Kala Pesantren Terpapar Terorisme
Perkembangan radikalisme-terorisme telah masuk pada kondisi sangat parah dan akut. Ada 198 pondok pesantren yang terindikasi terafiliasi dengan jaringan terorisme, kita perlu melihatnya secara kritis dan bijaksana.
Keinginan memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya, bukanlah perkara mudah. Perkembangan radikalisme-terorisme telah masuk pada kondisi sangat parah dan akut. Berbagai negara, termasuk Pemerintah Indonesia telah berusaha memutus mata rantai terorisme. Baik menggunakan soft approach atau hard approach. Namun aksi-aksi mereka terus berlanjut dan kian masif.
Terorisme sebagai kejahatan kemanusiaan dan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), nampaknya semakin piawai melakukan metamorfosis gerakan dan strategi yang sangat lembut. Begitu meyakinkan, dan mampu memprovokasi sebagian masyarakat untuk tak percaya pada pemerintah, memunculkan sikap intoleran pada kemajemukan, sering menimbulkan suasana chaos, dan membenturkan sesama anak bangsa.
Jika kenyataan itu tak segera disadari oleh semua elemen masyarakat, tak mustahil kelompok mereka semakin besar, menari-nari riang gembira melihat permusuhan dan konflik di tengah masyarakat. Lambat laun, semakin mudah memenuhi ambisi dan merealisasikan tujuan mereka menciptakan teror, kerusakan, dan permusuhan di masyarakat.
Mencermati polemik terkait pernyataan Kepala BNPT pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR (25/1/2022) bahwa ada 198 pondok pesantren yang terindikasi terafiliasi dengan jaringan terorisme, kita perlu melihatnya secara kritis dan bijaksana.
Jika kenyataan itu tak segera disadari oleh semua elemen masyarakat, tak mustahil kelompok mereka semakin besar, menari-nari riang gembira melihat permusuhan dan konflik di tengah masyarakat.
Agar tak berlarut-larut, semua pihak perlu memberikan solusi sesuai tupoksi dan tanggung jawab masing-masing. Sedangkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat, bisa dimaklumi sebagai usaha memperoleh titik temu dan kemaslahatan bersama. Terutama untuk memutus mata rantai terorisme.
Patut disayangkan jika sampai ada kelompok yang berusaha melemahkan keberadaan BNPT. Mudah menuduh, jika BNPT anti pesantren dan menarasikan kebangkitan Islamofobia. Padahal sebagaimana pernyataan Direktur Pencegahan BNPT; “data tersebut harus dibaca sebagai upaya peningkatan deteksi dini dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme" (FKPT Center, 30/1/2022). Sekaligus data intelijen tersebut pastinya untuk pemetaan pendekatan BNPT apakah harus menggunakan kesiapsiagaan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi.
Mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, termasuk pernyataan Kepala BNPT, sebenarnya tak masalah dan sebagai bentuk kebebasan masyarakat dalam pemerintahan demokrasi. Namun harus tetap kritis, obyektif, proporsional, dan jangan mudah saling menyalahkan. Apalagi sampai menggeneralisasi pernyataan itu dan sampai ingin membubarkan BNPT. Karena hal seperti ini, justru akan memberi angin segar kepada kelompok-kelompok radikal-teroris.
Faktanya, sebagaimana hasil penelitian para ahli, ideologi radikal teroris telah menyasar di seluruh elemen masyarakat, bahkan sudah masuk pada pusaran pendidikan dan pesantren. Tentunya pernyataan pesantren yang terafiliasi jaringan terorisme adalah pernyataan kasuistik (al-khassah) dan membedakan dengan pesantren mainstream. Sebab, pesantren arus utama sebagai lembaga Indiginous Islam di Indonesia, memiliki karakter unik dan khas serta terbukti banyak memberi kontribusi bagi peradaban Nusantara. Sudah pasti, juga sangat berbeda dengan sejumlah pesantren yang terafiliasi dengan radikal teroris.
Baca juga : Guru dan Deradikalisasi
Pernyataan ada sejumlah pesantren terafiliasi jaringan terorisme oleh BNPT; seharusnya menjadi peringatan bersama bahwa kelompok radikal terorisme telah merusak citra pesantren yang sebenarnya. Sekaligus mengantisipasi usaha mereka dalam mereduksi kebudayaan dan agama. Meminjam pernyataan Ethan Bueno De Mesquita, dalam penelitian berjudul “Correlates of Public Support for Terrorism in the Muslim World (2007), salah satu strategi jaringan teroris global adalah dengan mereduksi dan melakukan pembajakan terhadap agama mayoritas yang dianut di sebuah negara.
Fenomena seperti ini, bukan terjadi pada Islam saja, melainkan fakta global yang terjadi pada setiap agama besar akibat reaksi berlebihan terhadap modernitas. Sebagaimana ditunjukkan oleh Robert N Bellah dalam buku Religion and Progress, Anthony Gidden dalam Runaway World, dan Bassam Tibi dalam buku Krisis Peradaban Islam Modern.
Pesantren "maistream" dan "non-maintream"
Selain itu, masyarakat seharusnya semakin sadar dan mengerti untuk membedakan mana pesantren yang terpapar aliran radikal teroris (non-mainstream atau sempalan) dengan pesantren yang tidak terpapar (mainstream). Harapannya agar mereka semakin cerdas dan tak asal memondokkan buah hati mereka. Karena, meski pesantren non-mainstream jumlahnya sedikit dibanding pesantren pengikut Islam moderat (al-wasathiyyah al-islamiyyah), suara kelompok ini begitu keras dan sangat mengkhawatirkan bagi keutuhan NKRI.
