Pegawai negeri sipil adalah penyelenggara pemerintahan sebenarnya, yang menjadi tulang punggung bagi negara dalam melayani masyarakat. Mereka adalah ”silent majority” yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah.
Oleh
MAMAN FATHURROHMAN
·6 menit baca
Beberapa waktu terakhir berkembang informasi bahwa pada tahun 2022 pemerintah tidak akan membuka lowongan calon pegawai negeri sipil (Kompas, 19 Januari 2022), bahkan ada wacana jumlahnya akan dikurangi dan lebih diperbanyak pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) karena menganggap hal tersebut adalah contoh baik dari negara maju (Kompas, 23 Januari 2022). Bahkan, pejabat seperti Bahlil Lahadalia mengimbau mahasiswa, jika ingin kaya tidak menjadi pegawai atau ASN/PNS karena profesi tersebut tidak menjanjikan kekayaan.
Sebagai akibatnya, paradigma yang berkembang adalah PNS memiliki citra yang buruk, merupakan penghambat dan menjadi beban pemerintah, sehingga jumlahnya harus dikurangi. Selain itu, masa depannya secara keuangan tidak baik. Terkait hal ini, hampir tidak terdengar suara pembelaan dari PNS atau media massa yang mencoba meminta pendapat para PNS. Padahal, PNS adalah penyelenggara pemerintahan sebenarnya, yang keberadaannya menjadi tulang punggung bagi negara dalam melayani masyarakat.
Mungkin memang benar ada PNS yang kerjanya lambat, sering terlambat, dan kurang kompeten, serta jumlah oknum seperti itu cukup banyak dan pelayanan buruknya dikenang oleh sejumlah orang yang pernah dilayaninya. Lingkungan kerja juga mungkin berpengaruh. Budaya ningrat, bahwa PNS adalah pengambil kebijakan, bukan pelayanan masyarakat mungkin masih terjadi di beberapa instansi pemerintah. Meskipun demikian, tidak dimungkiri bahwa beberapa instansi pemerintah telah berubah dengan reformasi birokrasi menjadi lebih baik.
Jika melihat data dari Badan Kepegawaian Negara (2020) terlihat bahwa lebih dari 50 persen PNS berpendidikan sarjana (S-1) dan secara total hampir 60 persen PNS berpendidikan S-1 sampai dengan S-3. Ditambah dengan cukup banyak pelatihan pelayanan prima yang diselenggarakan untuk mereka, termasuk pemberian penghargaan bagi PNS yang berprestasi, maka secara umum para PNS pelayan masyarakat kita adalah orang-orang yang kompeten secara individu.
Dalam konteks jabatan struktural di pemerintahan, peran eselon 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah kebijakan, kebijakan teknis, dan realisasi program kerja. Upaya penyederhanaan jabatan struktural dan memperbanyak pegawai dengan jabatan fungsional perlu diapresiasi.
Masalahnya adalah penyederhanaan yang model umumnya hanya menyisakan satu pejabat struktural eselon 2 (direktur atau setara) dan satu eselon 4 (kepala subbagian tata usaha) untuk mengelola satu satuan kerja atau satker (100-500 pegawai) belum tentu tepat. Belum lagi proses penyediaan jabatan fungsional baru yang prosesnya lama, dapat mencapai satu hingga dua tahun. Selain itu, tunjangan fungsional melalui terbitnya peraturan presiden untuk pemilik jabatan fungsional tertentu, setelah jabatan fungsional baru terwujud, juga tidak mudah dan berakibat pada penyediaan jabatan fungsional-jabatan fungsional baru sesuai kebutuhan menjadi sulit.
Setidaknya pada suatu satker ada pejabat eselon 1 dan/atau 2, serta beberapa pejabat eselon 3 untuk optimal dan bisa realisasi suatu kebijakan, tidak cukup hanya oleh eselon 2 dan eselon 4 sebagaimana model penyederhanaan yang umum berlaku saat ini.
Untuk efektivitas dan efisiensi operasional satuan kerja, selain ada kebutuhan distribusi capaian dan beban kerja, dengan melihat jumlah anggaran tersedia setiap tahun, sebenarnya setiap satker memiliki kemampuan anggaran dan fasilitas untuk keberadaan beberapa pejabat eselon 3. Oleh karena itu, setidaknya pada suatu satker ada pejabat eselon 1 dan/atau 2, serta beberapa pejabat eselon 3 untuk optimal dan bisa realisasi suatu kebijakan, tidak cukup hanya oleh eselon 2 dan eselon 4 sebagaimana model penyederhanaan yang umum berlaku saat ini.
