Semburan Letusan Menyebar, Penduduk di Sejumlah Tempat Panik
Erupsi Gunung Merapi pada 2010 disebut sebagai letusan terbesar Merapi sejak 1872; menewaskan ratusan orang, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. Satu dari rangkaian bencana alam yang terjadi sepanjang tahun 2010.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG, IRENE SARWINDANINGRUM, IDHA SARASWATI WAHYU SEJATI, MAWAR KUSUMA WULAN, ALBERTUS HENDRIYO WIDI ISMANTO, ANTONY LEE, WINARTO HERUSANSONO, REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi Selasa, 2 November 2010. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Yogyakarta, Kompas -- Erupsi Gunung Merapi kembali terjadi secara eksplosif untuk keempat kalinya, Senin (1/11) pukul 10.03. Skala letusan semakin kecil dibandingkan tiga letusan terdahulu meski semburan kandungan vulkaniknya yang berupa debu, pasir, dan asap solfatara menyebar ke berbagai arah. Akibat sebaran materi vulkanik Merapi, penduduk di beberapa kabupaten kembali panik menyelamatkan diri.
Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sukhyar, mengecilnya skala erupsi terjadi karena energi Merapi berkurang untuk tiga letusan sebelumnya. Letusan terbesar masih pada peristiwa erupsi tanggal 26 Oktober, saat Merapi memulai fase erupsinya.
Pendapat serupa disampaikan Kepala Seksi Gunung Merapi Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Sri Sumarti.
Data Kantor BPPTK menunjukkan, letusan hari Senin kemarin terjadi pukul 10.03, diawali gempa frekuensi rendah pukul 09.47 dan guguran- guguran kecil hingga besar pukul 09.50-10.02.
Setelah meletus dengan suara dentuman, proses erupsi dilanjutkan gelombang luncuran awan panas enam kali dengan durasi setiap awan panas 2-4 menit berjarak luncur 4 kilometer.
Sebagian besar material awan panas mengalir ke Kali Gendol (Sleman, DI Yogyakarta) dan Kali Woro (Klaten, Jawa Tengah). Seusai fase erupsi itu, Gunung Merapi mengeluarkan asap solfatara putih dan coklat pekat yang membubung hingga ketinggian 1,5 kilometer dari puncak dan terbawa angin ke arah timur dan utara.
Semburan juga tercatat menyebar ke Kali Senowo, dan Kali Lamat (Magelang), Kali Krasak (perbatasan Sleman-Magelang), dan ke Kali Gendol (perbatasan Sleman-Klaten).
Pos Pengamatan Babadan di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sejak Senin, ditutup hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Penutupan karena materi vulanik Merapi kini menyebar ke semua arah dan sulit diprediksi sehingga membahayakan keselamatan petugas di Pos Babadan, yang hanya berjarak 4,4 kilometer dari puncak Merapi.
Petugas Pos Babadan, Ismail, mengatakan, pengamatan Merapi untuk sementara dipindahkan di Balai Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, berjarak 6,5 kilometer dari puncak Merapi.
Pada letusan 26 Oktober, letusan disertai tiga dentuman kencang dengan gelombang awan panas delapan kali berdurasi terlama 33 menit. Letusan kedua (30 Oktober) awan panasnya berdurasi maksimal 22 menit dan letusan ketiga (31 Oktober) awan panas berdurasi maksimal lima menit.
Sukhyar mengatakan, letusan pertama besar karena energi yang terkumpul utuh untuk mendobrak sumbat di jalur magma. Sebanyak 2 juta meter kubik material terlontar saat letusan pertama. "Kini, sistemnya sudah terbuka dan magma bisa naik ke permukaan dengan lancar. Hanya saja energinya masih besar sehingga terjadi letusan eksplosif. Status Merapi juga belum berubah dan masih ditetapkan Awas," ujarnya.
Warga panik
Dentuman erupsi Merapi membuat pengungsi dan penduduk di sejumlah tempat panik. Pengungsi di Barak Glagaharjo, Sleman, berhamburan melarikan diri naik truk dan berbagai kendaraan begitu melihat semburan awan panas dan debu di langit. Sekitar 100 penduduk Desa Balerante, Kemalang, Kabupaten Klaten, yang menyempatkan pulang ke rumah, juga berlarian meninggalkan perkampungan.
Kepala Dusun 1 Balerante, Kemalang, Djaenuh menuturkan, 100 warganya yang setiap pagi kembali ke rumah pontang-panting menyelamatkan diri dengan truk ke barak pengungsian di Lapangan Bawukan, Kemalang. "Sayang, upaya penyelamatan itu terhambat truk pengangkut pasir yang tak mau minggir," ujarnya.
Penduduk mengajukan protes kepada Polsek Kemalang dan Pemkab Klaten. Mereka meminta penambangan pasir distop dan pelakunya dikenai sanksi.
Pengungsi di barak Desa Glagaharjo juga diangkut dengan truk menjauh dari barak. Usaha itu menjadikan sekitar 1.500 pengungsi panik.
Kepanikan juga terlihat di sejumlah sekolah. Di sekitar Posko Utama Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Sleman di Pakem, ratusan murid berhamburan keluar dari sekolah sesaat setelah mendengar dentuman.
Di Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Magelang, warga yang sedang mencari rumput dan kayu di sabo dam penahan lahar tunggang langgang menuruni bukit dengan sepeda motor menyelamatkan diri. Sejumlah sekolah juga membubarkan siswanya lebih dini.
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengatakan, tidak akan ada lagi perelokasian pengungsi karena semua barak yang disediakan dalam radius aman.
Penduduk melaporkan, sirene penanda bahaya di sebagian wilayah Cangkringan rusak sejak letusan pertama. Warga akhirnya mengandalkan kentungan pos ronda serta berita dari radio komunitas lewat handie talkie.
Sebelumnya, 31 Oktober siang, Ismail mengatakan, Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian memerintahkan empat petugas di Pos Pengamatan Babadan turun karena kembali terjadi erupsi. (ENG/IRE/ARA/WKM/ HEN/GAL/WHO/EGI)