Keberhasilan Swasembada Beras Baru Merupakan Tingkat Awal (Arsip Kompas)
Pada artikel Tinjuan Akhir Tahun Kompas pada 1984, produksi beras tahun 396.000 ton lebih tinggi ketimbang konsumsi beras yang diperkirakan mencapai 25,101 juta ton. Untuk pertama kali, Indonesia mampu mengekspor beras.
Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 29 Agustus 1985. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS -- Swasembada beras yang berhasil dicapai Indonesia belakangan ini sebenarnya baru pada tingkatan awal. Karena itu jangan lengah dan terburu-buru lupa. Banyak contoh di dunia, yang pada suatu waktu berhasil mencapai swasembada, tapi kemudian dihadapkan pada kenyataan ada rakyatnya yang menderita kelaparan.
Peringatan keras tersebut dilontarkan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan Ir Wardoyo pada Rapat Konsultasi Kepala UPP (Unit Pelaksana Proyek) Pencetakan Sawah se-Indonesia di Hotel Wisata, hari Rabu.
Menurut menteri, swasembada beras dikatakan benar-benar mantap bila laju peningkatan produksi dapat mengimbangi laju kenaikan konsumsi. Tidak ada lagi beras yang diimpor meskipun terjadi berbagai bencana seperti serangan hama/penyakit, kemarau panjang atau hujan yang tak henti-hentinya sehingga menimbulkan banjir.
Baca juga: Beras dan Politik Elementer Bangsa
Dalam Pelita IV sasaran peningkatan produksi beras rata-rata 4 persen setahun. Angka tersebut dibuat dengan perkiraan penduduk masih meningkat 2,2 sampai 2,3 persen, serta masih terjadi peningkatan konsumsi per kapita sebesar 1,7 sampai 1,8 persen. Sehingga untuk bisa mewujudkan swasembada dan memantapkannya, diperlukan sasaran pertumbuhan 4 persen setahun.
Tapi apa yang terjadi terhadap produksi beras tahun 1985 ini. Berdasarkan ramalan II Biro Pusat Statistik, produksi tahun ini diperkirakan hanya 25.984.047 ton, atau kenaikannya 0,6 persen dibanding produksi tahun 1984 lalu sebesar 25.825.233 ton. Begitu pula kenaikan produksi per hektar tahun 1985 ini diperkirakan 39,41 kuintal. Padahal, pada Pelita III rata-rata produksi beras naik 6,58 persen setahun dan rata-rata produksi per hektar naik 4,17 persen.
Semakin terbatas
Menteri Wardoyo mengungkapkan, kesempatan untuk memperluas areal intensifikasi sudah semakin terbatas, padahal usaha tersebut selama ini menjadi tulang punggung dalam peningkatan produksi beras. Areal intensifikasi sudah meliputi 95 persen dari pertanaman padi pada musim kemarau dan sekitar 92-93 persen pada musim penghujan.
Dari seluruh areal tanaman padi yang sudah diintensifkan tersebut memang mempunyai pengairan yang baik, sehingga areal yang tersisa praktis belum ada pengairannya, baik berupa daerah pasang surut, rawa, tanah kering maupun tadah hujan. Produktivitas tanah itu jelas lebih rendah dibanding sawah berpengairan.
Memang perlu dipertanyakan mengenai teknologi baru, baik di bidang teknis maupun sosial, yang bisa membantu meningkatkan produksi dari lahan yang sudah ada. Namun kemungkinan untuk mendapatkan teknologi baru tersebut belum ditemukan, atau masih harus dicari. Walau bagaimanapun teknologi itu ada batasnya. Setiap kali teknologi maju diperkenalkan, hambatan lain akan timbul.
Di pihak lain, meningkatnya penduduk dan meluasnya industri mengakibatkan banyak lahan pertanian yang subur terpaksa harus dikonversikan untuk kepentingan lain, seperti untuk prasarana jalan, lapangan terbang, saluran irigasi, industri atau permukiman. Tanah-tanah subur di Jawa, Sumatera dan Sulawesi semakin terbatas. Mencari tanah untuk membuat persawahan baru begitu sulit.
Meskipun program transmigrasi ke luar Jawa terus ditingkatkan, peralihan tanah pertanian ke bukan pertanian di Jawa tidak dapat dihindari. Dalam periode 10 tahun (1970-1980) sekitar 200.000 hektar tanah pertanian di Jawa dialihgunakan ke bukan pertanian. Ini berarti, setiap tahun 20.000 hektar tanah subur berkurang.
Baca juga: Kebijakan Perberasan: Dari Orde Lama Hingga Reformasi
Pencetakan sawah
Selaku Menteri Muda Pangan, Wardoyo menghadapi tantangan berat, karena swasembada pangan yang benar-benar mantap harus bisa dicapai pada akhir Pelita IV. Dalam kaitan itu, kegiatan pencetakan sawah sangat didambakan guna mengatasi kebutuhan beras yang senantiasa meningkat.
“Kalau pencetakan sawah itu tidak bisa berjalan dengan baik, maka bisa dibayangkan problema-problema yang kita hadapi dalam peningkatan produksi pangan dalam rangka melestarikan swasembada pangan nanti pada Pelita V, Pelita VI dan seterusnya,” tutur menteri.
Sejak semula sudah disadari perlunya mengusahakan pencetakan sawah di luar Jawa guna mengamankan tiga kepentingan nasional, yaitu swasembada pangan, perluasan kesempatan kerja dan transmigrasi. Selama Pelita III dan Pelita IV masing-masing direncanakan sasaran pencetakan sawah seluas 350.000 hektar.
Tapi selama enam tahun, pencetakan sawah berlangsung, sasaran itu belum dapat dicapai. Sawah yang sudah selesai dicetak sampai Juli 1985 baru 227.217 hektar dari sasaran 400.000 hektar (350.000 hektar Pelita III ditambah 50.000 hektar tahun pertama Pelita IV). Di antara sawah yang sudah dicetak itu, 14.479 hektar belum ditanami.
Sawah yang sudah dicetak seluas 227.217 hektar tersebut mencakup pencetakan sawah swadaya 141.823 hektar (62 persen) dan dengan kredit prefinancing 85.394 hektar (38 persen). Tapi dari 85.394 hektar sawah yang dicetak dengan kredit, baru 22.000 hektar yang sudah diterbitkan sertifikatnya. Dan di antaranya yang sudah dikonversi kreditnya menjadi KIK (Kredit Investasi Kecil) BRI baru 413 hektar.
Partisipasi petani
Berdasarkan pengalaman, kekuatan yang dimiliki dalam menunjang suksesnya pencetakan sawah terletak pada partisipasi petani. Asalkan air irigasi tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan bimbingan serta dorongan para petugas maka secara swadaya petani mencetak sawah sendiri.
Dalam hal pencetakan sawah dengan kredit, diakui belum berjalan baik. Kadangkala ditemui berbagai persoalan seperti sawah selesai dicetak tapi tidak ditanami, kontraktor menelantarkan pekerjaan sedangkan untuk melanjutkan, sertifikat tanah dan konversi kredit terlambat, serta di beberapa UPP timbul kasus penyimpangan yang diduga termasuk tindakan korupsi.
Guna menyelesaikan masalah dan hambatan pencetakan sawah dengan bantuan kredit, sebenarnya Tim Pengendali melalui rapat-rapat koordinasi sudah menetapkan serangkaian tindakan. Untuk pencetakan sawah yang terbengkalai, supaya memecahkan faktor penyebabnya dan jika petani memerlukan tambahan biaya bisa diberikan tambahan kredit sebesar Rp 100.000 per hektar.
Selain itu, guna mempercepat penerbitan sertifikat tanah telah disepakati Direktorat Jenderal Agraria agar menempuh kebijaksanaan penyederhanaan prosedur kegiatan keagrariaan dari keseluruhan komponen. Untuk mempercepat pelaksanaan konversi kredit prefinancing menjadi KIK atas nama petani, disepakati BRI bertindak sebagai koordinator pemasangan dan pendaftaran Credit Verband.
Pedoman yang dikemukakan menteri, agar pelaksanaan konstruksi pencetakan sawah secara umum diarahkan untuk dikerjakan oleh kelompok tani, dimulai dari areal yang paling ringan berangsur-angsur ke areal yang lebih berat dari arah hulu ke hilir. Bimbingan teknis perlu diintensifkan dengan mengerahkan tenaga lapangan UPP secara terpusat.
Sementara pelaksanaan konstruksi pencetakan sawah oleh rekanan/kontraktor diarahkan pada lokasi yang bervegetasi berat dan hamparannya cukup luas seperti pada proyek irigasi khusus dan proyek irigasi sedang-kecil. Harus dihindarkan pemberian kontrak dalam skala kecil, karena hal ini dapat berakibat terbengkalainya pekerjaan. (dar)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.