Apabila dikalkulasi, sisa dana serapan anggaran per tahun akan lebih baik dialokasikan untuk pembiayaan dan operasional dari struktur yang optimal tersebut, selain agar penyelenggaraan kebijakan bisa implementatif hingga program kerja, juga dapat meningkatkan daya serap anggaran sehingga dana APBN tersebut berputar meningkatkan ekonomi masyarakat.
Jabatan karier dan siklus sistem birokrasi
Jabatan struktural hingga eselon 1 atau setara adalah jabatan karier bagi PNS karena itu seharusnya hanya dialokasikan bagi PNS saja, tidak dibuka untuk non-PNS. Selain khawatir karena mereka tidak paham konteks alami, sehingga membuat banyak kebijakan atau keputusan yang kontraproduktif, misalkan terkait kepegawaian, peran non-PNS pada pemerintahan sebaiknya lebih pada konteks sebagai ahli yang memberi saran dan masukan untuk berbagai kebijakan tidak dalam konteks menyelenggarakan pemerintahan.
Setiap negara memerlukan sistem birokrasi yang efektif dan efisien, beserta sumber daya yang permanen mengelola sistem tersebut berlandaskan meritokrasi. Sistem meritokrasi birokrasi tersebut harus secara tegas melaksanakan undang-undang dan berbagai regulasi turunannya, serta terbebas dari politik dan kepentingan, selain kepentingan negara dan masyarakat.
Siklus sistem meritokrasi PNS ini sebaiknya tidak sama dengan siklus pemilihan umum sehingga ketika pejabat politik (misalkan menteri) berganti, maka pejabat karier PNS struktural (eselon 1, 2, dan 3) tidak diganti dan tetap menjalankan fungsinya. Pada sejumlah negara maju, dikenal istilah permanent secretary, yang tidak terganggu ritme kerjanya dalam melayani masyarakat walaupun terjadi pergantian presiden, DPR, dan menteri.
Anggaplah siklus pergantian pejabat politik adalah 5 (lima) tahun sekali, maka siklus pergantian pejabat struktural PNS idealnya mungkin bisa 7 (tujuh) tahun sekali, sehingga jika nanti tahun 2024 (5 tahun dari 2019) akan ada presiden dan menteri baru, maka baru pada tahun 2026 (7 tahun dari 2019) akan ada pergantian pejabat struktural baru sehingga tidak mengganggu ritme kerja pelayanan pada masyarakat. Kondisi ini diharapkan dapat mewujudkan stabilitas dan keberlanjutan kebijakan dan program agar tidak selalu berganti setiap terjadi pergantian presiden atau menteri. Pergantian ini pun tentu melalui mekanisme meritokrasi dan pendidikan/pelatihan PNS yang tepat.
Militansi PNS, Polri, TNI, dan kejaksaan
Militansi PNS mungkin tidak perlu diragukan, sebagaimana bisa terlihat dari kesiapan bekerja kapan pun dan di mana pun. Untuk contoh yang baik, pada negara tetangga, PNS guru yang masih muda bisa ditugaskan pada daerah terpencil dengan perjanjian apabila telah mengabdi selama sepuluh tahun di daerah terpencil tersebut, maka yang bersangkutan bisa pindah ke kota mana pun yang dikehendakinya, misalkan pulang bekerja di kampung halamannya. Kondisi ini bisa dilakukan pada PNS dosen, PNS dokter, dan bidang lain yang diperlukan.
Ini adalah contoh bagaimana PNS bisa didistribusikan hampir ke seluruh pelosok wilayah karena memang kariernya dijamin oleh pemerintah pada masa depan. Berbeda pendekatan dengan PPPK yang senantiasa dalam ancaman pemberhentian karena status kerjanya adalah kontrak walaupun gajinya disetarakan dengan PNS.
Kondisi PNS di atas hampir sama pada pelayan masyarakat sejenis seperti Polri, TNI, dan Kejaksaan sesuai bidangnya masing-masing. Mereka adalah tulang punggung bagi pemerintah dalam melayani masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, kondisi PNS di atas hampir sama pada pelayan masyarakat sejenis seperti Polri, TNI, dan Kejaksaan sesuai bidangnya masing-masing. Mereka adalah tulang punggung bagi pemerintah dalam melayani masyarakat. Mereka bersedia menjadi PNS, polisi, tentara, dan jaksa walaupun gaji bulanan berada di bawah upah minimum regional (UMR) bekerja untuk negara dan melayani masyarakat karena ada jaminan tenur (karier) yang permanen dan memang seperti itu sifat profesinya.
Mereka adalah nonpartisan, tidak berpihak dan memang tidak boleh berpolitik praktis, tetapi sebenarnya adalah silent majority yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah. Kelompok tersebut tentunya harus benar-benar bisa diharapkan untuk menyelenggarakan pemerintahan melayani masyarakat secara stabil dan jangka panjang.
Maman Fathurrohman, Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi