Fatalitas kecelakaan bisa diminimalkan dengan menguasai manajemen risiko keselamatan. Uji SIM, misalnya, tidak hanya berdasar keterampilan mengemudi, tetapi juga mengutamakan keselamatan.
Oleh
SWASTA PRIAMBADA
·4 menit baca
Kecelakaan karena rem blong, tenggelam di pantai/kolam renang yang terjadi akhir-akhir ini patut menjadi bahasan serius agar tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Jelas, berbagai peristiwa itu memang kehendak Tuhan, yang sebagai orang beriman, kita memercayainya sebagai takdir. Namun, sebenarnya ada teori manajemen risiko dan keselamatan yang penting untuk diamalkan. Khususnya untuk pencegahannya. Namun, benarkah kita harus terus-menerus terbeban pikiran dan waswas oleh risiko di sekitar kita?
Manajemen risiko secara umum adalah ilmu menghindari risiko dengan mengaturnya agar tidak terjadi, tetapi apabila terpaksa terjadi, diminimalkan. Cara lain adalah dengan membagi risiko (banyak muncul di teori investasi keuangan). Apabila Aswin Rivai (Kompas, 26/11/2021) membahas penanggulangan kecelakaan dari sisi detektor pengamanan pada kendaraan, maka tulisan ini akan membahas lebih pada manusianya dan literasinya.
Pelayanan berlalu lintas terus diusahakan oleh Polri mengikuti niat baik Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk terus memperbaiki citra polisi (Peraturan Kepolisian Nomor 5 Tahun 2021). Namun, tetap ada kecelakaan beruntun yang menyebabkan kita merasa ngeri merasakannya (Kompas.com, 21/1).
Penanganan risiko dalam hal ini lebih mengarah pada cara pencegahan atau penghindaraan, yaitu dengan persiapan yang baik. Tidak dapat dimungkiri bahwa tes mengemudi untuk mendapatkan SIM lebih pada aspek keterampilan mengemudi, tetapi tidak pada keselamatan. Hal ini tampak pada tidak diceknya kondisi kendaraan yang dimiliki kandidat pemegang SIM ketika tes. Mobil atau motor disediakan polisi untuk dipakai secara bergantian.
Tidak dapat dimungkiri bahwa tes mengemudi untuk mendapatkan SIM lebih pada aspek keterampilan mengemudi, tetapi tidak pada keselamatan.
Di Australia yang saya alami, tes mengemudi khususnya mobil selalu menggunakan kendaraan milik sendiri atau orang lain yang memenuhi syarat untuk turut dicek remnya, pelampuannya depan belakang (hidup/tidaknya), rem tangan, lampu sign kiri-kanan depan-belakang, beserta wiper, klakson, dan juga penghindaraan kabut ketika hujan sehingga pengendara tetap jelas pandangannya. Diakhiri dengan tes langsung praktik di jalan untuk melihat kelakukan dan kebiasaan pengemudi mematuhi aturan lalu lintas, oleh penguji yang duduk di kursi belakang. Ini yang belum diberlakukan di Indonesia. Namun, justru inilah tes sekaligus uji coba terpenting yang perlu diperhatikan untuk menghindari kecelakaan (surat pembaca, 22/6/2021, tentang pendidikan berkendara).
Risiko di air
Di air tidak kalah mengenaskan. Pelajar terhanyut di sungai ketika program jelajah alam (Kompas, 21/2/2020), anak-anak terbentur kepalanya ketika main di kolam renang yang ada wahana bermainnya, menandakan ada hal serius yang harus dibenahi dalam pengamanan kesalamatan di air.
Budaya bangsa kita cenderung menganggap remeh hal-hal yang kecil, tetapi dengan bukti-bukti di atas sudah selayaknya budaya tersebut dikikis sedikit demi sedikit atau radikal jika perlu dengan mengedepankan manajemen risiko dan keselamatan. Sama seperti di darat, keselamatan dipenuhi dari sisi aturan, literasi, maupun sumber dayanya.
Amat mengenaskan kalau kita sebagai negara maritim sangat lemah pemahaman dan praktik manajemen risiko dan kesalamatan di air. Selayaknya manajemen risiko di dalam air mendapat perhatian serius demi keselamatan segenap warga dan generasi penerus.
Di Australia yang saya ketahui, penanganan risiko ditangani oleh komunitas, negara, dilakukan oleh pengelola kolam renang/tempat wisata (surat pembaca, 17/3/2020).
Langkah ke depan
Selanjutnya, ke depan uji SIM di Indonesia diharapkan tidak hanya berdasarkan keterampilan mengemudi, tetapi juga mengutamakan keselamatan. Dengan demikian, langkah-langkah berikut perlu dipertimbangkan untuk diterapkan. Pertama, perlu memahami buku petunjuk berlalu lintas secara lengkap sebelum mempunyai SIM. Buku tersebut berisi manajemen risiko dan keselamatan di jalan raya. Buku ini sebaiknya dibuat dengan kolaborasi Polri dan DLLAJ.
Kedua, kendaraan kandidat juga sebaiknya perlu dicek ketika uji SIM. Ketiga, perlu ada cek random, sidak pengecekan fungsi rem, lampu depan-belakang di tempat strategis. Keempat, perlu adanya kamera CCTV yang bisa membantu memolakan dan mengidentifikasi pergerakan tidak wajar (anomali), misalnya melebihi batas kecepatan maksimum sehingga DLLAJ/polisi bisa langsung menindak.
Untuk keselamatan di air, perlu adanya langkah-langkah berikut: pertama, dari sisi SDM, yaitu adanya lifeguard pool (petugas keselamatan) yang dididik secara khusus manajemen keselamatan; kedua, literasi keselamatan dalam air bisa ditingkatkan dengan penambahan pelajaran keselamatan dalam kurikulum les berenang, seperti renang penyelamatan, pengetahuan berbagai macam ombak, keadaan tidak boleh berenang karena hujan lebat disertai petir yang berbahaya, maupun imbauan bagi orangtua atau pengantar agar tetap keep on eye, menjaga anak-anaknya tidak lebih dari jarak pandang 1,5 meter di kolam renang, menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Semoga manajemen risiko dan keselamatan di darat dan di air bisa semakin baik ke depan dengan pembenahan perilaku, kebiasaan manusianya dan pengetahuannya, syukur-syukur didukung ekosistem yang memadai. Peraturan ditegakkan, tetapi juga mengubah perilaku ”menggampangkan” keselamatan.
Swasta Priambada, Dosen Administrasi Bisnis FIA Universitas Brawijaya, Sedang Tugas Belajar di Swinburne University, Australia; Pemegang Sertifikat Watersaftey LSV (2018-2020) dan Driving License Vicroad (2020-2023)