Sebagaimana klasifikasi dari para ahli, sejumlah pesantren non-mainstream di Indonesia biasanya bersifat eksklusif dan radikal. Dari segi materi dan metodologi pengajarannya sering mengajarkan kebencian kepada non-Muslim dan suka mengkafirkan kelompok di luar mazhabnya. Lebih cenderung menempatkan sosok perempuan tak setara (in-equal) dengan kaum laki-laki. Sebuah perspektif yang sangat bertolak belakang dengan pesantren moderat, yang selalu mendukung equality dan kebebasan bagi kaum perempuan.
Pesantren jenis ini, suka berkamuflase untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem kilafah atau NKRI bersyariah. Menggambarkan dunia Muslim dalam ketertindasan dan kekejaman kaum kafir dan negara thaghut, dan sering menyerukan pada pengikutnya melakukan jihad ofensif. Senantiasa menghadirkan wajah agama yang tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada budaya lain. Anti Pancasila dan mengharamkan hormat bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sementara BNPT telah membuat indikator pesantren yang disebut terafiliasi dengan jaringan terorisme. Pertama, pesantren yang secara ideologis terafiliasi dengan ideologi jaringan terorisme. Kedua, secara ideologis maupun organisasi terafiliasi dengan jaringan terorisme sebagai strategi kamuflase atau siasat menyembunyikan diri dan agendanya (taqiyah) dan strategi tamkin, yaitu strategi penguasaan wilayah ataupun pengaruh dengan mengembangkan jaringan ataupun menginfiltrasi ke organisasi maupun institusi lain.
Baca juga : KSAD dan Problem Kontra Radikalisme
Ketiga, oknum pengurus atau para santri dari lembaga pesantren terkoneksi atau terafiliasi dengan jaringan terorisme. Keempat, terkoneksi atau terafiliasi dalam pendanaan maupun distribusi logistik dengan jaringan terorisme.
Berbeda dengan pesantren non mainstream dan terafiliasi terorisme tersebut adalah pesantren mainstream. Biasanya pesantren ini, menunjukkan prototipe khas lokal dan memiliki tradisi mistik Islam. Sebagai tempat belajar di mana para santri dapat memperdalam ilmu agama, memperoleh pengetahuan tentang kehidupan dan dapat menjadi manusia dengan akhlak yang mulia. Pesantren jenis ini, biasanya menggembleng para santri, selain bisa menjadi Muslim taat juga untuk berperilaku sabar, kehidupan tanpa pamrih dan memiliki cita-cita hidup sederhana, harmonis dengan Tuhan, manusia dan alam.
Pesantren mainstream biasanya bertujuan membentuk karakter baik bagi santri, melestarikan nilai-nilai luhur budaya Nusantara, dan menumbuhkan kecintaan pada negara dan semangat bela negara. Desain kurikulum yang dikembangkan memberi peluang bagi perkembangan santri secara integratif; baik intelektual, fisik, emosi, sosial, maupun spiritual. Proses belajar-mengajar pesantren mainstream memfasilitasi suatu lingkungan belajar yang memungkinkan para santri berinteraksi secara aktif pada masyarakat majemuk. Sehingga, memudahkan para santri untuk mengenal dan belajar saling menghormati, menyayangi, dan membangun persaudaraan sejati.
Sebagai pewaris nabi, kiai pesantren senantiasa menggembleng santri-santrinya bukan pada aspek logika ( transfer of knowledge) saja tetapi sebuah integrasi antara pengetahuan, perasaan dan praktik sekaligus.
Transformasi pesantren
Jika melongok sejarah, pengambilan nama lembaga pendidikan Islam dengan sebutan pesantren itu, menggambarkan betapa para wali sebagai pendiri awal lembaga Islam, saat itu, ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa Islam pada wataknya adalah inklusif dan menebarkan kedamaian di muka bumi. Wolfgang Karcher (1988: 257), menyatakan bahwa pesantren telah menunjukkan penyesuaian dengan perubahan sosial dengan menerima inovasi secara hati-hati dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka kerja yang ada dalam keharmonisan dengan tradisi-tradisi Jawa kuno dengan menyerap pengaruh asing tanpa melepaskan diri secara drastis dari keyakinan dan praktik sebelumnya.
Kemampuan para wali mengintegrasikan antara kekuatan kultural dan Islam substantif bukan formalis menjadikan elan vital bagi komunitas Muslim pada saat itu, untuk mentransformasi diri dengan masyarakat sekitar tanpa benturan dan konflik. Justru sikap religius humanis yang ditampakkan oleh para wali yang kemudian banyak diikuti oleh para kiai pesantren, dengan karakter dakwah yang lembut, halus, sopan dan mengedepankan uswah hasanah serta mampu memikat dan membangkitkan kesadaran masyarakat setempat.
Bahkan dalam realitas sejarah, dengan model pendekatan dakwah yang bersifat sosio-kultural ini, banyak para raja-raja Jawa pada saat itu berbondong-bondong masuk Islam.
Bukankah para kiai pesantren selalu mengajarkan akhlak yang baik? Sebagai pewaris nabi, kiai pesantren senantiasa menggembleng santri-santrinya bukan pada aspek logika (transfer of knowledge) saja tetapi sebuah integrasi antara pengetahuan, perasaan dan praktik sekaligus. Dengan memegang konsep bersumber langsung dari nabi yang bersabda: “innama buistu liutammimma makarim al-akhlak”, para kiai tak kenal lelah untuk memimpin langsung dan patut menjadi percontohan tentang keagungan moral, kecintaan kepada agama yang berbanding lurus dengan kecintaan terhadap bangsa dan negaranya, dan bagus perilakunya. Sehingga yang terpancar pada setiap gerak-geriknya adalah zikir, pikir dan amal saleh, bukan?
Syamsul Ma’arif Guru Besar dan Dekan FPK UIN Walisongo