Transisi menuju ekonomi hijau sangat penting dan mendesak dilakukan di Indonesia khususnya dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Manajemen transisi yang terukur dan terencana sangat penting.
Oleh
FEBRIO KACARIBU
·5 menit baca
Heryunanto
Maraknya kejadian bencana menegaskan semakin nyatanya ancaman perubahan iklim bagi manusia dan lingkungan. Transisi menuju ekonomi hijau sangat penting dan mendesak dilakukan di Indonesia khususnya dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sayangnya, transisi ini tak mudah dan menimbulkan biaya besar. Manajemen transisi yang terukur dan terencana menjadi sangat penting.
Pemerintah sudah menyatakan komitmen mengatasi ancaman risiko perubahan iklim dalam skema nationally determined contribution (NDC) baik dari sisi mitigasi maupun adaptasi: 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional di 2030.
Dokumen ini juga sudah diperbarui di 2021 dengan menambahkan sektor kelautan dan perikanan serta kontribusi sektor adaptasi. Secara bersamaan, disampaikan dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 serta penetapan target Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat.
Perdagangan karbon
Target penurunan emisi di NDC wajib dimaknai dalam perspektif pembangunan meski dapat dilihat melalui pendekatan sektoral. Ada sektor yang emisinya harus turun lebih besar dari sektor lain meski kebutuhan investasinya akan berbeda sesuai kekhasan masing- masing. Sektor energi, misalnya, jelas perlu biaya investasi per ton yang relatif mahal dibanding sektor berbasis lahan maupun sektor tradisional lain.
Demikian pula transportasi dan industri, limbah, pengelolaan sampah. Sektor berbasis lahan, khususnya kehutanan dan lahan gambut, sejak lama diyakini memegang kontribusi terbesar dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim.
Kita perlu serius dalam menahan laju deforestasi, degradasi hutan dan lahan serta penebangan hutan, di samping terus mendorong pergeseran pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), konservasi energi dan energi efisiensi serta berbagai upaya lainnya.
Dari data BUR (Second Biennial Update Report) 2018, kebutuhan pendanaan untuk mencapai NDC 2030 diperkirakan sekitar Rp 3.461 triliun. Untuk mengoptimal pelibatan aktor non-pemerintah dalam pendanaan transisi hijau, pemerintah mengembangkan skema carbon pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Transisi menuju ekonomi hijau sangat penting dan mendesak dilakukan di Indonesia khususnya dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sektor kehutanan (forest and land use/FOLU) diprediksi memiliki potensi NEK yang besar dan akan melampaui target NDC di 2030 sekaligus mencapai net zero emission (Net-Sink) di 2030 melalui penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan restorasi tata air gambut. Sektor kehutanan juga berpeluang menghasilkan pengurangan emisi lebih jauh (beyond NDC).
Berdasar hitungan awal, potensi kredit karbon dari “beyond NDC” ini sekitar 40 persen dari biaya penurunan emisi untuk mencapai NDC di sektor ini.
Hasil kesepakatan COP-26 makin meningkatkan permintaan global terhadap karbon kredit dengan harga semakin tinggi. Hutan kita yang sangat luas berpotensi menghasilkan karbon kredit yang dapat ditransaksikan di level global untuk pencapaian target penurunan emisi di banyak negara.
Tata laksana NEK diatur melalui Perpres No 98/2021 sekaligus diperkuat dalam UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mengatur pajak karbon.
Ke depannya mekanisme NEK di Indonesia akan terdiri dari kebijakan perdagangan karbon (emission trading system dan offset carbon), pembayaran berbasis kinerja (RBP), pungutan atas karbon serta mekanisme NEK lainnya.
Merujuk dokumen update NDC, pemerintah menjalankan strategi “outscope NDC” yang lain seperti pemanfaatan ekosistem blue carbon pesisir (meliputi hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang) yang menyimpan sekitar 75 -80 persen dari jumlah karbon dunia.
Pemerintah menerapkan pajak karbon mulai 1 April 2022, diawali di PLTU batubara. Di 2025 penerapan pajak karbon dapat diperluas terhadap sektor lainnya di dalam NDC dengan tetap memerhatikan kesiapan sektoral dan kondisi perekonomian secara menyeluruh.
Transisi penting lain adalah di sektor energi, khususnya ketenagalistrikan.
Transisi penting lain adalah di sektor energi, khususnya ketenagalistrikan. Saat ini sekitar 70 persen suplai listrik PLN dari PLTU batubara yang menghasilkan emisi tinggi. Ke depan, Indonesia akan mulai beralih ke EBT. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 adalah RUPTL paling hijau sepanjang sejarah PLN. Sekitar 51 persen tambahan pembangkit sampai 2030 direncanakan memakai EBT.
Melalui energy transition mechanism (ETM) PLN mencanangkan beroperasi tanpa PLTU batubara di 2056 dengan mengombinasikan pembangkit EBT dengan menurunkan jumlah (phasing down) PLTU batubara secara hati-hati. Akan dibentuk dua jenis pendanaan (fund), coal early retirement fund dan renewable fund untuk memanfaatkan tren pasar keuangan global, di mana proyek dekarbonisasi bisa dibiayai dengan dana relatif murah.
Contohnya, Pemerintah RI baru saja menerbitkan SDG Bonds 500 juta euro dengan tenor 10 tahun dan suku bunga 1,3 persen. Saat ini, pemerintah sedang menghitung dengan cermat peluang dan juga biaya dari ETM ini. SDG Bonds ini yang pertama bagi pemerintah sekaligus menyempurnakan proses penerbitan Souvereign Green Sukuk yang terbilang sukses sejak 2018 hingga kini.
RENY SRI AYU ARMAN
Pembangkit listrik bertenaga bayu di Sidrap, Selasa (12/10/2021). Diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2019 lalu, PLTB Sidrap menjadi PLTB terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Ke depan, bauran energi baru terbarukan kian diperlukan untuk energi hijau yang ramah lingkungan.
Adil dan terjangkau
Transisi ekonomi hijau dengan prinsip adil dan terjangkau (just and affordable) akan terjadi dalam jangka menengah (2030) dan panjang (2060). Dalam jangka pendek, pemerintah akan menyiapkan peta jalan, kebijakan, infrastruktur peraturan perundangan dan rencana mitigasi dampak sosialnya.
Dalam jangka pendek dan menengah, untuk memitigasi dampak negatif dari transisi menuju ekonomi hijau, negara akan selalu hadir terutama untuk menciptakan stabilitas layanan publik dan harga pada masyarakat. Prinsip just and affordable akan selalu dipegang oleh pemerintah. Penyesuaian harga energi jika diperlukan akan dilakukan secara gradual dan terukur sehingga daya beli masyarakat akan tetap terjaga.
Kehadiran negara secara adil juga akan ditunjukkan dengan memberikan dukungan prioritas pada sektor terdampak transisi ekonomi hijau, terutama UMKM, melalui dukungan akses pasar dan pembiayaan murah, memastikan terjadinya pergeseran (shifting) kemampuan pekerja menuju sektor hijau, serta dukungan insentif perpajakan. Negara juga akan memastikan stabilitas ketersediaan layanan dasar yang vital seperti listrik, serta harga energi, pangan dan transportasi publik. Perlindungan sosial bagi masyarakat miskin ataupun rentan dan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan juga terus diberikan.