Sabtu, 12 Maret 1966, Partai Komunis Indonesia atau PKI yang didirikan pada Mei 1914 oleh Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet (1883-1942) atau lebih dikenal sebagai Henk Sneevliet dibubarkan oleh pemerintah dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Pembubaran dan pelarangan PKI hanya beberapa bulan setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI.
Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966, yang ditandatangani Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan Pemimpin Besar Revolusi, memutuskan untuk membubarkan PKI dan seluruh bagian organisasinya dari tingkat pusat hingga daerah. PKI pun dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.
Keputusan pembubaran PKI dengan segera mendapat dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya Front Pancasila. Partai politik (parpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tergabung dalam Front Pancasila menyatakan rasa syukur atas terkabulnya permohonan pembubaran PKI (Kompas, 14/3/1966).
Di sejumlah tempat, pembubaran PKI disambut dengan pengibaran bendera Merah Putih. Di Cirebon, misalnya, bendera nasional dikibarkan selama tiga hari. Di masjid-masjid dan gereja-gereja diadakan ibadah khusus untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Di Jakarta, sejumlah mahasiswa meluapkan rasa syukur dengan mencukur gundul kepalanya. Mereka menyebut itu sebagai kaul sejak meletusnya peristiwa berdarah 30 September 1965.
Tanggal 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan surat penetapan tentang pembubaran PKI dan pernyataan sebagai organisasi terlarang. Setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya juga dilarang.
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 itu sampai sekarang masih dijadikan dasar hukum bagi pemerintah dalam menangkapi para pengguna atribut palu arit dan menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri. (LAM)