Badan Pusat Statistik mencatat, Indonesia mengalami deflasi 0,11 persen pada Oktober 2022 dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan harga sejumlah komoditas pangan berperan mengerem laju inflasi tahun ini.
Oleh
AGNES THEDOORA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas pasar tradisional Pulogadung, Jakarta Timur, Minggu (30/7/2017).
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan harga sejumlah komoditas pangan mendorong terjadinya deflasi pada Oktober 2022. Kendati demikian, ancaman inflasi tinggi tetap ada ke depan mengingat kenaikan harga bahan bakar minyak belum tertransmisi sepenuhnya ke harga barang dan jasa pada sektor-sektor yang terdampak.
Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/11/2022), mengumumkan, berdasarkan perkembangan indeks harga konsumen pada Oktober 2022, terjadi deflasi 0,11 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month to month).
Perkembangan harga saat ini relatif lebih terkendali dibandingkan dengan September 2022 yang mencatat inflasi bulanan 1,17 persen.
Dengan demikian, secara tahunan, inflasi per Oktober sebesar 5,71 persen, sedikit melandai dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 5,95 persen.
BPS mencatat, deflasi pada Oktober 2022 didorong oleh turunnya harga-harga pada kelompok harga bergejolak serta kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau.
Komoditas pangan yang harganya turun, antara lain, cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, dan cabai rawit.
”Bisa dikatakan, deflasi yang terjadi pada komoditas-komoditas pangan itu yang membuat laju inflasi lebih tertahan di bulan Oktober,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, Selasa.
Kelompok pengeluaran transportasi mencatat inflasi 0,35 persen secara bulanan. Pendorong utama adalah kenaikan harga komoditas bensin dan tarif angkutan dalam kota.
Setianto mengatakan, tekanan inflasi di kelompok transportasi itu merupakan efek lanjutan dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 3 September 2022. Dua bulan setelah harga BBM naik, beberapa daerah mulai menaikkan tarif angkutan dalam kota sehingga mendorong kenaikan ongkos transportasi.
Setianto menyebutkan, ada sejumlah daerah yang belum mengalami kenaikan tarif angkutan dalam kota karena masih ada subsidi daerah dan belum diterbitkannya peraturan daerah baru untuk menaikkan tarif angkutan. Hal itu ikut berkontribusi pada tertahannya laju inflasi pada Oktober 2022.
Ada sejumlah daerah yang belum mengalami kenaikan tarif angkutan dalam kota karena masih ada subsidi daerah dan belum diterbitkannya peraturan daerah baru untuk menaikkan tarif angkutan.
Ia memperkirakan, ke depan, efek kenaikan harga BBM pada inflasi masih akan berlanjut.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menilai, meski lebih terkendali, ada beberapa hal yang perlu diantisipasi.
Salah satunya adalah inflasi yang ”tertunda” karena faktor kenaikan harga BBM yang belum tertransmisi sepenuhnya dalam bentuk kenaikan ongkos transportasi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Suasana perdagangan di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (24/10/2022). Para pedagang mengaku jualannya semakin sepi sejak kenaikan harga BBM pada awal September. Mereka berharap omzetnya dapat naik kembali menjelang Lebaran.
Selain itu, kenaikan inflasi yang masih lebih banyak ditahan di tingkat produsen juga perlu diwaspadai. Di satu titik, inflasi bisa melonjak lagi jika produsen memutuskan mentransmisikan inflasi di tingkat produksi dan menaikkan harga barang di pasaran.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, memperkirakan inflasi akan tetap tinggi hingga semester I-2023, yakni 5-6 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono mengatakan, untuk keseluruhan tahun 2022, BI memandang inflasi akan lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan awal meski masih di atas sasaran 2-4 persen.