Rehabilitasi pecandu narkotika merupakan sebuah proses yang komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan hingga tahapan akhir paska rehabilitasi serta tak dapat dipolarisasi menjadi problem medis dan sosial belaka.
Oleh
MUHAMMAD HATTA
·4 menit baca
Akhir-akhir ini publik dihebohkan atas penemuan “kerangkeng manusia” berkedok fasilitas rehabilitasi narkotika di rumah Bupati Langkat non aktif Terbit Perangin Angin. Tempat mirip penjara yang telah beroperasi 10 tahun dan diklaim telah “menyembuhkan” ribuan orang tersebut tidak memenuhi standar rehabilitasi SNI 8807:2019. Dalam siaran persnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK) juga menuding tempat tersebut tak menjalankan aktivitas perehabilitasian sesuai standar hak asasi manusia (HAM) karena penghuninya mengalami penahanan dan pengekangan hak serta eksploitasi paksa (Kompas, 30/1/22).
Tindakan Bupati Langkat non aktif tersebut mencerminkan masih adanya paradigma yang keliru bahwa rehabilitasi pecandu narkotika hanya berupa pengekangan dan pemenjaraan pecandu belaka. Hal tersebut terlihat jelas dalam hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) dimana 59,30 persen responden menyatakan rehabilitasi merupakan tindak penanganan paling tepat bagi para pecandu, namun terdapat 22,60 persen yang ingin mereka direhabilitasi dalam penjara serta 14,30 persen yang hendak memenjarakan belaka (BNN, 2019).
Ada beberapa faktor pemicu paradigma rehabilitasi pecandu narkotika yang rancu tersebut. Pertama, masih ada tumpang tindih kewenangan antar instansi pemerintah dalam program rehabilitasi pecandu narkotika.
Undang Undang (UU) Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi di tempat-tempat yang ditunjuk oleh negara, di mana Kementrian Kesehatan (Kemenkes) bersama Kementrian Sosial (Kemensos) merupakan penanggung jawab utama, masing-masing di bidang rehabilitasi medis dan sosial.
Konsep tersebut keliru, sebab rehabilitasi pecandu narkotika merupakan sebuah proses yang komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan hingga tahapan akhir paska rehabilitasi serta tak dapat dipolarisasi menjadi problem medis dan sosial belaka (Wild & Wolfe,2009). Sebab, adiksi bersifat kronis dan kambuhan (McLellan, 2003), seorang pecandu tak dapat dikatakan pulih jika hanya melewati pintu rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial semata.
Mayoritas pusat rehabilitasi jangka panjang di seluruh dunia saat ini mempergunakan metode Therapeutic Community (TC). Sejak tahap awal detoksifikasi, Entry Unit, Primary, Reentry, paska rehabilitasi dilaksanakan satu atap, tak parsial laiknya rehabilitasi medis dan sosial. Metode yang berbasis residensial (klien tinggal di dalam lingkungan terkontrol) dan terintegrasi tersebut diklaim memiliki tingkat keberhasilan 80 persen apabila klien yang bersangkutan menyelesaikan proses secara lengkap hingga akhir (UNODC, 2000).
Hingga kini hanya pusat rehabilitasi milik BNN yang memberikan layanan komprehensif tersebut.
Hingga kini hanya pusat rehabilitasi milik BNN yang memberikan layanan komprehensif tersebut. Sayangnya, BNN hanya memiliki enam Unit Pelaksana Teknis (UPT) rehabilitasi narkotika berwujud balai/loka di seluruh Indonesia, yaitu di Sukabumi, Makassar, Samarinda, Lampung, Deli Serdang dan Batam. Kapasitas terbesar dimiliki Balai Besar Rehabilitasi Lido di Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang mampu merawat 1.000 pecandu setiap tahun. Kalah jauh dibanding ratusan pusat rehabilitasi parsial medis dan sosial binaan Kemenkes dan Kemensos.
Faktor kedua, minimnya sosialisasi tentang rehabilitasi pecandu narkotika. Penyuluhan terkait narkotika di lapangan masih didominasi pemberian informasi tentang jenis-jenis, bahaya penyalahgunaan, serta aspek hukum penyalahgunaan narkotika.
Tak heran hanya 26,60 persen masyarakat perkotaan dan 13,60 persen masyarakat pedesaan yang mengetahui keberadaan pusat rehabilitasi pecandu narkotika di wilayahnya. Ini berbanding terbalik dengan tingginya pemahaman masyarakat akan bahaya narkotika, masing masing 82 persen masyarakat perkotaan serta 70,10 persen masyarakat pedesaan (Survei Prevalensi Narkotika 2019, BNN).
Pada titik kulminasi problematika di atas, revisi UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 merupakan solusi utama yang dapat disodorkan. “Tumpul”nya Inpres Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) menyiratkan penguatan kelembagaan BNN selaku lini depan pemberantasan narkotika tak dapat ditawar-tawar lagi.
Penguatan tersebut berguna menghapus “stigma” urusan rehabilitasi pecandu narkotika merupakan wewenang BNN semata. Sesuai aturan yang berlaku (Permenkes No 2415/2011 dan Permensos No 16/2020), masyarakat yang ingin mendirikan pusat rehabilitasi narkotika harus seizin salah satu, Menteri Kesehatan atau Menteri Sosial. Sedangkan Pasal 70 UU Narkotika menyebutkan tugas BNN hanyalah meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi yang berada di bawah pengawasan dua kementrian tersebut. Kewenangan rancu tersebut menjadikan BNN setempat tak dapat berbuat banyak pada kasus Langkat (BBC Indonesia, 26/1/22).
Penguatan tersebut hendaknya juga mencakup wewenang dalam penggolongan narkotika. Kontroversi tumbuhan kratom yang hingga kini belum tergolong narkotika misalnya, walau BNN telah menetapkannya sebagai narkotika golongan I sejak 2017, diakibatkan wewenang penggolongan narkotika masih berada di Kemenkes. Padahal fungsi pemeriksaaan dan pengujian zat dan prekursor narkotika mayoritas dilakukan di unit laboratorium milik BNN dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Muhammad Hatta, Dokter Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar