Langkah-langkah Besar Indonesia
Terhadap situasi yang berkembang dewasa ini, boleh jadi daya tahan, ketangguhan, dan kelenturan bangsa tengah diuji, untuk melahirkan kesadaran baru.
”Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada dan karena itu orang Indonesia pun belum ada,” tulis RE Elson, pada bagian awal The Idea of Indonesia: A History (2008).
Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2009). Mohammad Hatta, dalam tulisan yang dimuat di De Socialist, 8 Desember 1928, yang diterbitkan dalam bunga rampai Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), dengan pengantar Daniel Dhakidae, melukiskan bahwa Indonesia kali pertama muncul sebagai istilah keilmuan.
Semula, orang Jerman bernama Adolf Bastian disebut sebagai bapak pencetus nama Indonesia (Indonesie) karena menggunakan kata dalam karya tulisnya: ”Indonesien oder di Inseln des malayschen Archipels” (1884). Namun, setelahnya, diketahui ada yang lebih dulu, JR Logan dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, menulis: ”The Ethnology of the India Archipelago” (1850). Bahkan, tulis Hatta, ada yang lebih dulu, yakni GW Earl, yang menggunakan istilah ’Indunesians’ dan ’Melayunesians’ untuk menunjuk penduduk di kepulauan ini.
Baca juga: Kebangsaan Berperikemanusiaan
Uraian Hatta, dimaksudkan untuk menjawab reaksi atas penggunaan nama Indonesia, yang dianggap sebagai sebuah kata ”yang mengerikan”, dan menurut Hatta, di mata Hindia Belanda, Indonesia berarti tuntutan kemerdekaan.
Keterangan itu dapat ditafsirkan sebagai ungkapan berikut. Pertama, Indonesia, baik sebagai suatu istilah, maupun kelak menjadi identitas bangsa, formasi organisasi negara, dan pengertian lain yang terbentuk oleh gerak sejarah, pada dasarnya punya permulaan waktu, meski mungkin tak bisa secara persis ditentukan batasnya. Artinya, ada proses yang membuatnya ”menjadi”, dan dengan demikian, secara ideal, setiap tolehan ke belakang, hanya berarti jika digunakan untuk mengerti sebab-sebab suatu ”kejadian”.
Bahkan, tulis Hatta, ada yang lebih dulu, yakni GW Earl, yang menggunakan istilah ’Indunesians’ dan ’Melayunesians’ untuk menunjuk penduduk di kepulauan ini.
Kedua, bahwa atas dasar pengertian pertama, setiap langkah bangsa, pada dasarnya adalah ”langkah maju”, yang merupakan reaksi kimiawi sejarah, antara kehendak (subyektif) dan ruang kesempatan yang tersedia (obyektif). Atau, dalam rumusan B Herry Priyono, dalam Agenda Indonesia, Sebuah Bangsa Hanya Dibentuk dengan Sengaja, yang disampaikan di Kongres Pancasila 2009 di UGM, yakni ”Sebuah negara bangsa tidak muncul atau dibarui hanya dengan kehendak dan kemauan (push), sebagaimana sebuah negara bangsa juga tidak lahir hanya dari tarikan situasional cuaca ideologis, politik, ekonomi, kultural, hukum dan sebagainya (pull).
Dengan optik itulah kita ingin menggunakan peringatan Sumpah Pemuda sebagai momen refleksi langkah maju bangsa, dari periode ke periode, dan sekaligus momen untuk memandang jauh ke depan, periode satu abad kemerdekaan Indonesia.
Tonggak-tonggak pencapaian
Pada mulanya adalah tata kolonial. Mr AK Pringgodigdo, dalam karyanya, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, yang konsepnya disusun berkisar 1944-1945, menyatakan, ”Dari sejarah negeri ini, nyata benar kepuasan dengan penjajahan Belanda tidak pernah ada.”
Peristiwa perlawanan rakyat, baik dalam bentuk peperangan, pemberontakan, maupun kritik intelektual dapat dikatakan sebagai reaksi atas kinerja kolonialisme, yang tidak saja dipandang ”mengambil banyak”, tetapi juga menimbulkan penderitaan, dalam wujud kemiskinan atau hidup tidak sebagai manusia yang tinggal di tanah dengan kekayaan demikian melimpah.
Rasa menderita atau kesadaran ada dalam penjajahan, pada satu sisi, dan kehendak untuk bebas, telah membentuk suatu kesadaran bersama sebagai pihak di hadapan kolonialisme. Apa yang dicatat sejarah sebagai momen kebangkitan nasional (1908), dipahami di sini sebagai tonggak pencapaian pertama, yakni dicapainya kesadaran kebangsaan.
Rasa menderita atau kesadaran ada dalam penjajahan, pada satu sisi, dan kehendak untuk bebas telah membentuk suatu kesadaran bersama sebagai pihak di hadapan kolonialisme.
Meskipun kesadaran telah merata, dalam praktiknya, setiap elemen tetaplah dalam identitasnya, dan belum berhimpun dalam satu pandangan dengan dasar-dasar yang sama. Gagasan Indonesia telah bertransformasi, tidak lagi sebagaimana pengertian para ilmuwan yang menyebutnya pada kali pertama, tetapi telah secara konkret menjelma menjadi identitas perjuangan dan sekaligus cita-cita yang menggerakkan upaya perubahan.
Dalam keadaan itulah terbit kesadaran bahwa suatu kekuatan yang dapat melampaui penguasa kolonial tidak akan mungkin hadir, manakala suatu persatuan tidak dicapai. Angkatan muda, yang relatif tidak memiliki beban sejarah berkaitan dengan perkembangan setiap kelompok yang ada, telah mengambil tindakan penting.
Baca juga: Sumpah Pemuda dan Disrupsi Bangsa
Tindakan itu adalah mendorong lahirnya kesadaran baru, yakni kesadaran menjadi satu (Indonesia, Sumpah Pemuda 1928). Dari sini (saat ini), kita melihat peristiwa Sumpah Pemuda, sebagai bertemunya berbagai elemen untuk menyatakan sebuah ikrar.
Jika dilihat dari sudut pandang ketika itu, barangkali dapat dirasakan suatu perjuangan sangat berat; tetapi melahirkan suatu pencapaian yang penting, yakni kesadaran untuk meletakkan diri ada di dalam satu identitas: satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, yaitu Indonesia. Pencapaian inilah yang hendak kita sebut sebagai kesadaran bersatu.
Jika kita membiarkan teks yang terbit periode 1930-1940-an memberikan kesaksian, akan jelas kehendak bangsa tak berhenti pada cita-cita untuk menempatkan elemen-elemen yang sangat beragam berada dalam satu, tetapi telah tiba pada hasrat besar untuk merdeka dan menjadikan kemerdekaan modal untuk menata hidup bangsa. Nota pembelaan Bung Hatta (1928), Bung Karno (1930), dan karya-karya lain, beralamat jelas pada cita-cita kemerdekaan dan pembentukan suatu negara.
Pencapaian inilah yang hendak kita sebut sebagai kesadaran bersatu.
Sejarah menggambarkan berlangsungnya pertemuan antara ”keinginan dan upaya”, dengan keadaan yang memungkinkan (Jepang kalah oleh sekutu, dan Belanda belum lagi kembali) sehingga terselenggaranya langkah sejarah yang menentukan, yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sebagai bangsa, kita mencapai kesadaran tentang pentingnya negara sebagai alat bersama mengubah nasib bangsa. Ada peristiwa persidangan BPUPK/PPKI, yang dapat dikatakan merupakan titik kulminasi dalam upaya bangsa mempersiapkan pembentukan negara persis setelah kemerdekaan diraih.
Baca juga: Kemerdekaan sebagai Keterdidikan
Periode ini pencapaian yang menentukan, yakni dicapainya suatu kesadaran berkehidupan kebangsaan yang bebas di dalam suatu negara. Setelah punya alat baru yang disebut negara, bangsa menghadapi tantangan tak mudah: eksternal (asing) maupun internal (akibat hidup sebagai sebuah negara baru).
Kita mencatat jatuh bangun pemerintahan. Juga direkam dengan baik, tarik ulur antara pusat dan daerah, serta ketegangan ideologis. Suatu dinamika proses pematangan hidup bersama dalam suatu wadah, dengan penonjolan identitas yang masih berlangsung.
Rasa percaya diri sebagai negara bangsa belum sepenuhnya terbangun. Semua upaya dilakukan, baik ke dalam—berupa pembangunan proyek yang lebih hendak menunjukkan kemampuan bangsa, ataupun ke luar—berupaya memperlihatkan harga diri dan kedudukan bangsa di hadapan bangsa lain di dunia.
Dengan jalan sejarahnya sendiri, bangsa sampai pada kesadaran penuh bahwa dirinya negara bangsa yang sejajar dengan negara lain di dunia. Inilah periode yang hendak disebut di sini sebagai tahap dicapainya kesadaran akan jati diri negara bangsa (pribadi Indonesia).
Baca juga: Bahasa dan Kebangsaan Indonesia
Dengan jati diri sebagai negara bangsa yang berkedudukan sejajar dengan negara bangsa lain di dunia, tentu kita tak ingin menjadi negeri yang terpisah dari pergaulan global. Indonesia dituntut menyesuaikan diri untuk bekerja dalam kerangka negara, dan karena itu seluruh gerak langkahnya merupakan gerak sebuah negara. Pada titik inilah dicapai suatu kesadaran bahwa negara harus punya kesanggupan mengurus kepentingan warga dengan cara apa pun.
Pada titik inilah dicapai suatu kesadaran bahwa negara harus punya kesanggupan mengurus kepentingan warga dengan cara apa pun.
Thee Kian Wie, dalam pengantar buku (terjemahan) berjudul Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, menggambarkan: ”Dengan pulihnya stabilitas makroekonomi pada akhir 1960-an, ekonomi Indonesia memasuki masa pertumbuhan pesat, yang pada umumnya dapat dipertahankan selama tiga dasawarsa.”
Pertumbuhan ekonomi pesat disertai turunnya angka kemiskinan absolut dan naiknya pendapatan per kapita. Jumlah penduduk meningkat, tetapi dibarengi penurunan angka buta huruf dan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan semua catatan kritis yang menyertai, periode ini dapat dikatakan pencapaian penting yang kita sebut sebagai kesadaran pembangunan.
Rupanya bangsa menyadari pembangunan tanpa demokrasi, bukan saja tak cukup, melainkan juga berbahaya. Sejak awal 1990-an, riak-riak tuntutan demokrasi muncul, terutama yang tampil sebagai reaksi terhadap proyek pembangunan yang mengabaikan rakyat, bahkan menggusur.
Pendidikan yang meluas, tak saja meningkatkan kapasitas warga untuk melakukan perubahan status kesejahteraan, tetapi juga memperluas horizon dan makin tampak realitas kehidupan rakyat yang dalam kenyataannya masih menghadapi tantangan tidak mudah.
Pembangunan telah membawa dampak yang besar dan luas, sejalan dengan kemajuan yang didapatkannya dan masalah-masalah yang harus dipikulnya. Dr Nurcholish Madjid (Indonesia Kita, 2003) menyebut bahwa meningkatkan daya kritis dan aspirasi untuk didengar, sebagai unintended consequences atas majunya pendidikan generasi baru yang merupakan buah dari pembangunan.
Bangsa menyadari tak mungkin lagi negara diurus secara tersentral, otoriter, dan mengabaikan suara rakyat. Negara harus bekerja dengan sepenuhnya melibatkan rakyat, hingga akhirnya melahirkan reformasi 1998. Ini tahap di mana bangsa mencapai kesadaran demokrasi.
Ini tahap di mana bangsa mencapai kesadaran demokrasi.
Menuju satu abad kemerdekaan
Jika kita periksa dengan dingin, akan tampak bahwa pergerakan bangsa selama satu abad, sejak awal abad XX sampai reformasi pada pengujungnya, sesungguhnya merupakan gerak tumbuh dan maju yang konsisten, kendati pada setiap tahap itu memuat suatu dinamika, yang tak jarang berlangsung keras.
