Pergeseran Paradigma Keputusan Pandemi
Keputusan pandemi saat ini lebih multi-sectorial dan multi-factorial. Kriteria keputusan baik atau buruk tidak lagi hanya ditilik dari aspek kesehatan semata meskipun intinya pertimbangan kesehatan tetap penting.
Ada fenomena menarik. Di tengah berkecamuknya varian Omicron, sejumlah negara ramai-ramai melonggarkan restriksinya. Di Amerika, masa isolasi diturunkan dari 10 hari menjadi lima hari. Di Inggris, selain masa isolasi diturunkan menjadi lima hari, penggunaan masker sudah tidak wajib dan sertifikat negatif Covid-19 tidak lagi diperlukan untuk menghadiri acara. Di Thailand, pemerintah menghapus karantina bagi wisatawan mancanegara sepanjang mereka telah divaksin lengkap.
WHO gundah melihat fenomena ini. Dalam scientific meeting beberapa hari lalu, Dirjen WHO mengingatkan bahwa proses relaksasi pandemi mesti dilakukan secara bertahap dan berdasar bukti sains.
Pertimbangan kesehatan
Aspek kesehatan jelas menjadi pertimbangan penting setiap keputusan pandemi. Ini juga menjadi alasan pelonggaran restriksi di berbagai negara saat ini. Pertama, hanya dalam periode tiga bulan, varian Omicron telah menggeser dominasi varian Delta di banyak negara.
Perkembangan Omicron memang sporadis dan eksponensial. Jumlah kasus meningkat dua kali lipat (doubling time) hanya dalam waktu 2-3 hari; jauh dibanding doubling time Delta yang berkisar 11-14 hari.
Pada tingkat global, kasus positif meroket dari 73 menjadi 387 per satu juta penduduk selama badai Omicron. Akibat peningkatan kasus, laju kematian juga meningkat dari 0,9 menjadi 1,31 per satu juta penduduk. Meski ada peningkatan kematian, sebagian ahli menganggap peningkatan ini tak proporsional dengan peningkatan kasus. Alasannya, sementara kasus meningkat lebih 500 persen, kematian naik 46 persen.
Di tengah berkecamuknya varian Omicron, sejumlah negara ramai-ramai melonggarkan restriksinya.
Menariknya, angka kefatalan penyakit (case fatality rate/ CFR), justru terus menurun di tengah badai Omicron ini. Saat awal Omicron, CFR berkisar 1,32 persen dan kini 0,31 persen. Penurunannya sangat bermakna. Dengan fenomena ini, sebagian ahli percaya meski transmisinya lebih tinggi dari Delta, tingkat kefatalan Omicron jauh lebih rendah (more widespread, less fatality). Ini jadi landasan bagi sebagian negara mengendurkan restriksinya.
Kedua, perjalanan pandemi selama dua tahun mengisyaratkan fenomena penting : meski kasus terus berfluktuasi, tingkat kefatalan terus menurun.
Pada tingkat global, dunia telah mengalami empat gelombang pandemi. Munculnya beragam varian dan penatalaksanaan pandemi yang belum merata memungkinkan munculnya gelombang-gelombang berikutnya.
Meski demikian, tren angka kematian dan CFR menurun dibanding beberapa waktu lalu. Saat puncak Delta tahun lalu, angka kematian 1,85 per satu juta penduduk dan kini menjadi 1,31 per satu juta penduduk. CFR juga menurun signifikan dari 7,8 persen di awal-awal pandemi menjadi 0,31 persen saat ini. Sebagian ahli mempredikasi CFR ini akan terus menurun, bahkan akan mendekati CFR flu musiman.
Mesti kemanjuran vaksin berpotensi menurun saat berhadapan dengan varian baru, kemanjurannya mencegah pemberatan penyakit dan kematian tetap sangat bermanfaat.
Ketiga, saat ini sudah terdapat beragam strategi pandemi. Pada awal pandemi, yang marak dipraktikkan hanyalah pembatasan pergerakan, 3M dan 3T. Saat ini sudah terdapat senjata penting yaitu vaksin dan obat-obatan.
Per Januari 2022, sudah 32 jenis vaksin disetujui penggunaannya dan ratusan kandidat vaksin dalam penelitian. Lebih 10 miliar dosis vaksin telah disuntikkan ke 60 persen lebih penduduk Bumi. Mesti kemanjuran vaksin berpotensi menurun saat berhadapan dengan varian baru, kemanjurannya mencegah pemberatan penyakit dan kematian tetap sangat bermanfaat.
Saat ini juga, makin banyak studi obat-obatan Covid-19. Telah banyak obat digunakan pada setting klinis meski yang disetujui WHO baru beberapa. Tersedianya beragam penatalaksanaan pandemi memantik kepercayaan diri beberapa negara untuk melonggarkan restriksinya.
Pertimbangan non-kesehatan
Saat awal pandemi, banyak pihak menyuarakan pentingnya memprioritaskan aspek kesehatan dibanding aspek lain dalam penanganan pandemi. Bahkan ada narasi pertimbangan ekonomi dan politik tak boleh digunakan di tengah pandemi.
Sejumlah negara menganut paham ini; mereka mengimplementasikan program ketat seperti pelarangan bepergian (travel ban) dan lock down; sebagian program ini bahkan dilakukan dalam periode cukup lama. Targetnya untuk meredam penyebaran virus semaksimal mungkin, meski argumentasi sosial dan ekonomi dinomorduakan.
Strategi ini ternyata tidak sepenuhnya efektif; kasus dan kematian hanya menurun sejenak dan naik lagi. Lebih dari itu, muncul efek serius berupa kerugian ekonomi besar dan disrupsi kehidupan sosial. Perjalanan dua tahun pandemi menimbulkan kesadaran bahwa aspek kesehatan bukan satu-satunya faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam keputusan pandemi.
Keputusan pandemi mesti mempertimbangkan aspek-aspek non-kesehatan, terutama ekonomi, sosial dan politik.
Keputusan pandemi mesti mempertimbangkan aspek-aspek non-kesehatan, terutama ekonomi, sosial dan politik. Keputusan pandemi mesti multi-sektoral (multi-sectorial decision). Kenyataannya, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dari hari ke hari, multi-sectorial decision makin marak dipraktikkan.
Di AS, jumlah kasus harian beberapa waktu lalu sempat melebihi 1,37 juta kasus. Padahal puncak sebelumnya hanya 300.000-an kasus. Sejak Omicron menyapu negeri itu, jumlah kasus kumulatif mencapai lebih 27 juta atau 400.000 kasus per hari. Bila setengah saja dari jumlah kasus ini harus berhenti kerja karena sakit atau menjalani isolasi selama 10 hari, betapa banyak perusahaan harus kehilangan tenaga kerjanya.
Faktanya, sejak beberapa bulan lalu AS menghadapi ‘great resignation’ di mana amat banyak pekerja yang berhenti dari pekerjaannya. Fenomena ini makin diperberat oleh badai Omicron yang membuat lebih banyak lagi pekerja dirawat atau menjalani isolasi. Banyak perusahaan, termasuk McDonald dan Starbuck, terpaksa mengurangi jam aktivitasnya karena kekurangan pekerja.
Baca juga : Meski Cenderung Bergejala Ringan, Jangan Remehkan Omicron
Di New York, pengambilan sampah sempat berhenti. Dari sekitar 5.000 rumah sakit yang ada, 1.200-an mengeluh kekurangan staf. Ribuan sekolah juga tutup karena stafnya terinfeksi Covid-19. Bila kondisi ini terus berlangsung, aktivitas ekonomi dan sosial terancam kolaps. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan pemerintah mengurangi masa isolasi.
Pekerja yang terinfeksi, sepanjang tak memiliki keluhan serius, hanya perlu menjalani isolasi lima hari dan setelah itu harus segera bekerja. Bukan 10 hari lagi.
Di Inggris kasusnya lain lagi. Bulan Desember lalu, pemerintah menyetujui pemberlakuan peraturan pandemi yang lebih ketat, termasuk keharusan menunjukkan sertifikat vaksinasi atau hasil tes negatif saat menghadiri acara. Padahal keputusan ini ditentang sebagian masyarakat dan politikus.
Satu bulan kemudian, PM Inggris Boris Johnson mengeluarkan kebijakan pengenduran restriksi, yang sangat bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya. Banyak menduga keputusan ini berlatar belakang politik. Saat mengeluarkan kebijakan tersebut, Borris Johnson sementara diinvestigasi dan terancam dipecat karena kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Saat mengeluarkan kebijakan tersebut, Borris Johnson sementara diinvestigasi dan terancam dipecat karena kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Ia mengadakan pesta saat program lockdown sementara dijalankan. Ini terlihat sepele tetapi sangat serius bagi masyarakat Inggris. Saat ini, ia mendapat tekanan serius dari politikus dan masyarakat. Sebagian menduga keputusan mengendurkan restriksi didasari keinginan PM untuk memperoleh dukungan dari politikus dan masyarakat anti-vaksin yang menginginkan dihapusnya beragam restriksi.
Di Thailand lain lagi. Pemerintah baru-baru ini mengimplementasikan program Test and Go. Dengan program ini, wisatawan mancanegara dapat datang ke Thailand tanpa karantina, sepanjang telah divaksinasi. Dengan program ini mereka berharap bisa menerima 200.000-300.000 wisatawan bulan ini dan 5-9 juta tahun ini.
Sebelum pandemi, seperlima dari Produk Domestik Bruto Thailand memang berasal dari sektor pariwisata. Dengan program Test and Go, mereka berharap sektor pariwisata dapat menggeliat kembali dan mereka dapat mendulang keuntungan ekonomi sebagaimana sebelumnya. Pemerintah memang mengakui bahwa program ini bertujuan meningkatkan cakupan pariwisata sambil tetap mempertahankan kepentingan kesehatan masyarakat.
Baca juga : Menkes: Peningkatan Omicron Lampaui Varian Delta
Pergeseran paradigma
Keputusan berfokus kesehatan (health-focused decision) marak dipraktikkan saat awal-awal pandemi. Justifikasinya jelas; saat itu dunia disentak oleh virus baru yang memiliki tingkat transmisi dan kefatalan tinggi, terbatasnya pengetahuan tentang virus, minimnya penatalaksanaan efektif dan belum jelasnya dampak pandemi terhadap aspek-aspek di luar kesehatan, termasuk aspek sosial dan ekonomi.
Data-data epidemiologis juga belum tersedia memadai. Maka beralasan bila timbul anggapan bahwa pandemi adalah domain kesehatan dan pertimbangan kesehatan harus selalu diprioritaskan dalam penanggulangannya. Sejalan dengan waktu, mulai tampak bahwa keputusan yang hanya didasarkan pada aspek kesehatan bukan hanya tak menyelesaikan Covid-19 disease tetapi berpotensi menimbulkan economic and societal diseases.
Keputusan unilateral terbukti menimbulkan disrupsi ekonomi dan sosial. Saat bersamaan, negara-negara juga mengalami beragam persoalan internal, termasuk turbulensi bidang ekonomi, sosial dan politik, yang membutuhkan jalan keluar. Persoalan-persoalan ini bisa terkait atau tak terkait pandemi. Kompleksitas masalah ini jadi alasan diperlukannya kompromi berbagai aspek dalam setiap keputusan pandemi.
Sederhananya, keputusan pandemi mesti menjadi lebih multi-sectorial dan multi-factorial. Prinsip ini kini digunakan berbagai negara saat melakukan pengenduran restriksi. AS mengurangi masa isolasi Covid-19 bukan hanya karena Omicron dianggap memiliki fenomena luas tapi ringan (widespread but mild) tetapi juga karena terjadi kekurangan tenaga kerja masif.
Inggris mengendurkan restriksinya bukan hanya berdasar bukti sains tetapi juga ditengarai akibat turbulensi politik. Thailand berani membuka program pariwisata luas di tengah badai Omicron karena adanya kebutuhan finansial dari sektor pariwisata. Intinya, keputusan pandemi tak lagi didasarkan hanya pada pertimbangan kesehatan. Dalam setiap keputusan terjadi beragam interseksi dan kompromi multi-aspek.
Kompromi multi-aspek dalam keputusan pandemi memunculkan fenomena heuristic. Akan muncul banyak opini dan usulan program yang dari aspek unilateral kesehatan bagus dan bermanfaat namun tidak digunakan karena dianggap tidak feasible dan tidak pragmatik dari sudut ekonomi, sosial dan politik. Sebaliknya, akan sering muncul keputusan yang tampak tidak elok dari aspek kesehatan namun tetap diimplementasikan atas pertimbangan kompromi multi-aspek.
Kriteria keputusan baik atau buruk tidak lagi hanya ditilik dari aspek kesehatan semata. Intinya, pertimbangan kesehatan penting namun tidak menentukan segalanya.
Iqbal Mochtar, Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah