Diwarnai Isak Tangis, Indonesia Rebut Medali Perak (Arsip Kompas)
Selama 36 tahun sejak olimpiade di Helsinki, tahun 1952, Indonesia baru pertama kali membawa pulang medali. Medali perak pertama diraih Lilies Handayani, Nurfitriyana, dan Kusuma Wardhani dari cabang olahraga panahan.
Oleh
JB KRISTANTO, IRVING NOOR
·5 menit baca
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 2 Oktober 1988. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Seoul, Kompas -- Puji syukur, sesuatu yang mustahil akhirnya terjadi hari Sabtu. Di lapangan panahan Hwarang yang berada dalam kompleks militer, yang didominasi warna hijau rumput lapangan maupun pohon-pohon sekitarnya yang rapi berbaris, mulut hanya bisa bungkam. Sebuah medali perak akhirnya bisa dibawa pulang ke tanah air.
Selama tiga puluh enam tahun mengikuti Olimpiade (sejak Olimpiade Helsinki 1952) baru kali ini Indonesia mencatatkan diri sebagai salah satu peraih medali. Tiga srikandi Indonesia, Lilis Handayani (Jawa Timur), Kusuma Wardhani (Sulsel), dan Nurfitriana Saiman (Jakarta) berhasil mempersembahkan medali perak dalam cabang panahan beregu yang finalnya berlangsung Sabtu sore di lapangan panahan Hwarang, 5 km dari Chamsil Sport Complex yang jadi pusat berlangsungnya olimpiade. Ini juga merupakan prestasi puncak olahraga Indonesia dalam kompetisi tingkat dunia.
Wartawan Kompas, Kristanto JB dan Irving Noor yang menyaksikan pertandingan melaporkan, medali emas diraih oleh regu Korea, sedangkan perunggu oleh regu Amerika Serikat. Sementara di beregu putra, Korea lagi tampil sebagai peraih emas, perak untuk AS, dan perunggu untuk Inggris. Korea nampaknya memang melakukan sapu bersih di cabang panahan ini. Di nomor tunggal putri, mereka merebut semua medali, sedang diputra mereka merebut medali perak.
Kegembiraan langsung meruap di kubu kontingen Indonesia, hingga mereka toh tidak terlalu menunduk karena pulang tanpa perolehan apa-apa. Ketika para pemanah itu kembali ke perkampungan atlet, sorak-sorai riuh rendah menyambut mereka, hingga membuat anggota-anggota kontingen lain terpaksa menoleh dan bertanya-tanya.
Di lapangan sendiri hanya tangis yang bisa menjadi ekspresi kegembiraan itu. Begitu selesai melihat hasil tembakan terakhir, mata ketiga pemanah sudah merah berkaca-kaca dan asementara air mata mengalir perlahan dari kedua mata mereka. Peluk dan cium dari pelatih Donald Pandiangan, Ketua Kontingen Indonesia Wiek Djatmika, Ketua Perpani Haposan Panggabean, Sekretaris III KBRI di Seoul , Rusman K Utomo, lima wartawan Indonesia dan seorang wartawan Indonesia yang bekerja untuk radio Australia. Ucapan dari regu-regu panahan lain pun berdatangan, termasuk dari petugas petugas lapangan.
Tumpahan tangis kegembiraan agaknya bisa dipahami mengingat jalannya pertandingan final yang lamanya sekitar dua seperempat jam, seolah berjalan sangat lambat dan menegangkannya. Angka yang selisihnya sedikit saja baik dengan Korea yang berada di atas maupun Amerika Serikat yang selalu membuntuti di tempat ketiga.
Bahkan pada saat putaran terakhir, jarak 70 meter, perolehan nilai Indonesia dan Amerika Serikat ternyata sama: 952, hingga harus dilakukan tembakan ulang khusus untuk kedua regu ini untuk menentukan siapa yang berhak menduduki tempat kedua. Indonesia lebih beruntung, karena satu anak panah Amerika Serikat lolos dari sasaran, hingga mendapat hukuman pengurangan angka. Maka meledaklah tangis kegembiraan tadi.
Pada saat tembakan ulangan tadi, Wiek Djatmika sudah pasrah. Perunggu pun ia sudah terima, karena itu pun sudah sejarah bagi Indonesia. Sementara Donald Pandiangan sendiri setelah berakhirnya putaran terakhir, merasa sudah selesai dan menciumi anak asuhannya. Ia menjadi tegang lagi ketika harus ada tembakan ulang.
Drama ini sebenarnya sudah bermula sejak awal final, yaitu pada nomor 30 meter. Tanpa diduga, Indonesia merebut nilai tertinggi, 259, Korea kedua dengan 258 dan Amerika Serikat dengan 253. Awal yang baik ini agaknya membuat semangat tinggi ketiga pemanah Indonesia. Babak final ini diikuti delapan negara: Korea, Indonesia, Amerika Serikat, Jerman Barat, Inggris, Uni Soviet, Swedia, dan Prancis
Seperti diketahui, lomba panahan beregu ini mengharuskan tiap pemanah melontarkan sembilan panah dalam tiga kali putaran juga. Jadi setiap pemanah melontarkan tiga anak setiap kali dalam waktu yang ditentukan: 150 detik. Ini berarti 27 anak panah dalam setiap nomor jarak bisa menghasilkan angka tertinggi 270.
Hasil ketiga Srikandi Indonesia tadi berarti 95 persen dari tingkat kesempurnaan. Cuma Donald Pandiangan belum bisa berharap banyak meski awal sudah baik. “Kami tahu Korea sangat kuat. Saya hanya bisa mengajak anak-anak supaya fight saja,” katanya.
Pada putaran kedua, 27 anak panah lagi, di nomor 50 meter. Kedudukan teratas sudah tak bisa dipertahankan. Di sini Indonesia meraih angka 237, sama dengan Amerika Serikat, sementara Korea mengumpulkan nilai 240. Dalam pengumpulan angka secara keseluruhan, Indonesia menduduki tempat kedua dengan hanya terpaut dua angka. Indonesia 496, Korea 498, sementara AS terus menguntit dengan 490.
Pada nomor 60 meter, Korea semakin baik dengan perolehan 241, sedang Indonesia di tempat ketiga dengan 235, sementara AS di tempat keempat dengan 234. Uni Soviet unjuk gigi dengan 241 dan di tempat kedua. Namun secara keseluruhan kedudukan kedua Indonesia tetap bertahan dengan 731, AS menjauh dengan 724, sedang Korea melejit dengan 739.
Sampailah pada nomor terakhir 70 meter. Korea memperkokoh diri dengan nilai 243, sementara Indonesia harus menerima kedudukan ketujuh dengan nilai 221, sedang AS di tempat keenam dengan 228. Papan skoring memperlihatkan, Korea tetap berada di puncak dengan 982, sementara di tempat keempat dan seterusnya, juga sudah muncul urutan prestasinya. Tempat kedua dan ketiga dikosongkan.
Lalu muncul pengumuman dalam bahasa Korea yang tak dimengerti oleh kontingen Indonesia. Baru pengumuman susulan dalam bahasa Inggris, bahwa Indonesia dan AS meraih nilai sama 952; hingga kedua regu ini harus mengulang tembakan untuk menentukan nomor dua dan tiga.
Akhirnya ketengan juga yang menganugerahkan medali perak bagi Indonesia, karena pemanah-pemanah AS yang nampak remaja belum sepenuhnya menguasai diri, sehingga harus melakukan kesalahan fatal. Satu panahnya lepas sasaran. Pada tembakan penentuan ini Indonesia mendapat nilai 72, sedang AS hanya 67 dari sembilan anak panah.
Kemenangan regu putri ini agaknya tak terduga, karena pada hari-hari sebelumnya, rekor mereka jelek sekali. Bahkan pada nomor tunggal, Lilis Handayani gagal masuk final, karena hanya menduduki urutan kesembilan. Padahal yang berhak masuk final hanya delapan besar dalam semifinal.
Kegagalan sudah ditebus. Dan mereka pantas bergembira, karena mencatatkan nama Indonesia dalam sejarah Olimpiade, bukan hanya sebagai salah satu anggotanya, tetapi juga sebagai salah satu negara yang berhasil meraih medali, meski baru perak. Sejarah sudah dimulai. **