Kesemuanya ini tak lepas dari apa yang dapat disebut sebagai kesanggupan bangsa untuk merespons perkembangan, sedemikian rupa sehingga tampak selalu dapat menemukan jalan bijak, yang tak hanya keluar dari tantangan yang dihadapinya, tetapi juga menempatkannya pada posisi yang lebih maju.
Baca juga: Rasa Kebangsaan
Inilah yang disebut ketangguhan atau resiliensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Bagi kita, jenis ketangguhan ini merupakan hal yang langka dan layak untuk dijaga, agar dari waktu ke waktu, kapasitasnya tak berkurang, malah sedapat mungkin terus bertambah mengingat tantangan yang dihadapi bangsa terus bertambah dan kompleks.
Pada titik inilah kita memandang pentingnya refleksi dan dialog kebangsaan, dengan arah menemukan ”hukum dasar” yang telah menuntun bangsa dalam melintasi banyak perubahan dengan selamat, dengan capaian-capaian besar seperti di atas. Akumulasi pengetahuan dan pengalaman sebagai buah dari perjalanan panjang, kita pandang penting; karena dengan itulah kita akan dapat masuk ke tahap lebih baik, yakni mengupayakan perubahan yang lebih terencana dan terkelola.
Perencanaan yang baik merupakan kunci mengingat kualitas tantangan yang merupakan kombinasi kompleks dari (1) masalah-masalah internal, termasuk kemiskinan, kesenjangan sosial, dan bonus demografi; (2) masalah perubahan iklim dan pandemik global; (3) masalah perubahan geopolitik, yang besar kemungkinan dipicu oleh potensi krisis pangan, energi dan lingkungan; dan (4) masalah yang terkait dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, yang telah membawa perubahan besar.
Kesemuanya itu datang persis pada saat kinerja demokrasi tengah dipersoalkan karena dalam praktiknya tidak tampak kemampuannya untuk menjamin suatu distribusi kesejahteraan yang adil, di mana setiap elemen bangsa mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya secara setara.
Dalam teori manajemen perubahan dikenal istilah the burning platform: tempat berpijak yang sedang ”terbakar” atau mengalami kemerosotan fungsi dan kemanfaatan. Dalam keadaan demikian, diperlukan suatu tindakan dan perubahan fundamental agar para penghuni ”platform” selamat dari musibah yang lebih besar.
Kemampuan melakukan perubahan mendasar dalam cara mengelola negara bangsa sesungguhnya berkali-kali telah kita alami, termasuk pada periode 1965, dan periode 1998. Dengan demikian, sekali lagi, terbukti bahwa bangsa tak saja memiliki ketangguhan, tetapi juga kapasitas menyesuaikan pada tuntutan ”hukum dasar”, betapapun sulit dan beratnya.
Dengan demikian, sekali lagi, terbukti bahwa bangsa tak saja memiliki ketangguhan, tetapi juga kapasitas menyesuaikan pada tuntutan ”hukum dasar”, betapapun sulit dan beratnya.
Terhadap situasi yang berkembang dewasa ini, boleh jadi daya tahan, ketangguhan, dan kelenturan bangsa tengah diuji, untuk melahirkan kesadaran baru. Kita melihat bahwa bangsa tengah mengambil langkah sejarah, bukan langkah mundur, melainkan langkah terobosan.
Apa yang tampak adalah suatu gelombang baru yang membawa keinginan agar rakyat tak hanya memberi ”sumbangan suara” dalam proses politik demokrasi; tetapi juga agar rakyat dapat memberi ”iuran ekonomi” yang lebih signifikan bagi kesehatan dan perjalanan negeri ini menuju masa depannya. Arus ini tampak mengirim pesan, bahwa masalah-masalah mendasar bangsa, hanya dapat diatasi, manakala bangsa sebagai keseluruhan terlibat.
(Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri; Sekjen PMI)