Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menilai persoalan kependudukan jadi sumber masalah ”keberengsekan” di Jakarta. Salah satu penyebab sulitnya hidup di Jakarta adalah pendatang yang jumlahnya mencapai 70 persen penduduk.
Oleh
·2 menit baca
DKI Jakarta memang ibarat petromaks yang bersinar terang, membuat laron-laron terbang mendekat. Hingga saat ini, perputaran uang masih 70 persen di Jakarta, dan membuat rakyat berbondong-bondong mengais rezeki di Ibu Kota.
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 1980 mencapai 6,5 juta jiwa. Dengan rata-rata pertumbuhan 1 persen per tahun, selama 39 tahun kemudian (2019) jumlah penduduk mencapai 10,5 juta jiwa. Jelas, wilayah dan Pemerintah DKI Jakarta menanggung beban berat.
Para pendatang yang kebanyakan bukan sumber daya manusia berkeahlian memasuki sektor informal yang berupah rendah: pekerja bangunan, pedagang kaki lima, buruh cuci, dan sebagainya. Tingkat upah yang terbatas membuat mereka tidak bisa hidup layak. Mereka tinggal berdesak-desakan dalam gubuk tak pantas, membebani lingkungan dengan masalah sampah, kebersihan, kekurangan air bersih, dan seterusnya, membuat Pemerintah DKI Jakarta pusing tujuh keliling.
Tak heran bila Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, menuding para pendatang sebagai sumber keberengsekan. Namun, Lea Jellinek dalam bukunya, The Wheel of Fortune (University of Hawaii Press, 1991), yang mengungkap hasil penelitiannya di Kebon Kacang—salah satu kampung padat di Jakarta—menunjukkan sisi lain. Justru sebagai pekerja informal, mereka mendukung roda ekonomi terus berputar di Jakarta. Warung-warung kaki lima menyediakan makanan untuk para buruh bangunan.
Dalam konteks lebih luas, warung kaki lima, buruh cuci, dan pembantu rumah tangga membantu kelas menengah mengoptimalkan produktivitasnya sehingga tingkat ekonomi justru makin membubung di DKI. Dalam perspektif hak asasi manusia, setiap warga negara berhak meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya, di mana pun di wilayah Indonesia.
Adalah tugas pemerintah untuk menekan urbanisasi dengan memperatakan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur, penyaluran dana desa, pemerataan investasi, ada di antaranya. Namun, semua ada batasnya. Pembangunan berkelanjutan harus menjadi kendalinya. (NES)