Berita Harian Kompas, Senin 23 November 1965 berjudul "MH Lukman Korupsi 250 Juta Uang Rakyat"
Korupsi bukan baru kali ini saja terjadi. Pada masa Orde Lama, korupsi juga sudah terjadi meski tak semasif sekarang. Menteri Kehakiman A Astrawinata, misalnya, seperti diberitakan Kompas, 9 Agustus 1965, menyampaikan, hukuman mati terhadap ”kaum manipulator dan pencoleng-pencoleng kekayaan negara” sudah dilaksanakan. Hukuman mati sudah dilakukan di Jakarta dan Surabaya, sedangkan vonis hukuman seumur hidup dijatuhkan di Medan.
Vonis yang lebih ringan dijatuhkan di Pengadilan Negeri Padang pada Agustus 1965, yakni 3 tahun 11 bulan, terhadap para terdakwa korupsi pembangunan Jembatan Lubuk Buaya (Kompas, 31 Agustus 1965).
Pada masa Orde Baru, kasus-kasus korupsi kian ganas dan menjadi bahaya laten. Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi dianggap angin lalu. Begitu pun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menerapkan penjara maksimum seumur hidup bagi pelaku korupsi, dianggap tak bertaji.
Kasus korupsi terjadi di bermacam sektor. Di Surabaya, misalnya, pelaku korupsi Rp 276,2 juta di BNI 46 Keputren divonis 7 tahun penjara pada April 1977.
Kasus lain yang cukup fenomenal pada masa Orde Baru adalah kasus korupsi oleh karyawan dan Kepala Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur Budiadji sebesar Rp 7,6 miliar. Budiadji pada 4 Juni 1977 divonis melakukan subversi dan dihukum seumur hidup.
Pada masa Reformasi, Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang menjadi cikal bakal lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Meskipun berbagai undang-undang dan lembaga sudah dibentuk, korupsi tetap marak di negeri ini. Betul kata mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, seperti dimuat Kompas 23 September 1970, ”Yang penting bukan aturan atau lembaganya, tetapi keinginan kuat dan ketegasan semua pihak untuk memberantas korupsi.” (THY)