Seruan agar Palestina dan Israel hidup berdampingan dengan damai, tanpa pertumpahan darah sudah lama disampaikan oleh Yasser Arafat. Sayangnya dua hal itu relatif tidak terpenuhi. Namun seruan itu tetap relevan.
Oleh
SIMON SARAGIH
·2 menit baca
Hak hidup yang sama, demikian Vatikan sering berseru tentang Israel dan Palestina. Solusi dua negara, Israel dan Palestina, adalah pandangan lain. Tujuannya agar Palestina dan Israel hidup berdampingan dengan damai, tanpa pertumpahan darah.
Dua hal itu relatif tidak terpenuhi. Hingga sekarang serangan-serangan, entah siapa yang memulai, terus saja terjadi di antara Palestina dan Israel. Oleh karena itu, sampai sekarang seruan almarhum pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, tetap relevan, seruan tentang hidup berdampingan.
Bagaimana mewujudkannya? Ini isu yang amat pelik. Peta pendudukan Israel pada 1947, setahun sebelum negara Israel berdiri, mirip titik-titik di atas kertas. Sekarang pada 2019, peta Israel jelas melebar, sementara wilayah Palestina mengecil dan terkotak-kotak.
Birnbaum versus Herzl
Situasi ini mengingatkan perbedaan pemikiran para tokoh Yahudi khususnya antara Nathan Birnbaum (1864-1937) dan Theodor Herzl (1860-1904). Birnbaum Yahudi Austria, Herzl Yahudi kelahiran Budapest (Hongaria), dua tokoh besar dalam Kongres Yahudi Dunia.
Birnbaum menekankan hidup Yahudi diaspora dengan asimilasi meski apa pun yang menimpa. Ini berhadapan dengan Herzl, awalnya pendukung asimilasi, tetapi traumatis dengan kasus Dreyfus (Alfred Dreyfus), tentara Perancis berdarah Yahudi yang menjadi sasaran diskriminasi lewat kisah tahunan, 1894-1906. Herzl dengan pengalaman hidup didukung jaringannya mematrikan zionisme, cikal bakal berdirinya Israel.
Hingga sekarang pendukung visi Birnbaum tetap ada. Kelompok ini relatif tidak sekuat pendukung Herzl, yang antara lain terlihat pada sikap keras Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Menguatkan visi hidup asimilatif, disuarakan implisit oleh mantan PM Ehud Olmert, akar terwujudnya harapan Arafat. Semoga.