KGPH H Mangkubumi Dinobatkan Jadi Sultan Hamengku Buwono X (Arsip Kompas)
Seratus hari setelah Sultan Hamengku Buwono IX wafat, kerabat Keraton Yogyakarta menunjuk raja baru; KGPH Mangkubumi (43) agar dilantik dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia sampai sekarang masih bertakhta.
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi Rabu, 8 Maret 1989. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Yogyakarta, Kompas -- Kedudukan seorang sultan di lingkungan Republik Indonesia adalah realita. Ini didasarkan atas tekad rakyat melestarikan nilai-nilai budaya bangsa sebagaimana telah tersurat dan tersirat dalam Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan hal ini sewaktu menyampaikan pidato penobatannya di Sitihinggil Keraton Yogyakarta, Selasa kemarin.
Sultan, yang berpidato dalam bahasa Indonesia mengatakan, buat apa sebuah tahta dan menjadi sultan apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat? Pertanyaan ini langsung dijawabnya sendiri, “Jawaban atas pertanyaan itu merupakan pertanggungjawaban saya dalam kesadaran berbangsa dan bernegara.”
Zaman telah berubah, dimensi waktu telah membuat jarak antara apa yang saya dan ayahanda Hamengku Buwono IX hadapi, katanya menegaskan. “Totalitas jiwa raga yang dicurahkannya bagi Republik Indonesia, sebagai jawaban atas piagam kedudukan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia itu, telah mendapat pengakuan masyarakat sebagai, tahta untuk rakyat.” Dilanjutkannya, “Apabila masyarakat mengharapkan hal yang sama, tentu saja tidak mungkin saya lakukan, sebagaimana bapak dan guru saya itu telah mencurahkannya.”
Baca juga: Pelantikan Sultan HB X Dimeriahkan Kenduri Rakyat
HB IX naik tahta pada masa Gerakan Kebangsaan. Sebagai HB di masa pembangunan, lalu apa amanat dan maknanya? Sultan berpendapat, dengan memahami amanat para leluhur atas makna Hamengku Buwono, ada tiga substansi yang bersumber dari makna hamangku, hamengku, dan hamengkoni.
Dilukiskannya mengenai masih banyaknya bagian masyarakat yang serba kekurangan dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupannya. Untuk mengangkat harkat dan martabat mereka itu diperlukan pengabdian tanpa pamrih.
Atas dasar ini sultan kemudian menyebutkan, membesarkan hari dengan ‘lebih banyak memberi daripada menerima’, merupakan hakikat dari berbudi bawa leksana itulah, makna hamangku diaktualisasikan.
“Hamengku mengandung makna hangrengkuh atau ngemong, melindungi dan mengayomi, tanpa membeda-bedakan golongan keyakinan dan agama secara adil. Hakikat hamengku identik dengan ambeg adil paramarta.”
Kepemimpinan patrimonial
Menurut Sultan HB X, dalam masyarakat tradisional selalu terdapat hubungan kepemimpinan yang patrimonial. Dalam situasi sulit, pemimpin adalah juga pengayom yang siap berdiri paling depan, jadi panutan dan tampil mengambil tanggung jawab dengan segala risikonya. Keteladanan yang mengandung watak gung binathara itu adalah esensi dari hamengkoni.
“Dengan segenap jiwa raga saya akan mencurahkan untuk mewarisi api semangat dari makna yang tersandang dalam nama Hamengku Buwono itu, leih dari sekadar pewaris tahta dan kedudukan sultan,” janji Sultan HB X.
Sultan Yogya, yang juga Ketua DPD Golkar DIY ini menyebutkan, “Jikalau HB IX berjanji untuk bekerja memenuhi kepentingan nusa dan bangsa dengan tetap mempertahankan harmoni dan tradisi keraton, apa janji HB X? Janji harus diawali dengan tekad dan niat. Namun tekad dan niat itu masih diperlukan kearifan yang mampu menangkap dinamika aspirasi masyarakat.”
Ditegaskannya, meski saat ini kita sudah menuju ke masyarakat industri, penerapan pola kepemimpinan patrimonial masih cukup relevan. “Pada masa lalu sistem patrimonial ini telah merasuk ke dalam struktur monarki. Pada saat Indonesia merdeka seakan-akan terjadi perbenturan nilai antara pemimpin informal monarki dengan pemimpin formal birokrasi, karena keduanya sama-sama menganut asa patrimonial.” Ayah dari lima anak wanita ini kemudian menyebutkan, pernyataan HB IX untuk sanggup berdiri di belakang pemimpin RI telah mengakhiri situasi dualisme dalam sistem kepemimpinan patrimonial.
Menurut pendapatnya, pada zaman Sultan Agung telah dibangun konsep dasar kebudayaan Jawa yang khas. Setelah dikembangkan oleh HB I dan HB IX, telah jadi dasar kebudayaan keraton. Oleh sebab itu keraton mendapat pengakuan sebagai pusat kebudayaan. Sultan juga mengingatkan, hakikatnya pusat kebudayaan yang berada di keraton dan terbuka bagi masyarakat luas adalah untuk melestarikan konsep dasar serta gagasan Ngarsa Dalem HB IX, menata Yogyakarta sebagai wadah miniatur Indonesia dalam wawasan integral budaya Nusantara.
