Dalam sejarah penyelenggaraan Olimpiade modern yang diadakan sejak 1896, tuan rumah kerap menghadapi berbagai tantangan, di antaranya aksi pemboikotan dari negara-negara peserta terkait masalah politik.
Termasuk pada Olimpiade Meksiko 1968 yang awalnya mendapat penentangan dari 16 negara Afrika yang menentang keikutsertaan Afrika Selatan karena masih menganut sistem politik apartheid.
Seperti dalam berita harian Kompas, Selasa, 5 Maret 1968, yang menyebutkan, bahkan negara Rusia bersama negara-negara sekutunya akan mempertimbangkan untuk ikut dalam aksi boikot tersebut.
Namun, Komite Olimpiade Internasional (IOC) tidak terlalu khawatir karena ancaman boikot pada Olimpiade Meksiko 1968 hanya meliputi 15 persen dari anggota IOC dan kurang dari 5 persen atlet peserta.
Sebenarnya aksi boikot sangat bertentangan dengan semangat sejarawan Perancis, Baron de Coubertin, yang menggagas penyelenggaraan Olimpiade modern yang dimulai tahun 1896 di Athena, Yunani.
Ajang olahraga yang memiliki logo lima cincin yang saling berkait ini mempunyai tujuan sebagai pemersatu seperti logo cincin Olimpiade yang bermakna kesatuan dari lima benua.
Aksi boikot memang tidak terlalu memengaruhi penyelenggaraan, tetapi aksi-aksi terkait masalah politik pada ajang tersebut selalu menarik perhatian dunia internasional. Oleh karena itu, beberapa atlet secara individu juga telah memanfaatkan Olimpiade untuk mempromosikan agenda politik mereka.
Dalam Olimpiade Mexico City 1968, dua atlet cabang atletik Amerika Serikat, Tommie Smith dan John Carlos, mengangkat tangan terkepal yang menjadi simbol perlawanan kelompok orang kulit hitam (black power salute) saat pengalungan medali pemenang lari 200 meter. Kedua atlet ini kemudian dicoret sebagai anggota kontingen Amerika Serikat dan langsung dipanggil pulang.
Dalam event yang diikuti 5.530 atlet dari 112 negara itu, prestasi tidak lagi didominasi atlet kulit putih, tetapi prestasi atlet kulit hitam juga mengagumkan. (BOY)