Surat izin terbit dan surat izin cetak adalah ”nyawa” bagi media pada masa Orde Baru. Tanpa kedua izin tersebut, tidak mungkin media bisa terbit dan beredar di masyarakat.
Oleh
TRY HARIJONO
·2 menit baca
Surat izin terbit dan surat izin cetak adalah ”nyawa” bagi media pada masa Orde Baru. Tanpa kedua izin tersebut, tidak mungkin media bisa terbit dan beredar di masyarakat.
Parahnya, surat izin yang sudah keluar bisa dicabut sewaktu-waktu. Surat izin terbit (SIT) dikeluarkan penerangan, sedangkan surat izin cetak (SIC) oleh militer. Alasan pencabutan izin biasanya karena menyebarkan paham komunisme, pornografi, tidak sesuai dengan nilai- nilai Pancasila, atau tidak menunjukkan sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Pada Senin, 29 November 1965, Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi memberikan kuasa kepada Kolonel Harsono, Kepala Direktorat Pers dan Hubungan Masyarakat Departemen Penerangan, untuk mengatur tata cara pemberian izin terbit surat kabar atau majalah. Kebijakan ini dilakukan setelah beberapa pekan sebelumnya Harian Fadjar dan Dwipa yang terbit di Bali dilarang terbit (Kompas, 9 November 1965).
Alasan pencabutan izin karena kesembilan media itu isinya merugikan perjuangan Orde Baru serta merusak moral dan kepribadian bangsa.
Berikutnya, awal Mei 1966, izin terbit Sinar Revolusi dicabut. Tahun berikutnya, Oktober 1967, Departemen Penerangan mencabut SIT dan surat izin pembagian kertas (SIPK) bagi sembilan mingguan yang terbit di Jakarta dan Bandung. Alasan pencabutan izin karena kesembilan media itu isinya merugikan perjuangan Orde Baru serta merusak moral dan kepribadian bangsa.
Pencabutan izin terus berlangsung sehingga Dewan Pers pada Februari 1968 menyerukan agar pencabutan SIT ditinjau kembali. Seruan Dewan Pers baru ditanggapi pada Juni 1968 saat Menteri Penerangan dijabat Laksamana Muda Udara Budiardjo (Kompas, 11 Juni 1968). Namun, saat pengkajian dilakukan, Menpen Budiardjo pada Oktober 1968 juga melarang terbit 10 surat kabar mingguan dan majalah yang terbit di Jakarta.
Pencabutan izin terus berlangsung bahkan hingga 1980-an ketika pemerintah mencabut surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bagi 130 media. Sejak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers diberlakukan, SIUPP tidak diperlukan lagi.