Perubahan zaman ini tidak hanya memunculkan kerja hibrida, tetapi juga kebutuhan bagi para pemimpin untuk mempertimbangkan bagaimana pekerjaan hibrida dapat memberikan akses yang adil bagi kemajuan karier karyawan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Lanskap Kota Jakarta dengan deretan gedung bertingkat, Rabu (26/5/2021). Sistem kerja dari rumah atau work from home yang diterapkan sejumlah instansi dan perusahaan selama pandemi Covid-19 membuat tingkat kekosongan gedung perkantoran di Jakarta meningkat.
Situasi yang memaksa akhirnya malah berkembang menjadi peluang bisnis besar di masa depan. CEO sebuah perusahaan properti bercerita, sebelum pandemi, ia sulit mengajak karyawannya melakukan pertemuan virtual. Kini mereka sangat nyaman dengan pertemuan itu. Tidak mengherankan bila bisnis platform kolaboratif terus meningkat. Namun, kekuatan berelasi menjadi sesuatu yang makin dibutuhkan pemimpin di dunia kerja campuran tatap muka dan virtual.
Tahun 2020 atau pada awal pandemi, Forbes Business Insight memprediksi nilai bisnis platform kolaboratif semisal Slack, Zoom, Microsoft Teams, dan lain-lain sekitar 15,25 miliar dollar AS pada tahun itu dan akan menjadi 40,79 miliar dollar AS pada 2028. Namun, prediksi terbaru menyebutkan, nilai bisnis platform kolaboratif ini akan mencapai 50,7 miliar dollar AS pada 2025. Lonjakan itu diakibatkan oleh interaksi pemimpin-karyawan melalui platform kolaboratif diperkirakan akan menjadi sesuatu yang umum.
Tidak mengherankan pula bila sejumlah kursus tentang presentasi di platform kolaboratif sekarang banyak ditawarkan. Kursus itu antara lain tentang cara membuat tema presentasi, modul, materi presentasi yang efektif, dan lain-lain.
Manfaat dari penggunaan platform untuk pertemuan dan juga keharusan untuk kembali ke kantor setelah pandemi mereda menghasilkan sistem kerja baru, yaitu kerja hibrida. Kerja hibrida membutuhkan penyesuaian dan strategi agar pertemuan tersebut efektif.
Kekuatan berelasi menjadi sesuatu yang makin dibutuhkan pemimpin di dunia kerja campuran tatap muka dan virtual.
Konsultan sumber daya manusia, Jeanne Meister dan Jan Bruce, dalam tulisannya di laman HRE Executive mengatakan, pandemi global telah menjungkirbalikkan dunia bisnis, termasuk lingkungan tempat kerja mereka.
Perubahan-perubahan ini tidak hanya membawa tsunami tempat kerja hingga memunculkan kerja hibrida, tetapi juga kebutuhan bagi para pemimpin untuk mempertimbangkan bagaimana pekerjaan hibrida dapat memberi akses yang adil bagi kemajuan karier semua karyawan.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Sejumlah platform media sosial, seperti Facebook, Youtube, dan Twitter, mengumumkan bahwa kebijakan kerja dari rumah bagi karyawannya akan berdampak pada meningkatnya peluang kesalahan moderasi konten.
Apakah perusahaan dan karyawan siap untuk sukses bekerja di lingkungan hibrida? Penelitian mereka berjudul ”The New Hybrid Workplace, Built on Resilience, Transparency, and Trust” yang dilakukan pada hampir 1.000 pemimpin SDM, pemimpin bisnis, dan karyawan penuh waktu menunjukkan ketidakjelasan pandangan di antara pekerja hibrida tentang bagaimana mereka bisa berhasil dalam pengaturan baru ini.
Sebanyak 32 persen karyawan lebih menyukai lingkungan kerja campuran, tetapi 43 persen memandang bekerja dengan tatap muka sebagai metode terbaik untuk kemajuan karier. Meski demikian, kerja hibrida menjadi pilihan di banyak perusahaan.
Lingkungan kerja hibrida bisa memiliki tuntutan lebih daripada bekerja secara langsung atau bekerja jarak jauh. Karyawan yang bekerja di lingkungan hibrida beralih dari kantor pusat ke satelit atau beralih dari panggilan video ke rapat tatap muka. Bekerja dengan cara ini dapat menciptakan kecemasan lebih besar selama hari kerja.
Lingkungan kerja hibrida bisa memiliki tuntutan lebih daripada bekerja secara langsung atau bekerja jarak jauh.
Para pemimpin harus membahas bagaimana agar bisa sukses bekerja di tempat kerja hibrida dan memahami prinsip-prinsip untuk sukses. Mereka seharusnya tidak hanya mendorong, tetapi juga menjadi panutan untuk karyawan.
Kekuatan relasional
Sejumlah ahli meneliti metode agar kerja hibrida bisa efektif dan dirasakan para karyawan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Sekelompok peneliti menulis masalah ini di MIT Sloan Management Review dengan judul ”Relational Power Is the New Currency of Hybrid Work”. Mereka menyoroti soal hierarki.
Secara tradisional, hierarki diyakini telah membantu memformalkan struktur kekuasaan yang tertanam di perusahaan dalam bentuk peran yang berbeda pada sebuah organisasi. Dalam konteks virtual, struktur hierarki formal sering kurang terlihat daripada di lingkungan kerja dengan tatap muka.
Dengan tidak adanya penanda fisik peringkat dan hierarki, seperti lokasi kantor, tempat parkir, label meja, lencana yang dikenakan, dan sebagainya, pemimpin perlu mengandalkan basis kekuatan lain untuk terus memengaruhi dan mengelola karyawan dalam pengaturan dengan mediasi teknologi. Pengaruh harus tetap muncul sekalipun tengah tidak bertatap muka.
Pemimpin perlu mengandalkan basis kekuatan lain untuk terus memengaruhi dan mengelola karyawan dalam pengaturan dengan mediasi teknologi.
Di dalam riset itu, mereka menemukan bahwa kebutuhan relasional memainkan peran kunci dalam mempertahankan hubungan pemimpin-karyawan di lingkungan virtual. Istilah kebutuhan relasional mengacu pada penggerak yang menyebabkan komunikasi antara pemimpin dan karyawan.
Penggerak ini dapat mencakup informasi, sumber daya khusus, tugas, pengakuan, kepemimpinan, dan banyak faktor lainnya. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan ini antara pemimpin dan karyawan tidak selalu bergantung pada kekuasaan hierarkis.
Penelitian mereka mengungkapkan bahwa untuk sukses di dunia kerja baru, pemimpin tidak bisa hanya bergantung pada posisi hierarkis sebagai dasar untuk menjalankan kepemimpinan.
Mereka juga harus mengakui peran kekuatan relasional dalam pekerjaan hibrida. Kekuatan relasional yang dimaksud berasal dari kemampuan individu untuk menggunakan pengaruh pada orang lain tanpa harus berada dalam peran hierarkis formal.
Kita bisa melihat contoh sehari-hari. Ketika kita melakukan pertemuan virtual dan semua video peserta dimatikan tanpa alasan yang jelas, maka pada saat itu kekuatan relasional tidak ada. Peserta mungkin merasa tidak butuh bertemu, tidak memerlukan atensi khusus, dan mungkin saja sebenarnya mangkir. Hierarki menjadi tidak berjalan. Bila ini terjadi di perusahaan kita, kita perlu memperbaiki relasi ketika kerja hibrida. Sekalipun kerja virtual, bila pengaruh masih ada, semua ini tidak akan terjadi.