Pemerintah Batalkan SIUPP "Tempo", "Editor", dan "Detik" (Arsip Kompas)
Pemerintah membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Majalah Mingguan Tempo, Editor, dan tabloid Detik. Pada era Orde Baru, kebebasan pers dibatasi lewat pengawasan ketat pemerintah melalui Departemen Penerangan.
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 22 Juni 1994. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Jakarta, Kompas -- Pemerintah membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Berita Mingguan (MBB) Tempo, Editor serta surat kabar mingguan tabloid DeTIK. Alasannya, majalah Detik dan Editor telah melakukan kesalahan administratif sedangkan Tempo secara substantif telah memberitakan hal-hal yang melanggar dan membahayakan stabilitas nasional.
Pengumuman pemerintah tersebut disampaikan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Drs Subrata di Departemen Penerangan hari Selasa (21/6) dalam jumpa pers yang dihadiri lebih dari 100 wartawan dalam dan luar negeri. Menurut dirjen, prosedur pembatalan sudah melalui beberapa tahapan, termasuk peringatan lisan maupun tertulis terlebih dulu.
Pencabutan SIUPP itu pun, menurut Subrata, sudah melalui saran dan pertimbangan Dewan Pers. SK Menpen tentang pencabutan SIUPP itu masing-masing bernomor 123 (Tempo), 124 (Editor), dan 125 (DeTIK) ditandatangani Dirjen PPG Subrata atas nama Menteri Penerangan Harmoko tertanggal 21 Juni 1994.
Baca juga: Kompas Dibredel Presiden Soeharto
Pelanggaran administratif
Majalah Mingguan Editor yang memiliki SIUPP tertanggal 22 Juni 1987 itu dicabut SIUPP-nya berdasarkan SK Menpen No 124/1994. Alasannya, nama pemimpin umum, pemimpin redaksi maupun pemimpin perusahaan yang tercantum dalam SIUPP sejak 1989 sudah non-aktif. "Sehingga saat ini pengelolaan penerbitan berada di tangan yang tidak tercantum dalam SIUPP," kata Subrata. Editor telah berulang-ulang ditegur lisan maupun tertulis.
Sejak 1989, kata Subrata, Deppen memang tidak pernah memberi izin kepada orang lain untuk memimpin Editor selain yang tercantum dalam SIUPP. Melalui surat edaran Dirjen PPG No 03/1993 tertanggal 10 Agustus 1993 sudah memberi waktu tiga bulan agar kekosongan itu diselesaikan Editor. Namun menurut Subrata, mereka tidak bisa memenuhinya sehingga berdasarkan pasal 33 huruf a dan b Permenpen No 01/1984 majalah Editor dikenai sanksi pembatalan SIUPP. "Mulai 21 Juni 1994, pemerintah membatalkan SIUPP Editor," tegas Subrata.
Sedangkan SK Menpen No 125/1994 mencabut SIUPP surat kabar mingguan tabloid DeTIK juga dengan alasan administrasi. Menurut Subrata, dalam perjalanannya SKM tabloid DeTIK, sudah menyimpang dari misi seperti yang tercantum di SIUPP 043/17 Februari 1986 dan dilakukan sepihak tanpa persetujuan pemerintah. "Misi yang disampaikan dan disetujui pemerintah tahun 1986 adalah majalah informasi detektif dan kriminal," kata Subrata.
Pemerintah, lanjut Subrata, sudah beberapa kali memberikan peringatan dan pembinaan kepada DeTIK agar kembali ke misinya semula karena melanggar pasal 33 huruf b Permenpen No 01/1984. Namun tidak ada perubahan.
Baca juga: Kompas Terbit Kembali dengan Syarat
Stabilitas nasional
Pertimbangan mengenai substansi menjadi alasan pemerintah untuk membatalkan SIUPP majalah berita mingguan Tempo dengan SK Menpen No 123/1994. Pencabutan SIUPP Tempo itu dikaitkan dengan pembekuan sementara surat izin terbit (SIT) 12 April 1982 karena penerbitannya melanggar dan membahayakan stabilitas nasional. Pencairan SIT Tempo diberikan oleh pemerintah melalui SK Menpen No 76/1982, kata Subrata, setelah Tempo mau menerima dan menyanggupi arahan Dewan Pers.
