Dengan berkembanganya situasi geopolitik di teater Barat, kali ini, Indonesia benar-benar memiliki kesempatan yang semakin riil untuk menarik investasi besar dan jangka panjang dari China.
Oleh
DATO' SRI TAHIR
·5 menit baca
Amerika sedang mengalami inflasi yang cukup tinggi. Inflasi Desember 2021 mencapai 7 persen, tertinggi dalam 39 tahun terakhir. Jerome Powell, pemimpin The Fed, mengumumkan akan menaikkan suku bunga (FFR) pada 2022 beberapa kali. Semua akan terdampak oleh kebijakan ini di kala negara-negara di dunia belum semua pulih dari hantaman pandemi.
Pertama, dollar AS yang kuat akan menarik arus modal global kembali ke AS. Sebelum normalisasi FFR, likuiditas global sedang tinggi. Indonesia turut menikmati aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Sampai Januari ini, ada net inflow 0,2 miliar dollar AS. Investasi langsung asing (FDI) juga meningkat seiring dengan membaiknya kinerja ekonomi di hampir semua daerah.
Kedua, naiknya dollar AS juga akan berdampak pada utang pemerintah sejumlah negara. Dengan adanya pandemi, hampir semua negara mengalami kenaikan utang. Di Indonesia, Kementerian Keuangan mengumumkan rasio utang terhadap PDB 41 persen, dan masih aman, di bawah batas maksimal UU, yakni 60 persen dari PDB.
Data Januari 2022 memperkirakan sekitar 45 persen utang pemerintah dalam denominasi dollar AS. Menguatnya dollar AS akan berdampak pada upaya pembayaran utang.
Ketiga, rencana kenaikan suku bunga The Fed sudah diikuti dengan kenaikan suku bunga beberapa bank sentral. BI juga sudah mengumumkan arah kebijakannya dalam menjaga stabilitas dengan tetap mendukung pemulihan ekonomi nasional sekaligus memitigasi dampak normalisasi The Fed.
Keempat, naiknya nilai tukar dollar AS juga bisa berdampak pada realisasi komitmen investasi. Meski saat ini belum bisa dipastikan sejauh mana FFR naik dan berapa kali, menguatnya dollar AS bisa memengaruhi arus modal global untuk mengalir ke AS dibandingkan ke negara berkembang.
Data FDI global 2021 sudah mulai menunjukkan tren ini. Investasi ke negara maju naik hampir 200 persen, sementara ke negara berkembang hanya naik sekitar 30 persen. Naiknya nilai tukar dollar AS bisa memperburuk pola pertumbuhan realisasi komitmen investasi yang kian tak merata dan melebarnya jurang negara maju dan negara berkembang.
Kelima, baru-baru ini ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina kembali terjadi. Ini bisa berdampak pada pemulihan ekonomi dunia. Tak seperti tahun 2014, kali ini ketegangan terjadi pada saat AS mengalami inflasi tinggi, dan FFR harus naik.
Rusia adalah pemasok terbesar minyak, gas, dan bahan bakar lain untuk Uni Eropa (UE). Jerman, misalnya, mengimpor 40 persen gas dari Rusia. Selain itu, cadangan energi UE ada pada tingkat terendah. Posisi sebagai eksportir energi UE terbesar bisa menjadi kartu tawar bagi Rusia ke depan.
Walaupun para produsen energi AS memperkirakan pada 2022 produksi energi akan naik, ketegangan Rusia-Ukraina, jika tak terselesaikan dengan baik, bisa menciptakan volatilitas dan kenaikan harga energi dan bahan pangan. Ini tentu bisa memicu The Fed untuk menaikkan FFR lebih tinggi lagi.
Naiknya nilai tukar dollar AS bisa memperburuk pola pertumbuhan realisasi komitmen investasi yang kian tak merata dan melebarnya jurang negara maju dan negara berkembang.
Pandemi dan pergolakan politik
The Economist mengetengahkan naiknya jumlah civil unrest pada saat pandemi, dan memperkirakan dua tahun setelah awal sebuah wabah, ada kecenderungan naiknya destabilisasi politik. Oleh karena itu, stabilitas politik dan keamanan suatu negara menjadi aset yang akan semakin berharga, baik bagi penduduk negara itu maupun di mata investor.
Selain menjadi presiden G-20, jika Indonesia bisa mensinyalkan ke dunia bahwa keamanan dan stabilitas politik akan selalu terjaga, baik pada saat pemilu dan pascapemilu, Indonesia bisa menjadi semakin menarik bagi investor jangka panjang. Kestabilan politik juga menjadi aset yang memampukan Indonesia memulihkan perekonomian dengan cepat. Bahkan, pascapandemi, bisa jauh lebih cepat dibandingkan negara lain yang mengalami destabilisasi politik.
Strategi dan peran Indonesia
Sebagai presiden G-20, tentu Indonesia bisa membantu banyak negara melalui diplomasi G-20 Common Framework for Debt Treatments dan implementasinya untuk meringankan beban pembayaran utang. Indonesia juga bisa berperan positif dalam menjaga perdamaian dunia. Saat ini UE cenderung tak setuju dengan sanksi tegas terhadap Rusia.
Dari sisi fiskal, pemerintah bisa menggunakan momen ini untuk melaksanakan disiplin fiskal. Walaupun terkadang tak mudah, banyak negara sudah memulainya. Sebagai contoh, baru-baru ini Nigeria menghapus subsidi bahan bakar. Mereka mengalokasikan seperempatnya untuk uang transpor 40 juta masyarakat termiskin, dan sisanya untuk investasi.
Harga komoditas dan energi diperkirakan bisa terus naik karena naiknya permintaan dan belum pulihnya proses-proses produksi dan rantai pasok. Jadi, walaupun rupiah nantinya bisa jadi melemah terhadap dollar AS, karena Indonesia adalah eksportir neto energi, Indonesia masih bisa menikmati pertumbuhan yang baik.
Dari sisi moneter, menghadapi kebijakan normalisasi The Fed, Bank Indonesia tentu sudah menyiapkan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas.
Sebaiknya kebijakan moneter di Indonesia ke depan tak terlalu ketat (tight money) untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tak terlalu longgar dalam kurun waktu panjang (too low for too long), karena juga bisa menimbulkan perusahaan-perusahaan zombi, yang di masa depan hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya berbagai ketegangan geopolitik NATO, Rusia-Ukraina, Afghanistan, Kazakhstan, dan lain-lain di teater dunia Barat, Indonesia juga bisa mengambil manfaat ekonomi dari China, di mana China sedang tak disibukkan oleh berbagai ketegangan geopolitik.
Pada presidensi G-20-nya, Indonesia bisa secara terstruktur dan sistematis mengambil kesempatan menarik investasi jangka panjang dari China, misalnya dengan membuat proposal untuk mendapat komitmen investasi pembangunan 5-10 tahun ke depan, di berbagai sektor, dan di beberapa kepulauan di seluruh Indonesia, mulai dari infrastruktur, pertambangan, pangan, energi terbarukan, dan industri-industri padat karya, yang disertai dengan transfer teknologi.
Dengan berkembanganya situasi geopolitik di teater Barat, kali ini, Indonesia benar-benar memiliki kesempatan yang semakin riil untuk menarik investasi besar dan jangka panjang dari China.