Dua insiden bersentimen agama terjadi pada awal Februari 2011; penyerangan rumah pimpinan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten yang menewaskan tiga jemaah Ahmadiyah. Kedua, pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah.
Oleh
MARCELLUS HERNOWO, Agustina Elok Dyah Messwati, ILHAM KHOIRI, M. Fajar Marta, NINA SUSILO
·5 menit baca
Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 14 Februari 2011. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Jakarta, Kompas — Kekerasan atas nama agama atau apa pun merupakan ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Di tengah kondisi politik dan ekonomi yang belum menentu, kesadaran tentang kebinekaan seharusnya menjadi benteng terakhir keindonesiaan.
"Penegakan hukum yang tegas menjadi kunci utama agar kasus-kasus itu (kekerasan) tidak mengganggu keberagaman, yang merupakan fakta obyektif bangsa Indonesia," kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Saifuddin saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (13/2).
Pada saat yang sama, lanjut Lukman Hakim, penyebab kekerasan seperti yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah, juga harus segera diungkap dan diatasi agar hal serupa tidak terulang.
Yudi Latif dari Reform Institute menuturkan, kebinekaan Indonesia disokong oleh dua hal. Pertama, sikap masyarakat untuk bisa menerima perbedaan sebagai fakta dan harus dihormati. Kedua, keberadaan negara yang dapat mempersatukan. Untuk itu, negara harus dapat melindungi semua warganya, antara lain dengan menjaga keragaman yang ada di dalamnya.
"Namun, sering kali negarabukan saja gagal melindungi keragaman, melainkan justru memanfaatkan atau membiarkan kekerasan yang diakibatkan oleh keragaman itu untuk kepentingan jangka pendek," tutur Yudi.
Kasus Cikeusik dan Temanggung, ujar Yudi, merupakan pertautan antara adanya kelompok masyarakat yang sulit menerima perbedaan dengan sejumlah alasan dan pembiaran negara terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat itu. "Saya tidak tahu siapa yang memainkan, tetapi diduga ada yang dimainkan karena pola kedua kasus itu relatif sama," ucap Yudi.
Ridha Saleh dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membenarkan adanya persamaan pola dalam kerusuhan di Cikeusik dan Temanggung. "Ada kesan kuat aparat keamanan tidak maksimal mengatasi dua kasus itu, padahal sejak beberapa hari sebelumnya sudah ada gejalanya," tutur Ridha.
Untuk memecahkan hal itu, Ridha berharap semua pemimpin aparat keamanan yang terkait dengan dua peristiwa tersebut segera diperiksa. "Mereka tidak cukup hanya dimutasi seperti yang telah dilakukan terhadap sejumlah pimpinan Polri di Temanggung dan Banten. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan kelalaian yang telah dilakukan," kata Ridha.
Agar kasus tersebut tak terulang, pemerintah harus menindak tegas para pelaku kekerasan. Pemerintah juga diminta menegaskan tidak akan membiarkan jika peristiwa kekerasan seperti itu terjadi kembali.
"Pemerintah juga harus membuktikan itu semua dalam tindakan. Pemerintah harus menjelaskan akan memberi zero toleransi terhadap kekerasan, tapi sampai sekarang pemerintah tidak tegas," kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, di Jakarta.
Ia menambahkan, di dalam negara yang beradab, berwibawa, dan berkarakter, tindak kekerasan seharusnya tak diizinkan. Tugas pemerintah adalah mendidik masyarakat agar bisa menerima perbedaan dan keberagaman.
"Selama seseorang dan keluarganya tidak mengganggu orang lain, maka tetangga tidak boleh mencampuri urusan orang lain. Kita harus belajar menghormati keutuhan orang lain. Ini tugas pemerintah untuk mendidik masyarakat," katanya.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, Jumat, juga menyampaikan agar pemerintah bersikap tegas. Lambannya sikap pemerintah dalam mengambil keputusan bisa dianggap turut membiarkan terjadinya kemungkinan konflik horizontal.
"Kami minta pemerintah untuk bersikap tegas. Bentrok dan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, sesungguhnya tak perlu terjadi andai pemerintah tegas menyangkut keberadaan jemaah Ahmadiyah," kata Muhammad Ismail dalam jumpa pers yang juga dihadiri wakil dari beberapa organisasi Islam, seperti Al Wasliyah, Syarikat Islam, Hidayatullah, dan Al Ittihadiyah. Ia menyesalkan terjadinya kekerasan itu. Jika hal itu direkayasa, maka perekayasanya harus ditangkap.
Jika benar kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah merupakan rekayasa, hal itu merupakan kejahatan keji karena mengakibatkan meninggalnya warga serta merusak hubungan umat beragama. Karena itu, aparat kepolisian didesak untuk tidak saja menindak para pelaku, tetapi juga menangkap mereka yang berada di balik kekerasan itu.
Demikian disampaikan Sekretaris International Conference of Islamic Scholars (ICIP) KH Hasyim Muzadi dan Wakil Ketua Umum Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) Piet Hisbullah Chaidir setelah seminar "Revitalization of Islam: Challenges and Opportunities" di Jakarta, Sabtu. Keduanya meminta polisi untuk bertindak cepat menemukan dan menangkap para perekayasa, mengungkap motifnya, serta membongkar kasus itu secara tuntas.
"Siapa pun yang merekayasa dan berada di balik kekerasan di Cikeusik harus ditangkap dulu. Mereka menjadikan rakyat kecil sebagai korban. Apalagi, pola semacam ini sudah berkali-kali terjadi di beberapa daerah," kata Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama.
Piet Hisbullah Chaidir menilai, kalau kekerasan di Cikeusik hasil rekayasa, tentu itu memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Rasa aman dan keselamatan hidup warga melemah. Lebih dari itu, kerukunan umat beragama yang selama ini sudah terganggu kini kian memburuk. Citra Indonesia di dunia internasional juga memburuk.
"Jika aktor perekayasa tidak dapat ditangkap dan ditindaktegas, kekerasan itu akan menjadi preseden bagi kasus-kasus konflik umat beragama di daerah lain," katanya. Kemungkinan itu bisa terjadi karena kebetulan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini memang sedang tertekan akibat berbagai persoalan, seperti kemiskinan, pengangguran, penegakan hukum yang lemah, kasus korupsi, mafia hukum yang bisa membuat orang kecewa. "Semua itu bisa membuat orang mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan," katanya.
Sementara itu, lima tersangka kasus kerusuhan Cikeusik telah menunjuk Tim Pembela Muslim (TPM) sebagai kuasa hukum. Dua di antara mereka sudah ditahan, sedangkan tiga lainnya belum ditahan. Menurut Ketua Dewan Pembina TPM Mahendradatta di Jakarta, Minggu, yang terjadi di Cikeusik bukan penyerangan, melainkan bentrokan. (NWO/LOK/IAM/FAJ/INA)