Lima butir arahan yang disanggupi Tempo itu adalah, pertama Tempo dan segenap jajarannya bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas nasional, keamanan, ketertiban dan kepentingan umum serta tidak memperuncing keadaan bahkan meredakan ketegangan jika terjadi di masyarakat. Ke dua, Tempo menahan diri dan mengutamakan kepentingan masyarakat negara di atas kepentingan pribadi dan majalah Tempo.
Ke tiga, menjaga nama baik dan kewibawaan pemerintah dan pimpinan nasional. Ke empat, mengindahkan dan memenuhi serta menjalankan ketentuan yang digariskan peraturan UU, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik dan ketentuan pemerintah untuk pembinaan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Ke lima, Tempo akan selalu introspeksi, koreksi dan melakukan perbaikan ke dalam, dalam rangka menghantarkan pers yang bebas dan bertanggung jawab.
"Dalam perjalanannya Tempo telah berkali-kali diperingatkan. Pernyataan tertulis enam kali, tiga kali peringatan keras dan 33 kali peringatan lisan," ujar Dirjen PPG. Katanya, dalam pertemuan- pertemuan antara Deppen dan jajaran media massa yang juga dihadiri Tempo, pemerintah sudah memperingatkan agar penerbitan memenuhi ketentuan yang berlaku.
"Dinilai ada beberapa pemberitaan Tempo yang menunjukan itikad tidak sejalan dengan arahan Dewan Pers tertanggal 13 Mei 1982 yang sudah diketahui dan ditandatangani oleh Direktur PT Grafiti Pers dan Pemred Tempo, saat itu," kata Subrata. Ditambahkan, kenyataan adanya pemuatan isi pemberitaan Tempo yang tidak lagi mengindahkan kehidupan pers yang bebas, sehat dan bertanggung jawab. Pemerintah akhirnya memberlakukan pasal 33 huruf h Permenpen No 01/1984 untuk membatalkan SIUPP majalah Tempo.
"Disebutkan dalam SK ini bahwa langkah penertiban itu terpaksa diambil untuk pembinaan dan pengembangan pers nasional yang bebas dan bertanggungjawab berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dan demi terbinanya stabilitas nasional di negara Republik Indonesia," sambung Dirjen PPG. SK Menpen No 123/1994 tentang pembatalan SIUPP Tempo itu kata Subrata berdasarkan saran dan pertimbangan dari Pelaksana Harian Dewan Pers dan Dirjen PPG.
Menurut Subrata, SK Menpen tentang pembatalan SIUPP itu sudah diserahkan kepada masing-masing pimpinan penerbitan pers itu. "Sore hari sekitar pukul 16.00," kata Subrata.
Soal pemulihan SIUPP, terutama mereka yang pembatalan karena kesalahan administrasi, Dirjen PPG menjawab, hal itu belum terpikirkan. "Belum terpikirkan untuk dipulihkan. Kita endapkan saja, lagi pula ini bukan keputusan pribadi saya," katanya.
Baca juga: Kesaksian Jakob Oetama yang Banyak Terlupakan
Tanggapan Tempo
Beberapa wartawan Tempo termasuk Wakil Pemimpin Redaksi Fikri Jufri mengaku baru mengetahui informasi pembatalan SIUPP dari Antara. SK Menpen yang mencabut SIUPP MBM Tempo itu diterima oleh Wakil Pemimpin Umum Tempo Harjoko Trisnadi.
Dalam jumpa pers di hadapan banyak wartawan, Fikri Jufri mengatakan, tidak menyangka tindakan yang diambil Pemerintah sedemikian keras.
Ketika diminta konfirmasi tentang keterangan Dirjen PPG Subrata bahwa Pemerintah telah beberapa kali memperingatkan Tempo, Fikri membantahnya. "Dari mana dihitungnya, apa sejak Tempo terbit? Ia juga menerangkan bahwa dalam UU Pokok Pers jelas disebutkan tidak ada lagi pembredelan.
Menurut Fikri Jufri, apakah tidak sebaiknya lewat peradilan saja untuk menghukum kesalahan Tempo. Eddy Tansil pun kan diselesaikan lewat pengadilan. Kan bisa saja Pemimpin Redaksinya diajukan ke pengadilan," ujarnya.
