Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebutkan tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta, cukup diselesaikan dengan cara mengembalikan kerugian negara menuai kontroversi.
Oleh
ALBERT ARIES
·5 menit baca
Kontroversi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin di hadapan Komisi III DPR—yang menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta, cukup diselesaikan dengan cara mengembalikan kerugian negara— perlu digali sebagai cikal bakal pemberantasan korupsi yang progresif.
Melalui Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Korps Adhyakasa sontak menyampaikan klarifikasi. Disebutkan, pernyataan Jaksa Agung merupakan imbauan umum untuk menjadi pemikiran bersama, dan mencari solusi yang tepat dalam penindakan korupsi yang menyentuh pelaku atau masyarakat di level akar rumput, yang dilakukan karena ketidaktahuan, tidak sengaja, dan kerugian keuangan negaranya relatif kecil.
Persoalannya, ketentuan Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah mengatur dengan tegas, pengembalian kerugian keuangan negara, atau perekonomian negara tak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Kini pernyataan itu menyisakan perdebatan, antara lain mengenai dasar penentuan perkara korupsi “di bawah Rp 50 juta” termasuk kategori ringan (petty corruption), dapat diselesaikan secara administratif dengan pengembalian kerugian negara, dan parameter apa yang digunakan jaksa selaku pengendali perkara (dominus litis) untuk menyelesaikan petty corruption di luar pengadilan.
Suatu saat nanti banalitas dikhawatirkan menjadi impunitas, yaitu kegagalan untuk membawa pelaku kejahatan (korupsi) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Paradigma menghukum
Diskursus bermula dari data yang disajikan salah satu anggota DPR mengenai tak sedikit -nya kasus korupsi Dana Desa yang nilainya sangat rendah, dan hanya beda (selisih) Rp 5-7 juta, namun kasusnya tetap diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan segala biaya dan proses hukum yang begitu panjang.
Bagi yang menganut asas legalitas secara absolut tentu akan berpandangan, tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor tidak bisa dinilai dari nominalnya, atau diselesaikan dengan pengembalian kerugian keuangan negara, sekalipun dilaksanakan atas nama pro justitia, karena dianggap tidak menimbulkan efek jera.
Selain itu, terdapat pandangan umum yang menganalogikan korupsi sebagai genus khusus dari pencurian (Pasal 362 KUHP) yang merupakan delik formil, di mana beberapa yurisprudensi telah memberikan kaidah hukum bahwa pengembalian barang yang dicuri tidak menghapus pidana, melainkan hanya menjadi faktor yang meringankan pelaku.
Seperti dikutip Kompas.id dari Haryatmoko (2003), “Banalisasi Korupsi” adalah fenomena ketika orang menjadikan kejahatan (korupsi) sebagai sesuatu yang biasa dan merasa tidak bersalah melakukannya. Suatu saat nanti banalitas dikhawatirkan menjadi impunitas, yaitu kegagalan untuk membawa pelaku kejahatan (korupsi) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Namun, kekhawatiran ini tak boleh mengurung kita dalam paradigma follow the suspect dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang tujuannya cenderung menghukum pelaku (efek jera), namun melupakan follow the money dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara, serta efisiensi penegakan hukum itu sendiri.
Diskresi jaksa
Dalam menyusun kebijakan dan strategi pemberantasan korupsi, juga perlu diingat bahwa melalui UU No 7 Tahun 2006 Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC 2003).
Yang menarik, Pasal 37 Ayat 2 dan 3 UNCAC telah mengamanatkan negara peserta menyediakan kemungkinan untuk meringankan hukuman, dan bahkan dalam batas-batas tertentu memberikan kekebalan terhadap terdakwa yang memberikan kerja sama penting (substansial) dalam penyelidikan atau penuntutan korupsi.
Sebagai perbandingan, di negara-negara yang menganut common law system, seperti Kanada dan Australia telah dikenal model Plea Bargaining, yaitu suatu kesepakatan dari negosiasi antara jaksa dan terdakwa yang telah mengakui kesalahan -nya, sehingga terdakwa dapat dihukum dengan model dan durasi hukuman lebih ringan.