“Kebudayaan dapat menjadi sumber inspirasi, kreativitas dan aspirasi masyarakat. Dengan sifatnya yang universal, sebatas angger-angger dan paugeran negara, maka ‘suara hati nurani rakyat’ dapat diekspresikan dan didengar, di mana ‘yang benar adalah benar, yang salah itu memang benar salah’. Karena memang salah satu makna hamengku adalah juga mau mendengarkan.
Oleh karenanya, Sultan HB X kemudian berkata, “Sebagai pewaris tahta yang menyandang misi seperti itu, saya berjanji akan tetap meneguhkan tahta untuk rakyat, bagi kelestarian dan kesejahteraan kehidupan sosial budaya rakyat. Dengan tekad seperti itu, cita-cita menjadikan keraton sebagai pusat kegiatan dan pengembangan kebudayaan dalam harmoni tradisi adiluhung, dengan dukungan semua pihak, mudah-mudahan dapat tercapai…”
Baca juga: Sikap Patriotik Hamengku Buwono IX Dijadikan Teladan
Mengagumkan
Budayawan Umar Kayam PhD menilai pidato sultan sangat bagus dan mengagumkan. “Bukan hanya indah, tapi juga sangat bijaksana dalam mendudukkan tempat beliau dalam Republik.” Senada dengan ini, Menko Polkam Sudomo berpendapat, “...Kan sudah cukup jelas. Jadi, untuk menghilangkan kesan-kesan tertentu, sultan sendiri menyatakan ini semua masalah kebudayaan.”
Hal ini pula yang ditekankan oleh mantan Rektor Universitas Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Dr Soedjatmoko. Tokoh sepuh asal Solo ini berpendapat, “Sultan, bagaimanapun adalah merupakan lambang kebudayaan yang masih secara nyata ada dan masih tetap ada. Dia bisa menjadi pelindung kebudayaan.”
Ketua Partai Persatuan Pembangunan Dr HJ Naro dengan tangkas menukas, “Pertanyaan-pertanyaan yang menyatakan apa itu sultan, …itu hebat. Beliau menyadari, tidak bisa disamakan dengan ayah beliau. Kesadaran ini menurut saya meringankan beban beliau sendiri, sudah tentu orang ingin membanding-bandingkan dengan yang dulu.”
“Dia sultan modern yang tahu zamanya. Hanya saya tidak setuju kalau Yogya itu hanya kuat dalam nilai budayanya. Nilai perjuangannya juga kuat. Ini kelebihan Yogya,” kata Drs Frans Seda, rekan mendiang Sultan HB IX dalam Hasta Mitra. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono menilai, “Keraton sebagai pusat kebudayaan itu memang bagus sekali. Nilai-nilai budaya kan perlu kita pelihara.”
Sementara Menparpostel Soesilo Soedarman mengingatkan, “Tadi kan juga sudah digarisbawahi, fungsi keraton sebagai pusat budaya. Saya kan bergembira sekali, itu berarti sumbangannya tak kecil kepada kepariwisataan.”
Dari sisi lain, komentar muncul dari Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada Dr Ichlasul Amal, “Saya berpendapat, menyebutkan kepemimpinan patrimonial, jelas sebuah kekeliruan besar dilihat dari ilmu politik.” Menurut Amal, yang semasa mahasiswa sering berkuliah di Sitihinggil keraton, istilah yang benar harus paternalistik. “Kalau paternalistik tepat, karena hubungan antara orangtua dan anaknya misalnya, bisa dipahami.”
Dr Ichlasul Amal menyebutkan, dengan pemakaian patrimonial akan terasa semangat feodalnya. Sebab dengan demikian seakan-akan hanya ada sumbangan dari bawah yang dikeruk oleh kelompok atasan, hanya terjadi komunikasi satu arah.
“Karena ada pemakaian istilah kepemimpinan patrimonial saya kok lantas kepingin tahu siapa yang menuliskan dan memberi masukan kepada sultan. Pokoknya, saya tetap tak setuju dengan pemakaian kepemimpinan patrimonial. Hendak dibawa ke mana kita kalau demikian?” tanya Dr Ichlasul Amal.
Dua ribu tamu
Sekitar dua ribu tamu undangan serta ratusan abdi dalem Keraton Yogyakarta ikut menyaksikan upacara penobatan raja tersebut. Tampak hadir Ny. Hartini Soekarno, Ny. Rahmi Hatta serta Ny. Nelly Adam Malik.
Cuaca teramat cerah, tak menghalangi kerumunan warga masyarakat setempat yang berdesakan di muka pagelaran keraton. Mereka hanya bisa menyaksikan upacara penting tersebut lewat layar pesawat televisi.
Upacara ini teramat langka, karena baru pertama kali ini terjadi di alam kemerdekaan. Sementara bagi Keraton Yogyakarta sendiri, upacara serupa paling akhir terselenggara tanggal 18 Maret, 49 tahun silam. (hrd/pom/tri/jup)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.