Seorang pemuda berusia 29 tahun dituntut hukuman penjara oleh jaksa karena menghina presiden. Dwi Pramono, pemuda yang menjadi tersangka, mengaku bersalah mencemari nama presiden di tempat umum.
Oleh
Nasrullah Nara
·2 menit baca
Presiden adalah simbol negara sehingga menghina presiden bisa dimaknai menghina negara. Begitulah narasi yang menyertai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP, bahasan DPR periode 2014-2019. RKUHP tersebut sedianya disahkan pada 2019, di ujung masa bakti DPR periode 2014-2019. Namun, rencana itu ditunda karena penolakan dari masyarakat.
”Kini, pembahasan RKUHP kembali menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2020 (Kompas, 2/11/2019). Jauh sebelum soal ini menuai polemik, upaya politis untuk ”membentengi” presiden dari tindakan penghinaan sebenarnya telah dilakukan semenjak beberapa dekade silam. Salah satunya tersaji dalam pemberitaan Kompas edisi 3 April 1974. Diwartakan, Dwi Pramono (29) dituntut hukuman empat tahun penjara karena dinyatakan menghina Presiden Soeharto.
Dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyebutkan Dwi menuliskan ujaran kebencian kepada Presiden pada tembok di tepi sungai daerah Manggarai, 15 April 1971. Berikutnya, empat mahasiswa Universitas Jayabaya, yakni Berny Mustamu Tamara (25), Susatyo Hendro Cahyono (24), Irzal Qarana (24), dan Muslim Tri Utama (23), masing-masing dihukum satu tahun penjara atas tuduhan menghina presiden dan keluarganya (Kompas, 4/6/1977).
Pasal yang digunakan jaksa dalam persidangan itu bersumber dari KUHP, kitab hukum peninggalan kolonial Belanda.
Pasal yang digunakan jaksa dalam persidangan itu bersumber dari KUHP, kitab hukum peninggalan kolonial Belanda. Pasal tersebut tergolong bagian dari pasal-pasal karet alias multitafsir. Seiring tuntutan masyarakat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan sejumlah pasal dari KUHP tersebut.
Misalnya, Pasal 134 KUHP yang berbunyi, ”Penghinaan dengan sengaja terhadap presiden dan wakil presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.” MK menilai ketentuan itu tak selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum, kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum (Kompas, 14/9/2019).