Jumat, 21 Mei, 43 tahun lalu, rangkaian prosesi berlangsung di Jakarta. Sebuah piala setinggi sekitar 70 sentimeter dikeluarkan dari ruang penyimpanannya di kompleks Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Lewat upacara khidmat, piala itu diamanatkan kepada sembilan pemuda.
Mereka adalah duta bulu tangkis Indonesia yang amat disegani dunia: Rudy Hartono, Iie Sumirat, Tjuntjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata, Ade Chandra, bintang muda Liem Swie King, Amril Nurman, dan Dhany.
Usai upacara, mereka diterima Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX di ruang kerjanya. Ini acara jelang kesembilan pebulu tangkis membawa trofi itu ke putaran final Piala Thomas di Bangkok, Thailand. Indonesia juara bertahan di kejuaraan beregu putra dunia itu. Pesan Wapres dan Gubernur BI senada. Trofi itu diharapkan kembali pulang, sesuai cita-cita bangsa.
Saat itu, Indonesia memang sudah lima kali menjuarai Piala Thomas, kejuaraan tiga tahunan (saat itu) yang sudah digelar sejak 1949. Kemenangan adalah cita-cita, harapan yang diperjuangkan oleh para pemain. Namun, ada yang lebih utama dari itu sebagaimana dicatat wartawan Kompas, Th A Budi Susilo, ketika itu: ”Hanya ada satu cara untuk menang dan menaklukkan hati publik Bangkok, yaitu bermain secemerlang mungkin, disertai sikap yang paling simpatik, dan menunjukkan sportivitas setinggi-tingginya.”
Singkat cerita, Rudy dan kawan-kawan kembali membawa pulang Piala Thomas. Hingga kini, Indonesia telah 13 kali juara, terakhir kali pada 2002, 17 tahun lampau. Namun, ada hal yang lebih penting yang telah pebulu tangkis wariskan kepada kita semua, yaitu kerja keras untuk berprestasi, bersikap simpatik, dan menjunjung sportivitas. Inilah nilai-nilai yang diberikan kepada bangsa Indonesia, untuk keseharian kita. (YNS)