Pengaturan Baru Rente Sumber Daya
Seperti halnya industri ekstraktif di sumber daya alam (SDA) lainnya, industri batubara dapat dikategorikan sebagai kegiatan penghasil rente. penataan bisnis rente ini adalah suatu keharusan.

-
Krisis” pasokan batubara untuk pembangkit listrik domestik bukanlah sesuatu yang baru. Ia seperti siklus berulang setiap tahun. Misalnya pada awal dan pertengahan 2021. Ketersediaan batubara juga berada di bawah standar ideal pasokan 15-25 hari. Kondisi serupa kembali terjadi pada awal 2022. Diawali dengan surat dari Direktur Utama PT PLN kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang rendahnya pasokan.
Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan kebijakan pelarangan penjualan batubara ke luar negeri selama satu bulan. Namun tak berapa lama kemudian, media melaporkan bahwa larangan ekspor batubara dicabut lagi. Bagaimana menjelaskannya? Rekomendasi apa yang bisa diberikan untuk tidak mengulangi kekisruhan seperti ini?
Arena perebutan
Seperti halnya industri ekstraktif di sumber daya alam (SDA) lainnya, industri batubara dapat dikategorikan sebagai kegiatan penghasil rente. Disebut menghasilkan rente karena pendapatan atau laba yang diperoleh industri ini tidak “normal” atau sangat besar. Disebut tak normal karena beban biaya produksi berbasis eksploitasi kekayaan alam sangat rendah dan sebagian besar berbasis lisensi/izin. Dalam beberapa kasus, perolehan laba yang tak normal ini, juga berasal dari boom komoditas sehingga menjadi penggerak untuk menumbuhkan sektor-sektor lainnya.
Hal ini terlihat dari peran penting dari industri ini dalam peningkatan harga pasar saham di Indonesia sejak tahun 2000-an. Kajian yang dilakukan Ndiame Diop dkk (2014) menyebutkan, kegiatan bisnis batubara dan juga minyak kelapa sawit memberikan kontribusi penting dalam peningkatan harga saham, baik di sektor pertambangan maupun pertanian pada kurun 2002- 2012.
Sebanyak 21 dari 40 orang terkaya di Indonesia juga bermuasal dari sektor batubara dan minyak sawit.
Diperkirakan batubara memberikan kontribusi peningkatan 20 kali lipat dalam indeks harga ekuitas pertambangan, dan kontribusi kelapa sawit diperkirakan 14 kali lipat di indeks harga pertanian. Kedua sektor diperkirakan juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan keseluruhan index equity sebesar 10 kali lipat selama kurun waktu tersebut. Sebanyak 21 dari 40 orang terkaya di Indonesia juga bermuasal dari sektor batubara dan minyak sawit.
Meminjam pendekatan rantai nilai Naazheen H Barma dkk (Rents to Riches 2012), terdapat lima tahapan penting dalam pengaturan kelembagaan bisnis SDA ini. Tahap awal adalah pengelolaan organisasi dan penyerahan kontrak. Kemudian disusul oleh tahapan kedua yaitu tahapan regulasi dan pengawasan operasi. Tahapan ketiga adalah pemungutan pajak dan royalti. Tahapan keempat dan kelima adalah pengelolaan pendapatan dan distribusi serta kebijakan yang tepat dan berkelanjutan.
Saat ini, kekisruhan pengelolaan batu -bara di Indonesia tampaknya masih berkutat di dimensi kedua dan ketiga. Walaupun terdapat upaya untuk bergerak ke tahapan mata rantai keempat (isu smelter, misalnya) dan mata rantai kelima (misalnya isu energi terbarukan), namun itikad kebijakan itu sukar menjadi efektif jika tahapan kedua dan ketiga dari proses rente ini tidak dibenahi.
Isu kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO) menjadi contoh kerumitan proses rente itu
Seperti diketahui, salah satu kebijakan pengelolaan sumber daya yang relevan dalam menjaga stabilitas pasokan batubara untuk pembangkit listrik adalah dengan pemenuhan DMO sebesar 25 persen dari rencana jumlah produksi perusahaan penambang batubara.
Baca juga : Ekspor Dilarang, Saham Emiten Batubara Tertekan
Namun dalam praktiknya tak jarang ditemukan bahwa pengusaha belum memenuhi target DMO yang telah ditetapkan itu. Salah satu sebabnya, karena tren harga. Harga batubara di pasar internasional yang melambung sejak awal 2021 berpotensi menjadi daya tarik bagi para pengusaha batubara untuk melakukan ekspor, alih-alih menjual di pasar domestik. Tambahan lagi, mekanisme hukuman denda terhadap pengusaha yang tak mampu memenuhi kewajiban belum memberikan efek jera.
Di sisi lain, terdapat juga dugaan bahwa terdapat perlakuan yang tidak sama terhadap penambang batubara. Ada dugaan bahwa pemerintah belum memberikan fasilitas level playing field yang sama bagi semua penambang. Ada pula dugaan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kualitas spesifikasi batubara yang diperlukan dalam negeri.
Di tengah situasi itu turut dijumpai persoalan dari dalam tubuh PLN sendiri. Pembubaran anak perusahaan PT PLN Batu Bara adalah mungkin indikasinya. Selain karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan batubara PLN yang berujung pada kelangkaan pada awal 2022, juga terdapat indikasi proses pengadaan batubara yang terlalu rumit dan tidak efisien baik dari sisi proses maupun biaya, karena pengadaannya dilakukan melalui anak perusahaan PT PLN Batu Bara.

Pengaturan baru
Dalam pengelolaan batubara sebagai obyek rente SDA milik negara, pemerintah memang berhadapan dengan posisi dilematik ketika harga internasional meningkat. Di satu sisi, kenaikan harga batubara akan menambah pendapatan negara melalui pungutan pajak dan penerimaan negara bukan pajak dari hasil ekspor. Dengan begitu, pemerintah akan memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan investasi publik yang lebih ekspansif.
Namun, peningkatan harga batubara akan mengganggu pasokan dalam negeri akibat perusahaan domestik yang lebih tertarik melakukan ekspor dengan harga internasional yang lebih tinggi dari domestik. Dampaknya adalah terganggunya stabilitas pelayanan sektor energi dalam negeri, karena hingga saat ini sekitar 60 persen pembangkit listrik PLN masih membutuhkan batubara.
Dari konteks ekonomi politik, penataan bisnis rente ini adalah suatu keharusan. Ia harus diwali dengan melihat peran dari masing-masing aktor dalam mewujudkan pemerataan manfaat dari hasil rente sumber daya. Pemetaan aktor dapat dilakukan dengan membaginya ke dalam dua kelompok utama yaitu (1) penghasil dan (2) distributor rente sumber daya. Penghasil rente sumber daya yang dimaksud di sini adalah aktor kementerian/lembaga (K/L) sebagai pemerintah dan perusahaan sebagai pelaku pasar, baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta.
Dalam pemetaan aktor ekonomi politik di atas, Kementerian Keuangan memainkan peran sentral sebagai penyeimbang antara penghasil dan distributor rente sumber daya.
K/L pemerintah terkait sumber daya bertugas untuk memberikan izin dan memastikan pengelolaan sumber daya sesuai peraturan yang berlaku. Lebih lanjut, perusahaan pengelola menikmati keuntungan langsung dari investasi yang dilakukan untuk menyediakan hasil olahan sumber daya di pasar.
Di sisi lainnya, terdapat distributor rente sumber daya yang meliputi aktor yang berasal dari K/L sebagai pembuat kebijakan, perusahaan sebagai eksekutor kebijakan, dan masyarakat umum sebagai penerima manfaat kebijakan. Aktor-aktor ini berperan penting untuk memastikan manfaat dari hasil rente sumber daya tak hanya dirasakan oleh segelintir kelompok, melainkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Dalam pemetaan aktor ekonomi politik di atas, Kementerian Keuangan memainkan peran sentral sebagai penyeimbang antara penghasil dan distributor rente sumber daya. Sesuai dengan mandat yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020, Kementerian Keuangan bertanggung jawab untuk mengelola pendapatan negara, termasuk yang didapatkan dari penghasil rente sumber daya, dan kemudian digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga : Praktik Tata Kelola Batubara Dinilai Tidak Konsisten
Dalam konteks peran sebagai penyeimbang itu Kementerian Keuangan barangkali perlu memikirkan untuk merancang suatu kelembagaan baru yang menyeimbangkan antara aktor dan kekuatan dari para penghasil rente dan kekuatan dan keinginan terutama dari publik untuk melakukan distribusi rente itu pemberdayaan dan penguatan ekonomi nasional. Namun, semangat dari desain kelembagaan baru ini harus didasari oleh kesadaran bahwa kelembagaan yang telah ada saat ini memiliki kapasitas yang terbatas.
Sebagai contoh, Kementerian ESDM sebagai lembaga pemerintah hanya dapat memenuhi mandatnya sebagai regulator dan tidak dapat berperan menjadi penegak peraturan (enforcement).
Lebih lanjut, mekanisme desain kelembagaan baru ini juga harus dapat menjadi penyeimbang antara kekuatan PLN sebagai perusahaan monopoli di sektor tenaga listrik domestik dan produsen batu bara yang memiliki kekuatan politik yang besar berkat kontribusinya terhadap pendapatan negara.
Makmur KeliatPengajar Ekonomi Politik Internasional, FISIP UI, dan Senior Fellow Lab45