Sebenarnya penggantian nama yang berkepribadian Indonesia bagi warga keturunan Tionghoa itu hanya anjuran, bukan keharusan undang-undang. Anjuran itu dituangkan dalam Keputusan Presidium Kabinet 127/Kep/12/1966.
Tujuannya mempercepat proses integrasi dan asimilasi warga keturunan China. Anjuran itu muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia setelah peristiwa G30S.
Di kalangan keturunan China, anjuran ini ditanggapi beragam. Ada tokoh macam Kristoforus Sindhunata yang ikut menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa. Namun, tokoh lain, Yap Thiam Hien, secara terbuka mengecam anjuran itu dan menyatakan nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang. Lagi pula, definisi atas apa yang disebut nama Indonesia juga sebenarnya tidak cukup jelas benar.
Anjuran itu sempat diikuti petunjuk detail tentang bagaimana mengurus pergantian nama itu. Pengajuan nama diajukan kepada wali kota atau bupati. Namun, anjuran itu tak berlaku lagi karena ada batas waktunya, yaitu sampai 31 Maret 1968.
Mereka yang ingin mengganti nama setelahnya tetap bisa melakukan lewat prosedur mengajukan ke pengadilan negeri setempat, dengan catatan yang diganti bukan nama keluarga (she). Atau kalau mau mengganti nama keluarga, harus mengajukan ke Menteri Kehakiman. Jika permohonan dipenuhi, tidak berarti prosedur selesai. Oleh karena yang bersangkutan harus melapor ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatat sebagai catatan pinggir pada Petikan Akta Lahir.
Banyak keturunan China yang hingga kini menyesuaikan atau mengindonesiakan nama mereka. Auw Jong, misalnya, menjadi Ojong. Tjoa menjadi Cahyo atau Cahyadi. Han menjadi Handoyo, Handoko, Hantoro. Liem menjadi Salim, Halim, atau Liman. Oei menjadi Wibowo, Wijaya, Winata, Wirya, atau Winarto.
Dalam perkembangan, banyak juga yang memilih nama-nama barat dan Kristiani, seperti David, Stephanie, Jason, Albert, Robert, Alfons, Rico, dikombinasi dengan nama keluarga. (NUG)