Pengunjung memilih motif kain tenun dari berbagai daerah di Flores yang ditawarkan pedagang di pasar Alok, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (10/8/2019). Kain tenun mulai dari ikat, selendang, sarung hingga bahan untuk dibuat baju tersebut ditawarkan dengan harga bervariasi mulai dari puluhan ribu hingga jutaan per lembarnya.
Kain tenun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Setiap suku dari ratusan suku di wilayah itu memiliki motif dan corak tenun yang berbeda dan masing-masing memiliki makna yang berbeda pula. Kekayaan inilah yang membuat NTT yang terdiri dari Pulau Flores, Sumba, Timor, dan ratusan pulau kecil lainnya diidentikkan dengan gudang tenun Nusantara.
Seiring kehidupan yang kian terbuka, tenun dari NTT pun semakin menggoda mata dan hati masyarakat dunia. Kain tenun tak lagi sebatas koleksi keluarga, tetapi bisa dipasarkan. Melalui kain tenun diyakini bisa menambah penghasilan keluarga.
Pada September 1975, Departemen Perindustrian melakukan pelatihan pencelupan tenun ikat di Kupang, ibu kota Provinsi NTT, untuk menambah pengetahuan dan keterampilan para perajin tenun ikat.
Kini, kain tenun berkembang pesat. Penggunaannya pun kian variatif. Bahkan, di NTT, sejak tahun 1990-an, pemda setempat mewajibkan pegawai negeri mengenakan baju bermotif kain tenun setempat. Sejak itu, euforia penggunaan kain tenun NTT meningkat tajam.
Hal ini didukung kerja kreatif dari sejumlah desainer ternama yang mendesain pakaian dan aneka produk dengan motif dasar tenun ikat NTT. Bahkan, pada September 2017 pernah dilakukan pergelaran tunggal Culture New York Fashion Week yang menampilkan keindahan tekstur kain tenun NTT yang ditangani desainer Kanaya Tabitha. Kemudian pada 27 Februari-6 Maret 2018, dimotori Julie Sutrisno Laiskodat, istri Gubernur NTT Victor Laiskodat, kain tenun NTT juga tampil lagi dalam Paris Fashion Week.
Tantangan terberat yang dihadapi kaum perempuan di NTT sekarang adalah menghadapi plagiat atas motif tenun yang berkembang pesat di sejumlah kota besar. Sindikat ini mengandalkan kerja mesin yang mampu memproduksi banyak dalam waktu singkat. Jika ini dibiarkan berkembang, tenun ikat pun tergilas dan kaum perempuan di perdesaan NTT bisa merana. (JAN)