Konsep serupa namun tak sama dengan Plea Bargaining juga telah diperkenalkan dalam Pasal 199 RKUHAP sebagai “Jalur Khusus” bagi terdakwa yang mengakui semua perbuatan yang didakwakan, yaitu bagi tindak pidana yang ancamannya tak lebih dari tujuh tahun penjara, kemudian penuntut umum akan melimpahkan perkara tersebut dalam acara pemeriksaan singkat.
Menilik revisi teranyar atas UU Kejaksaan, kewenangan jaksa untuk melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary) kian diperkuat dengan “sisipan” Pasal 34A UU No 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No 16 Tahun 2004, yang mengatur untuk kepentingan penegakan hukum jaksa dan/atau penuntut umum dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memerhatikan peraturan perundang-undangan dan kode etik.
Namun, ketentuan diskresi penuntutan untuk perkara korupsi yang termasuk kategori petty corruption, misalnya di bawah Rp 50 juta harus disertai kajian yuridis, ekonomis, dan sosiologis, serta perlu disinkronkan dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang telah mengkategorikan kerugian negara paling ringan untuk Pasal 3 UU Tipikor, yaitu Rp 200 juta.
Perhitungan kerugian keuangan negara juga tak bisa disamaratakan untuk suatu kasus dengan kasus lainnya, karena tergantung sifat kasus, penilaian (judgment) auditor, dan kriteria apa yang digunakan. Oleh karena itu, diperlukan peraturan pelaksanaan untuk mengatur lebih lanjut mengenai parameter objektif bagi jaksa untuk melakukan diskresi penuntutan terhadap petty corruption.
Pertama, perlu parameter tingkat kesalahan (schuld) yang termasuk ringan, misalnya terdakwa melakukan perbuatan karena kurangnya pemahaman atau pengetahuan. Kedua, tingkat dampak (impact) yang ringan, misalnya perbuatan terdakwa dampaknya hanya terjadi dalam skala kecil yang tidak berdampak luas.
Ketiga, apakah memang betul ada fraud dalam pengelolaan dana atau pengadaan barang dan jasa, misalnya proyek, kegiatan, dan honornya tak fiktif, serta barang dan jasa yang diterima tak sesuai spesifikasi dalam kontrak namun masih bisa digunakan atau dimanfaatkan.
Pendekatan multidisipliner
Pepatah dalam bahasa Belanda yang berbunyi, “het recht hink achter de feiten aan.” kiranya masih cukup relevan untuk mengingatkan kita bahwa hukum selalu tertinggal dari realitas dan kebutuhan zaman.
Keberadaan Pasal 4 UU Tipikor yang dibuat 23 tahun silam tentu tak dapat dilihat dengan “kacamata kuda”, khususnya dalam petty corruption yang jika diproses mungkin akan menghabiskan biaya dan waktu yang jauh lebih besar daripada pengembalian kerugian keuangan negara, sebagaimana adagium, “Quod vanum et inutile est, lex non requirit” ( hukum tak menghendaki apa yang sia-sia dan tak berguna).
Mengutip pandangan Lim Kurniawan selaku Fraud Examiner, pada dasarnya kerugian keuangan negara terjadi jika prestasi yang diterima negara lebih kecil dari uang yang dibayarkan negara. Sama halnya dengan prinsip akuntansi, prestasi yang diterima dari sisi debit, sedangkan uang yang dikeluarkan negara di sisi kredit, di mana antara sisi debit dan kredit harus sama (balance).
Untuk itu, pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien perlu dilakukan dengan pendekatan yang multidispliner dan bukan sekadar yuridis-dogmatis, salah satunya melalui analisis ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law), apakah suatu penegakan hukum korupsi yang timbul dari suatu kerugian negara yang ringan justru malah menambah beban pengeluaran negara?
Albert AriesPengajar FH Trisakti, Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)