Situasi politik sekarang, kok, mirip, ya, dengan situasi tahun 1966, 52 tahun silam. Kemiripan itu bisa dibaca dari pernyataan Presiden Soekarno ketika menghadiri peringatan Hari Lahir Ke-40 Nahdlatul Ulama di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu pagi, 30 Januari 1966. Setidaknya ada dua hal yang mirip, yaitu ancaman terhadap dasar negara Pancasila dan merebaknya berita bohong (hoaks).
Pertama, soal Pancasila. Akhir-akhir ini mencuat populisme hingga radikalisme. Bahkan ada ormas yang dibubarkan karena dinilai memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan NKRI.
Politik identitas juga menguat. Maka, di depan sekitar 100.000 nahdliyin saat itu, Bung Karno mengatakan, ”Kalau unsur Pancasila pada alim ulama teguh dalam batin, negara kita akan menjadi negara yang paling baik di seluruh dunia.”
Pernyataan Bung Karno itu rupanya tetap aktual hingga saat ini. Misalnya, dalam Pilpres 2019, banyak ulama pun terbelah. Kita merindukan ulama berdiri di atas semua (golongan) umat yang nasihat-nasihatnya mencerahkan pikiran dan mengademkan emosi publik.
Kedua, soal hoaks. Sekarang ini hoaks sudah pada titik terpuncak tatkala orang begitu cepat percaya tanpa reserve pada kabar yang tak tentu juntrungannya. Mungkin jari-jemari lebih cepat bergerak ketimbang akal sehat sehingga belum terklarifikasi langsung diviralkan.
Kala itu, Bung Karno menyampaikan hoaks tentang dirinya yang diisukan sakit dan kabur. Saat berpidato di Hari Lahir Ke-40 NU, Bung Karno memberi klarifikasi, yang naik podium setelah ketua panitia Jamaluddin Malik, Ketua Dewan Syuriah KH Wahab Hasbullah, dan Ketua Dewan Tanfidziyah KH Idham Chalid.
”Kira-kira satu setengah bulan yang lalu tersiar kabar, katanya aku akan lari ke luar Indonesia dan akan sembunyi di Tokyo.”
Ada juga hoaks tentang kematian Bung Karno akibat diracun. Sampai-sampai Bung Karno menghadiri upacara di AMN Magelang untuk membuktikan bahwa dirinya masih segar bugar. Kata orang Perancis, l’histoire se repete, sejarah itu selalu berulang. (SSD)