Museum dan bangunan bersejarah banyak bertebaran di Jakarta. Sebut saja, misalnya, Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua, Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, dan Gedung STOVIA atau Museum Kebangkitan Nasional di kawasan Senen. Meski demikian, minat masyarakat untuk mengunjungi museum dan gedung bersejarah tersebut tergolong minim.
Sangat jarang orangtua yang mengajak anaknya mengunjungi museum. Begitu pula guru-guru dan sekolah, tidak banyak yang mempunyai program kunjungan rutin ke museum. Kondisi inilah yang mendorong Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, pada Mei 1974, menginstruksikan agar kunjungan ke museum dan gedung bersejarah masuk dalam kurikulum lokal SD dan SMP. Kebijakan ini berlaku mulai tahun ajaran 1975.
Kunjungan ke museum ini bertujuan agar para pelajar mengetahui perjalanan sejarah dan perjuangan bangsanya. Harapan berikutnya, generasi muda semakin mencintai bangsa dan tanah airnya.
Tidak sekadar mewajibkan kunjungan ke museum, Bang Ali juga merenovasi sejumlah museum agar pengunjung merasa nyaman. Gedung STOVIA, misalnya, direnovasi dengan biaya Rp 1,3 miliar atau setara dengan 10.000 ton beras saat itu. Harga beras Cianjur paling bagus saat itu Rp 130 per liter. Begitu pun Museum ABRI Satria Mandala, fasilitas penunjangnya dibangun Pemprov DKI Jakarta berupa taman dan jalan masuk museum.
Pemprov DKI Jakarta juga menyediakan angkutan bagi sekolah yang murid-muridnya akan mengunjungi museum. Pendek kata, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak mengajak muridnya datang ke museum.
Setelah keluar instruksi gubernur tersebut, bermunculan museum-museum di Jakarta, yaitu Museum Wayang (13 Agustus 1975), Museum Tekstil (26 Juni 1976), Museum Keramik (20 Agustus 1976), dan berbagai museum lainnya dengan keunikan masing-masing. (THY)