesarkan bisnisnya (sampai menjadi bankable, misalnya), lalu meningkatkan valuasi sahamnya di dalam BUMDes, sebelum diprivatisasi, misalnya, jika memang ujungnya ingin diprivatisasi saham-saham daerah tersebut. Misalnya formasi kepemilkan sahamnya bisa 50 persen milik desa, 30 persen milik pemerintah kabupaten, dan 20 persen milik pemerintah provinsi.
Terakhir, soal buruknya SDM BUMDes yang berimbas pada buruknya tata kelola dan rendahnya peluang untuk memoteisasi BUMDes. Pembentukan SDM Bumdes yang sesaui dengan tuntutan bisnis ini perlu diletakkan pada konteks bisnis, dengan asumsi penyertaan modal terjadi setelah SDM dan manajemen BUMDes dianggap siap berproduksi secara komersial.
Baca juga: Lima Tahun Desa Membangun
Artinya, pemerintah pusat, melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian Koperasi/UMKM, bersama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, perlu bekerja sama secara intens merumuskan program pelatihan dan pembinaan SDM BUMDes, dengan menyeleksi desa-desa yang sudah menyiapkan BUMDes setengah jadi, misalnya, untuk ditindaklanjuti dengan pelatihan bisnis dan manajemen yang sesuai dengan tuntutan dunia usaha, mulai dari materi perencanaan bisnis, kepemimpinan, design product, marketing, manajemen, digitalisasi bisnis BUMDes, dan lain sebagainya. Semoga.
Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution