Pemimpin Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi yang pertama di Algiers, ibu kota Aljazair.
Oleh
·2 menit baca
Ketika Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dibentuk, salah satu tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan para anggota lewat kestabilan harga. Harapan ini mengkristal saat Konferensi Tingkat Tinggi Pertama OPEC yang berlangsung di Algiers, Aljazair, 5 Maret 1975.
Sebenarnya, sejak awal sudah agak aneh, OPEC yang berdiri dan bermarkas di Baghdad, Irak, lewat konferensi pada 10-14 September 1960, baru bisa melakukan KTT 15 tahun kemudian. Uniknya lagi, OPEC dengan sekretariat pertama di Geneva kemudian pada 1965 ke Vienna. Lebih unik lagi, negara-negara yang menjadi anggotanya keluar masuk dan terakhir Qatar pada 2019.
Indonesia sudah keluar pada Januari 2009, masuk lagi pada Januari 2016 dan keluar lagi pada 30 November 2016.
Indonesia sudah keluar pada Januari 2009, masuk lagi pada Januari 2016 dan keluar lagi pada 30 November 2016. Ekuador dan Gabon pernah keluar, tetapi masuk lagi. OPEC kini beranggotakan 14 negara, yakni Angola, Aljazair, Kongo, Ekuador, Guinea Ekuatorial, Gabon, Iran, Irak, Kuwait, Libya, Nigeria, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Venezuela.
Kekayaan jadi kutukan
Empat puluh tahun setelah KTT, kekayaan minyak di sejumlah negara tidak memakmurkan rakyatnya secara umum meski di negara itu punya banyak kaum superkaya. Kecuali Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, hampir semua negara anggota terjebak perang atau kemelut. Irak bahkan menjadi ajang serangan AS dua kali yang memunculkan aksi protes dengan salah satu spanduk, ”No blood for oil”, tidak boleh ada perang dengan tujuan perebutan minyak.
Banyak negara OPEC yang tidak menemukan harapan, bahkan kekayaan berubah jadi kutukan, seperti ditulis Peter Kaznacheev dengan judul ”Curse or Blessing? How Institutions Determine Success in Resource‐Rich Economies” di laman Cato Institute, sebuah think-tank AS pada 11 Januari 2017. (MON)