Ahmad Syafii Ma’arif, ”Pilpres dan Lumpur Lapindo”
Mohon ungkapan ”lebih cepat dan lebih baik” juga berlaku untuk mengatasi bencana Lapindo yang berlarut-larut ini. Pertimbangan pertemanan harus dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar, kepentingan rakyat.
Oleh
AHMAD SYAFII MA'ARIF
·4 menit baca
Arsip artikel opini tentang musibah ”Lumpur Lapindo” yang ditulis oleh Ahmad Syafii Ma’arif di harian Kompas edisi 18 Mei 2009 berikut ini diterbitkan kembali untuk mengingatkan kita pada peristiwa kebocoran sumur pengeboran gas, di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, juga menjadi bahan refleksi bersama pentingnya memperhatikan dampak ekologi dari suatu proyek pembangunan.
Kompas
Warga berdoa bersama saat memperingati sembilan tahun semburan lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (29/5/2015).
Dalam pengantar sebuah buku tentang lumpur Lapindo yang bisa ditutup oleh para pakar Indonesia sendiri pada awal tahun 2008, saya menulis, ”Saya menilai, pemerintah tidak serius dalam menangani bencana Lapindo ini.”
Artinya, sebuah negara yang ditegakkan di atas nilai-nilai Pancasila yang luhur dan agung di tangan penguasa yang tidak peka dan tidak tanggap akibatnya adalah serba ketidakpastian yang membawa penderitaan bagi rakyat yang diimpit bencana.
Jika memang lumpur Lapindo bisa disumbat berdasarkan perhitungan teknologi mutakhir, mengapa pemerintah tidak memaksa pihak perusahaan untuk melaksanakannya? Bukankah pemerintah adalah sebuah kekuatan pemaksa secara konstitusional terhadap mereka yang tidak patuh?
Jika paksaan ini tidak dilaksanakan, padahal kekuasaan ada di tangan, tidak ada kesimpulan lain, kecuali bahwa pemerintah memang tidak punya wibawa, apa pun pertimbangan yang melatarbelakanginya.
Sudah berjalan hampir tiga tahun bencana Lapindo dibiarkan terkatung-katung, tidak ada penyelesaian tuntas, padahal para ahli Indonesia sudah menawarkan diri untuk menutup bencana itu. Sampai detik ini para pakar yang ada di belakang Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) masih menunggu political will pemerintah agar menyerahkan kepada mereka untuk membunuh bencana itu. Jika pemerintah tidak punya dana, GMLL barangkali bisa menawarkan solusi.
Saya cemas, perilaku penguasa yang tidak menghiraukan kepentingan rakyatnya yang menderita hanya akan memperpanjang beban derita yang tak kunjung usai. Janji-janji pemilu yang gemerlapan telah menjadi hampa karena memang semua itu tidak lebih dari kepalsuan yang ditutupi.
Yang saya sangat heran mengapa kekuatan-kekuatan sipil masyarakat Jatim seperti terkunci mulutnya untuk memekikkan suara keadilan dan kebenaran bahwa bencana Lapindo ini adalah bencana akibat perbuatan manusia, bukan karena kemarahan alam.
Muncul pertanyaan spekulatif, apa yang berlaku sebenarnya antara Lapindo dan kebungkaman kekuatan masyarakat sehingga menjadi sangat tidak hirau? Di mana NU, di mana Muhammadiyah, di mana LSM, dan di mana yang lain dalam menyikapi bencana Lapindo ini? Mengapa membisu? Apakah memang hati nurani dan akal sehat kita sudah tidak lagi berfungsi? Atau mereka sudah putus asa dengan sikap pemerintah yang berketiak ular?
Saya ulangi, mengapa pemerintah masih saja percaya bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam biasa, bukan bencana akibat kecerobohan perusahaan?
Ujungnya nanti akan menjurus pada pertanyaan ini, apa gunanya kita merdeka jika pemerintah kita selama sekian dasawarsa tidak sungguh-sungguh membela dan melindungi rakyatnya yang dizalimi? Siapa sebenarnya yang berkuasa di republik ini?
Saya ulangi, mengapa pemerintah masih saja percaya bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam biasa, bukan bencana akibat kecerobohan perusahaan? Kita sungguh berharap agar pemerintah menghargai tawaran para pakar lumpur dari kalangan bangsa sendiri yang kebetulan sudah didukung pula oleh mitra mereka dari negara lain. Apa lagi yang ditunggu?
Mohon kalkulasi politik pragmatis tidak dipakai untuk melestarikan penderitaan rakyat yang terkena! Jika masih saja ada pihak yang belum siuman, teman-teman dari GMLL akan dengan senang hati datang untuk menjelaskan lagi kepada pemerintah dari A sampai Z tentang bencana Lapindo ini dan mereka berjanji untuk menutupnya dengan segala risiko sekiranya mereka gagal memenuhi komitmen mereka.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Foto-foto tentang bencana lumpur Lapindo dari masa ke masa dipamerkan dalam diskusi memperingati 11 tahun Lumpur Lapindo di Taman Dwarakarta Porong, Sidoarjo, Senin (29/5/2017). Semburan lumpur pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006.
Siapa yang meragukan integritas seorang Dr Rudi Rubiandini dari ITB yang sejak dini mengatakan bahwa semburan lumpur Lapindo bukan bencana alam dan para pakar Indonesia bisa menutupnya. Di belakang Rudi ada sederetan ahli yang setiap saat siap terjun untuk berjibaku ke lapangan, sekali ada sinyal political will dari pemerintah.
Minggu-minggu ke depan momennya sangat tepat bagi para pesaing dalam pilpres pada 8 Juli 2009 untuk berjanji kepada rakyat Jawa Timur, khususnya bahwa si pemenang akan menyerahkan urusan bencana Lapindo ini kepada para pakar Indonesia untuk segera menutupnya.
Karena pasangan JK-Win sudah dideklarasikan kepada publik pada 10 Mei, kita meminta pernyataan tegas keduanya lebih dulu tentang lumpur Lapindo ini. Mohon ungkapan ”lebih cepat dan lebih baik” juga berlaku untuk mengatasi bencana Lapindo yang berlarut-larut ini. Pertimbangan pertemanan harus dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar, kepentingan rakyat di akar rumput yang sudah terlalu lama diimpit penderitaan.
Ahmad Syafii Ma’arif , Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Kompas
Arsip artikel opini Ahmad Syafii Ma’arif di harian Kompas edisi 18 Mei 2009.