Jumlah penduduk Jakarta yang 10 juta lebih (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017) membuatnya menjadi kota metropolitan yang ”sesak”. Tahun 1971, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta dihuni oleh 4,5 juta orang. Kondisi ini sudah bikin pusing Bang Ali, Gubernur DKI Jakarta saat itu.
Pemerintah DKI telah berusaha memperbaiki dan menambah fasilitas perkotaan agar seimbang dengan jumlah penduduknya. ”Tapi, kami merasa kewalahan,” kata Bang Ali. Sebab, semua tambahan fasilitas itu seolah tenggelam dalam pertumbuhan penduduk yang cepat.
Penambahan ini akibat kelahiran dan urbanisasi yang mendekati 4,5 persen setahun (Kompas, 8/9/1970). Karena itu, Gubernur Ali Sadikin melaporkan kepada Presiden Soeharto bahwa mulai Agustus 1971 Jakarta Raya dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi pendatang baru dari lain daerah. Pemerintah DKI beranggapan, urbanisasi sudah mencapai tingkat yang bisa membahayakan keselamatan tata kehidupan masyarakat di Jakarta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Dr Suwondo mengatakan perlunya proyek percontohan Keluarga Berencana (KB), khususnya di Jakarta. Salah satu masalah pembangunan adalah kemiskinan, kelaparan, pendidikan, dan lapangan kerja.
Karena itu, dengan dikendalikannya angka kelahiran, diharapkan masa depan bayi yang dilahirkan bisa lebih baik karena tersedianya sarana dan prasarana yang seimbang.
Mengendalikan kelahiran melalui KB masih lebih mudah ketimbang menangani urbanisasi. Karena itu, sejak Desember 1966 masalah ini sudah jadi bahasan Bang Ali dan Oktober 1968 lewat Instruksi Presiden No 26/1968 dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional. Promosi pun gencar dilakukan, seperti pembukaan stan KB di arena Djakarta Fair pertama, Juli 1969.
Jakarta pun pada pertengahan tahun 1972 ditetapkan sebagai proyek perintis KB Nasional untuk memopulerkan dipakainya kondom. Meski berbagai upaya pengendalian penduduk dilakukan, Jakarta tetap menarik untuk tujuan urbanisasi. Seperti lampu dan laron. (JPE)