Ia juga membantah desas-desus bahwa sebelum Pemerintah mencabut SIUPP Tempo ada yang memintanya untuk mundur dari posisinya. "Nggak pernah ada permintaan. Siapa yang datang ke saya. Belum pernah ada permintaan itu."
Fikri mengemukakan, pembatalan SIUPP itu membawa akibat tersendiri bagi Tempo. "Kita ini termasuk yang padat karya, minimal 450 orang bernaung di Tempo. Tentunya ini harus dipikirkan. Kita harus ikat pinggang lebih keras."
Fikri juga mengutarakan, bagi orang seperti Goenawan Mohammad dan pemimpin lain yang berpenghasilan baik, tentunya tidak terlalu jadi masalah. Tapi bagaimana dengan para wong cilik, seperti tenaga distribusi atau agen koran. "Apa nggak ada cara lain," ucapnya.
Puluhan wartawan dalam dan luar negeri memenuhi kantor Tempo begitu mendengar Pemerintah membatalkan SIUPP Tempo. Di kantor redaksi Tempo sendiri sudah terpampang pengumuman yang bunyinya: "Pengumuman: Tempo katanya dibredel, semua karyawan dimohon berkumpul di ruang rapat lantai 8". Telepon terus berdering-dering di Kantor Tempo. Redaksi pun mengadakan rapat. Ikut hadir di kantor Tempo aktivis hak asasi manusia Todung Mulya Lubis dan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Adnan Buyung Nasution.
Tanggapan Editor
Sementara itu, di kantor Majalah Editor, malam kemarin langsung diadakan rapat intern sekitar satu jam. Usai acara tersebut pejabat Pimpinan Umum yang juga pejabat Pimpinan Perusahaan Editor Edi Herwanto menyatakan rasa terkejutnya terhadap keputusan Menpen tersebut.
Diakuinya, jabatan-jabatan pucuk di Editor memang kosong sejak tahun 1993, karena itu dalam tiga minggu terakhir ini ia diberi peringatan untuk segera membenahi hal tersebut. "Tampaknya waktu tersebut tidak cukup bagi kami, sehingga kami tidak dapat membuahkan hasil," tutur Edi Hermanto.
Ia juga menambahkan, dalam perjalanan hidupnya, Editor tidak jarang mendapat teguran mengenai isi pemberitaan. Salah satunya adalah dalam terbitan terakhirnya bulan Juni ini, yaitu mengenai mutasi di Kejaksaan Agung. "Bahkan kami pun sempat mendapat surat peringatan keras sebanyak dua kali," ungkapnya.
Untuk waktu mendatang, kata Edi, pihaknya akan terus berupaya bangkit, antara lain dengan melakukan pembenahan administratif. "Kalau pemerintah mengizinkan, kami akan ajukan SIUPP baru," tuturnya.
Dengan terjadinya pembatalan SIUPP Editor, maka kini perusahaan yang memiliki sekitar 150 karyawan itu harus mencari jalan keluar yang tepat. Menurut Edi Herwanto, untuk sementara pihaknya akan tetap memberi gaji karyawannya seperti biasanya. "Mengingat devisa kami sangat terbatas, kami berharap pemerintah tidak terlalu lama menghentikan kegiatan kami," katanya sambil menambahkan bahwa oplah Editor dalam beberapa bulan belakangan ini terus melonjak, yakni hingga mendekati 80 ribu eksemplar. Karena itu, gaji karyawannya pun bulan Mei lalu dinaikkan.
Sementara itu, Koordinator Reporter Detik M Najib kepada wartawan mengemukakan, pihaknya tetap tenang menghadapi masalah ini, bahkan risiko yang terburuk sekalipun. Dijelaskan, Detik dengan sekitar 150 karyawan dan memiliki tiras sekitar 400 ribu eksemplar tersebut, selama setengah tahun belakangan ini sudah berupaya untuk meminta izin perubahan misi dari masalah kriminal ke politik. Diakuinya, selama berdiri, Detik pernah pula mendapat surat teguran keras sebanyak dua kali, yaitu tentang laporan Primadosa dan Presiden Ketiga. (ush/fan/bdm/myr)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.