Sartono Kartodirdjo, "Latar Belakang Sosio-Kultural Dunia Kanak-Kanak dan Masa Muda Bung Karno"
Pada masa krisis nasional dewasa ini, gejala separatisme adalah dampak timbulnya marginalisasi suku-suku di luar Jawa pada masa Orde Baru. Maka suku-suku tersebut membutuhkan ruang gerak politik untuk beremansipasi.
Artikel yang ditulis almarhum Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo berikut ini pernah terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2001, edisi khusus 100 Tahun Bung Karno. Kami terbitkan kembali artikel tersebut dalam rubrik Arsip Kompas.id sebagai bahan berdialog dengan sejarah.
Pancaroba masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 ialah ucapan yang lumrah diketengahkan dalam sejarah Indonesia bahwa suatu jiwa zaman (zeitgeist) membentuk kepribadian seseorang yang hidup di masa itu, dan sebaliknya pribadi tokoh sejarah menempa jiwa zaman. Abad ke-20 bercirikan nasionalisme serta produk perkembangannya, ialah negara nasion, maka berbicara tentang Bung Karno tidak lepas dari nasionalisme, dan sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat lepas dari peran kepemimpinan Bung Karno.
Beberapa dasawarsa menjelang tahun 1900, Indonesia, khususnya Jawa, mengalami perubahan ekonomi sosial dan politik sebagai dampak modernisasi seperti pembangunan komunikasi, antara lain kereta api, jalan raya, telepon, telegraf, industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari sekolah rendah sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran, teknologi pertanian dan lain sebagainya. Tidak mengherankan apabila timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi pasar, serta ekonomi keuangan dan lain-lain.
Kebingungan rakyat dalam menyikapi perubahan itu menciptakan pada rakyat sejak kira-kira pertengahan abad ke-19 pandangan dunia, seperti gambaran kuno ialah datangnya kaliyuga atau datangnya kiyamat (apocalyps). Kedatangan akhiring zaman ditandai antara lain oleh "Pulau Jawa sudah berkalung besi" (adanya kereta api), anak yang sudah tahu nilai uang akibat adanya monetisasi, anak tidak lagi mematuhi kata orangtua, dan sebagainya.
Adanya kebingungan berubahnya nilai-nilai, karangan pujangga terakhir Ranggawarsita dalam serat Kalatida menyatakan "jamannya ialah jaman edan" "Jamane jaman edan sing ora edan ora keduman... Begja begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada."
Di sini zaman penuh perubahan nilai-nilai menimbulkan kebingungan, karena orang kehilangan pegangan sehingga kelakuannya serba aneh (seperti orang gila). Orang tidak jujur (korup) menjadi kaya dan yang jujur tidak menjadi kaya akan tetapi yang paling bahagia adalah orang yang tetap ingat (jujur) serta waspada.
Sang pujangga menilai zaman pancaroba serba negatif, terutama dari pandangan tradisional jadi konservatif karena perubahan membahayakan masyarakat tradisional, maka perubahan mengancam tradisi. Ucapan Ranggawarsita tidak lagi diindahkan pada zaman emansipasi, justru kemajuan yang menjadi tujuan hidup kaum "kebangkitan" yang disebut dalam sejarah, meskipun mereka menyebut diri sendiri kaum maju.
Baca juga : Jakob Oetama, ”Berdialoglah dengan Sejarah”
Para kaum maju merupakan akar pergerakan nasional atau lazim disebut kebangkitan nasional. Dari Kartini bersaudara sampai Bung Karno dan Bung Hatta merupakan proses pergerakan nasionalisme yang berideologi melawan kolonialisme Belanda, gerakan nasionalisme merupakan antitesis terhadap kolonialisme. Kolonialisme bercirikan diskriminasi antara kaum kulit putih dengan kaum kulit berwarna, ekonomi dualistis, dan segregasi pemukiman.
Faktor-faktor tersebut dilambangkan secara menonjol dalam kehidupan sehari-hari, membawa dampak pada kaum pribumi, yaitu merasakan serba rendah (inferior), dalam bahasa kini disebut minder. Golongan yang lebih dahulu merasakan hal tersebut adalah kaum intelektual (terpelajar). Merekalah yang menyadari stigmanya sebagai pribumi yang sedang mengalami krisis identitas.
Meskipun telah terpelajar namun mereka belum diakui sama status dengan kaum Eropa. Tambahan pula feodalisme masih sangat kuat di kalangan ambtenar dan priyayi sehingga kedudukan mereka masih sangat ditentukan oleh ikatan feodalnya. Dalam pada itu modernisasi telah banyak menghapus identitas tradisional serta komunal sehingga mereka perlu mencari identitas baru yang sesuai dengan modernisasi gaya hidup mereka.
Mobilisasi, urbanisasi, dan detradisionalisasi memungkinkan ada pelembagaan solidaritas baru, berupa perkumpulan antara lain Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Pasundan. Kecuali berbentuk forum baru, organisasi itu berfungsi sebagai identitas kolektif. Di sini kita menghadapi bentuk ekspresi etno-nasionalisme atau religio-nasionalisme.
Meskipun ketiga emansipator pada dekade pertama abad ke-20 yaitu Kartini, Wahidin, dan Soetomo sebagai perintis emansipasi memusatkan perhatian kepada keterlibatan solidaritas nasional masih terbatas, tetapi dipusatkan perhatiannya pada aspek modernisasi yang bervariasi.
Di sini kita menghadapi fakta historis berupa konvergensi dua proses, yaitu di satu pihak pada Bangsa Indonesia timbul kesadaran adanya status serba rendah di bawah sistem penjajahan, sedangkan di pihak lain pada Bangsa Belanda muncul kesadaran betapa besar penderitaan rakyat terjajah serta beratnya kewajiban moral dalam pelaksanaan pemerintahan kolonial.
Adapun dalam masyarakat Belanda sementara itu timbul kepedulian terhadap situasi Hindia Belanda sebagai negeri yang merosot kesejahteraannya, di samping itu dirumuskan politik kolonial mission sacre, yang terwujud berupa gerakan missi dan zending. Dipicu oleh proses perkembangan dan perubahan konsep kolonialisme, tambahan pula sebagai ideologi kolonialisme sebagai dampak penyebaran literatur kolonial sejak Max Havelaar dari Multatuli (EEF Douwes Dekker) sampai Du Peron. Gambaran tentang Hindia Belanda sebagai jajahan mulai berubah. Politik etis bertujuan memberikan kemudahan untuk kemajuan serta kesejahteraan rakyat.
Perlu ditambahkan di sini suatu interpretasi ekonomi bertujuan industrialisasi pertanian serta penanaman modal, maka fungsi jajahan berubah, ialah sebagai pasar penanaman modal. Untuk mendorong hal itu perlu ada perbaikan transportasi serta membuka banyak lahan untuk perkebunan. Perlu dicatat di sini bahwa ideal dalam politik etis ialah akan menciptakan kaum terpelajar yang Neerlandophil. Sesungguhnya pendidikan yang dikembangkan memuat gagasan P Kennedy adalah dalam jangka panjang menjadi satu bom waktu bagi kolonialisme.
Baca juga : Daniel Dhakidae, ”Ende, Flores, dan Pemulihan Soekarno”
Menyinggung lagi masalah emansipasi, ketiga emansipator tersebut di atas menjadikan pendidikan sebagai dasar modernisasi yang mencakup tiga segi, yaitu: a. pendidikan wanita, b. biaya pendidikan (beasiswa), c. pendidikan pada umumnya. Pidato Soetomo dalam kongres "Jong Java" menyatakan bahwa dewasa itu pembangunan masih terbelakang. Dipandang dari segi historis politik kolonial menghasilkan hominies novi (manusia baru) atau priyayi intelegensia yang akan berperan sebagai modernisator atau aktor intelektualis dalam profesionalisme teknologi bidang industri, pertanian, kedokteran, birokrasi, pendidikan, dan sebagainya.
Dalam menyebut pendidikan sebagai unsur politik kolonial perlu diketengahkan Politik Etis pada awal abad ke-20 dengan trilogi (sic) sebagai langkah pelaksanaan pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 serta merupakan perwujudan ekspresi dari edukasi, irigasi, dan emigrasi.
Pada akhir dekade pertama kita menjumpai kultur gaya hidup kaum maju yang terdiri atas kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan atau kaum aristokrasi (Boedi Oetomo). Maka selaras dengan kondisi itu sifat organisasi, gerakannya tidak mungkin radikal.
Kaum pedagang menengah dan penduduk kota sebagai anggota Muhammadiyah juga lebih bersifat moderat, sedang SI yang mencakup lapisan menengah sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan petani, golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta pedagang kecil. Acap kali ideologinya merupakan campuran antara gerakan tradisional dan setengah modern kota. Meskipun masih bercorak etnonasionalistis, namun sudah ada komunikasi antara golongan bawah menengah dan atas.
Contoh yang jelas mengenai bentuk komunikasi tersebut di atas ialah kongres Jong Java pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Kongres itu sudah dipersiapkan sejak 20 Mei 1908. Bagaimana semangat dan sikap kaum maju dalam akhir dekade pertama dapat diamati selama kongres tersebut. Sangat menonjol jenis nasionalisme pertemuan itu ialah etnosentrisme. Namun, meskipun ada keterbatasan peserta, terutama dari Jawa, pertemuan itu sudah berhasil menghimpun pelbagai golongan, antara lain golongan bangsawan, golongan aristokrasi, dokter, guru, siswa dari pelbagai sekolah. Mereka duduk sama tinggi dan berbahasa satu.
Ini semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal dan ada komunikasi lebih bebas. Di sini kita melihat tanda-tanda permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti perhatian mereka luas, mencakup kesejahteraan kehidupan rakyat dan bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat.
Dua hal yang menarik untuk diungkapkan masa itu ialah, pertama, pidato Soetomo; dan kedua, dialog antara dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman Wedyodiningrat. Dokter Soetomo mengutarakan keadaan negerinya yang serba terbelakang di pelbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan sebagainya.
Pidato itu mencakup pelbagai segi kehidupan rakyat yang sangat komprehensif, tetapi tidak disinggung masalah politik, diskriminasi sosial dan serba tertinggal dalam tingkat pendidikan. Sesuai dengan tingkat kepriyayiannya, dokter Soetomo tidak melancarkan kritik terhadap pihak kolonial, masih jauh dari retorik serta diskusi Bung Karno dua dekade kemudian.
Apabila pada masa reformasi sekarang ini perubahan masyarakat ekonomi sosial politik dan kultural tidak dapat ditinjau lepas dari proses globalisasi, pada waktu itu perubahan peradaban masyarakat tidak lepas dari proses westernisasi. Dokter Tjipto Mangunkoesoemo lebih berpandangan progresif, bahwa kemajuan dapat dicapai dengan menerima dan menyikapi positif proses westernisasi terutama dalam segi teknologinya.
Sebagai visi alternatif dokter Radjiman Wedyodiningrat mengutarakan bahwa mungkin lebih baik tetap bersifat konservatif dalam menghadapi westernisasi. Bangsa Indonesia telah memiliki kultur atau peradaban sendiri, lebih-lebih dengan perbendaharaan yang cukup kaya raya, khususnya dalam hal ini pembicara merujuk kepada kesenian dan Kesusastraan Jawa.
Dengan pandangan seperti tersebut di atas Radjiman lebih condong mempertahankan kebudayaannya sendiri serta berhati-hati dalam menerima kebudayaan Barat, sedang dokter Tjipto Mangoenkoesoemo lebih cenderung menerima westernisasi terutama yang dimaksud bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Rupanya pada zaman Soekarno kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang.
Pidato-pidato Soekarno semakin lebih tegas menyerang kolonialisme dan imperialismenya negara Barat. Nyatanya nasionalisme Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Lagi pula Soekarno dalam nasionalisme dan ideologinya menyesuaikan diri dengan visi masa depan. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Suatu ide yang telah dikemukakan Ibu Kartini dan Dewi Sartika, di samping itu juga generasi muda dari kalangan aristokrat.
Baca juga : YB Mangunwijaya, ”Gruendlich”
Seperti diketahui umum, perhatian para pemimpin modernisasi pada awal dekade kedua terpusat pada aktivitasnya pada pendirian sistem pendidikan modern dengan bentuk adaptasi kepada kebudayaan Indonesia, baik Jawa, Sunda, dan Melayu. Sistem pendidikan Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Kayu Taman di satu pihak memakai didaktik serta teknik modern sistem Barat, di pihak lain materai mengajar menurut agama atau kebudayaan.
Baik ciptaan KH Mohammad Dahlan maupun dari Ki Hajar Dewantoro dan Mohammad Syafii, bagi masyarakat pribumi sangat relevan dengan kebutuhan modernisasi dewasa itu. Meskipun sistem tersebut menjauhi pendidikan politik, namun secara politis pengaruhnya sangat besar. Lain lagi dengan organisasi Sarekat Islam yang secara umum membangkitkan kesadaran agama dan kebudayaan.
Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 sudah ada tanda-tanda munculnya revivalisme Islam di Hindia Belanda pada umumnya dan Jawa khususnya. Sarekat Islam didirikan oleh Haji Samanhoedi di Solo pada tahun 1911 dan cepat menyebar ke seluruh nusantara dan jumlah anggota meningkat secara cepat. Maka tidak mengherankan apabila pemerintah Hindia Belanda sangat waswas sehingga dipraktikkan politik klasik divide et impera, sehubungan dengan itu maka dilarang untuk membuat cabang-cabang. Meskipun demikian timbul dominasi pimpinan Sarekat Islam pusat di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto.
Di sini kita jumpai seorang tokoh lokal yang rupanya dapat kita anggap selaku model peran bagi Soekarno, terutama pada keterampilan berpidato di muka massa, khususnya retorikanya. Tokoh-tokoh pemimpin seperti dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, HOS Tjokroaminoto, dan EEF Dauwes Dekker (Dokter Setia Boedi) yang menunjukkan sifat menonjol seperti anti-kolonialisme dan radikalisme.
Karakter tokoh-tokoh di atas merupakan model peran yang memperlihatkan sifat radikal dan kemudian diadopsi oleh Soekarno. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh beberapa bacaan tentang marxisme pada massa HBS-nya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Pengalamannya langsung dengan rakyat jelata menimbulkan perhatian khusus kepada marxisme, sedang pengenalan tentang rakyat bawah menimbulkan ide populismenya. Adapun religiusnya mencerminkan pengaruh masa tinggal bersama Tjokroaminoto.
Revivalisme Islam di lingkungan SI sangat meningkatkan kegiatan SI, yang menimbulkan banyak konflik dan kerusuhan di banyak lokalitas di Jawa sepanjang pantai utara. Sebab-sebabnya dapat dilacak kembali pada persaingan dalam perdagangan dengan golongan Tionghoa. Tambahan pula pada aktivitas penegakan moral antara lain pemberantasan pelacuran dan perjudian.
Bicara tentang radikalisme tidak dapat dilupakan peran Indische Party yang dipimpin oleh trio tersebut di atas. Meskipun sangat anti-kolonial, Tjipto Mangoenkoesoemo mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda karena jasanya memberantas wabah pes di daerah Malang. Di tambahkan di sini bahwa Soewardi Soerjaningrat melancarkan kritik tajam terhadap pesta Belanda memperingati 100 tahun pembebasan Belanda di bawah kekuasan Perancis dalam artikelnya yang berjudul Bila Saya Seorang Belanda.
Sejak awal dekade kedua suara anti kolonialisme yang dikumandangkan oleh para pemuka Indische Party selama dekade itu sambung-sinambung oleh media massa seperti Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa, keduanya adalah surat kabar SI. Sementara itu mulai cukup banyak pengaruh dari gerakan M Gandhi dengan Swadesi, Satyagraha, dan Ahimsanya dalam melawan imperialisme Inggris.
Gerakan antikolonialisme Hindia Belanda semakin memuncak pada dekade ketiga, lebih-lebih di kalangan mahasiswa yang belajar di negeri Belanda dan terorganisasikan dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Sejak 1923 di kalangan itu, antara lain karena dipicu oleh gerakan antiimperialisme oleh komunisme internasional, mulai dilakukan studi yang mendalam tentang kolonialisme serta dampaknya pada masyarakat Hindia Belanda.
Analisis tentang masyarakat kolonial itu akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan yang dirumuskan secara singkat dalam manifesto politik dan dimuat dalam majalah PI berjudul Indonesia Merdeka. Di sini perlu dicatat bahwa pengaruh manifesto politik tentu sampai Hindia Belanda meskipun kemudian kurang dapat dipopularisasikan pada masyarakat di kemudian hari.
Meskipun demikian dampaknya pada pergerakan nasional pada umumnya dan Bung Karno pada khususnya amat besar, khususnya pada soal proses perjuangan kemerdekaan, swasembada dan negara kebangsaan yang berdaulat dan berideologi kesatuan (uniti).
Bunyi manifesto politik sebagai berikut:
1. Pemerintah di Indonesia perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia yang dipilih oleh rakyat Indonesia sendiri.
2. Perjuangan untuk mendapat kemerdekaan tidak membutuhkan bantuan dari pihak mana pun.
3. Pelbagai unsur di Indonesia perlu dipersatukan sebab tanpa persatuan itu perjuangan tersebut tidak dapat dicapai.
Gerakan nonkooperasi yang menonjol timbul pada pertengahan dekade ketiga terutama dari inspirasi manifesto politik. Selanjutnya radikalisme itu juga merupakan dampak dari dalil Presiden Wilson pada pasca-Perang Dunia I tentang hak menentukan nasib sendiri.
Baca juga : Kebangkitan Nasional di Era Politik Identitas dan Medsos
Pelaksanaan beberapa pokok perjuangan Bung Karno cukup jauh melampaui jangkauan waktu yang direncanakan (1900-1910). Maka perlu dibenarkan mengingat bahwa dengan perluasan jangkauan modernisasi tercipta ruang waktu dalam komunikasi semakin diperpendek, tercipta apa yang dinamakan semacam semi cyber space sehingga satu setengah dasawarsa mudah dijangkau. Maka Bung Karno dalam akhir dekade kedua mudah berkomunikasi dengan ideologi satu dekade sebelumnya.
Proses komunikasi memudahkan integrasi nasional, membuka batas-batas suku dan kebudayaan, bajunya gerakan nasionalisme dipercepat dan tidak diragukan bahwa Bung Karno dalam hal ini telah memperoleh fasilitas komunikasi modern. Dalam pada itu, kepemimpinannya terhadap massa kritikal dalam ideologi nasionalisme serta perkembangan integrasi bersamaan dengan pesatnya perkembangan komunikasi.
Dalam gagasan Bung Karno, kita semua mengetahui bahwa nasionalisme sangat ditonjolkan dan selalu ditegaskan prinsip kesatuan.
Prinsip itu menjiwai perjuangannya baik pada masa pergerakan maupun setelah menjadi presiden. Usaha Bung Karno turut menciptakan kesatuan sebagai ideologi nasionalisme di satu pihak, dan di pihak lain perjuangan kemerdekaan serta perjuangan pembentukan negara kebangsaan (nation state).
Catatan: Rupanya sejarah perjuangan ini kurang ditanggapi oleh masyarakat Indonesia, sehingga masalah kesatuan kurang dihargai dan dipahami nilainya untuk eksistensi negara Indonesia sendiri. Nation-building Indonesia memerlukan renasionalisasi atau revitalisasi nasionalisme Indonesia.
Sebagai epilog perlu dinyatakan di sini bahwa awal periode kehidupan Soekarno berdasarkan dokumentasi terbatas. Lebih banyak difokuskan pada konteks sosio-kultural kehidupan masyarakat beserta meal-storm ideologi politiknya, yang merupakan akar karakter serta corak perjuangan Soekarno di kemudian hari sewaktu berkiprah dalam arena pergerakan nasional beserta gaya kepemimpinan di dalamnya. Dibesarkan dan dikembangkan kepribadiannya pada masa Kebangkitan Nasional (1900-1910) serta tindak lanjut para perintis selanjutnya (1910-1930) Bangsa Indonesia sedang menciptakan kebudayaan politik nasional untuk menggantikan kultur politik kolonial.
Zeitgeist benar-benar memberikan persiapan kepada Bung Karno untuk memenuhi panggilannya dalam perjuangan nasional dalam pelbagai segi perjuangan nasional, khususnya ialah:
1. Melawan kolonialisme
2. Membela kepentingan rakyat kebanyakan
3. Turut membangun negara nasion terutama berdasarkan ideologi kesatuannya.
Perlu dicatat di sini bahwa Bung Karno pernah menulis pada secarik kertas yang berbunyi: "Saya tidak membenci Belanda tetapi membenci sistem kolonialnya" (arsip Den Haag). Pada masa krisis nasional dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala separatisme adalah dampak timbulnya marginalisasi suku-suku di luar Jawa pada masa Orde Baru dengan sentralisasi yang sangat kuat, maka suku-suku tersebut membutuhkan ruang gerak politik untuk beremansipasi sehingga dapat segera mengejar ketinggalannya. Pelajaran sejarah dapat ditarik dari perkembangan historis dalam uraian tersebut di atas.
Sartono Kartodirdjo, Sejarawan, guru besar emeritus UGM, Yogyakarta.