Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun dan stagnan pascakrisis ekonomi global tahun 2008. Kurun 2010-2013, pertumbuhan ekonomi negeri ini masih di atas 5,5 persen, tetapi pada 2014-2016 turun menjadi 5 persen dan pada 2019 diprediksi 5,2 persen.
Selama ini, mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Namun, dengan konsumsi rumah tangga yang cenderung stagnan, bahkan menurun, pertumbuhan tak bisa lagi bertumpu pada faktor ini. Mendorong investasi, baik domestik maupun asing, menjadi pilihan yang patut diperjuangkan.
Sayangnya, fakta yang ada, kurun 2014-2016, pertumbuhan investasi justru cenderung turun, yaitu hanya 4-5 persen. Padahal, 2010-2012, pertumbuhannya 8-9 persen. Persaingan mendatangkan investasi memang sangat ketat.
Ambil contoh saat kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia tahun 2017, investasi Arab Saudi di Indonesia hanya 6 miliar dollar AS. Sementara seiring kunjungan itu, investasi Arab Saudi di China 65 miliar dollar AS atau 10 kali lipat daripada di Indonesia.
Persoalan utama yang membuat investor berpikir ulang berinvestasi di Indonesia antara lain perizinan. Tahun 2015, misalnya, untuk mengurus perizinan di sektor infrastruktur kelistrikan, butuh waktu 1.117 hari atau lebih dari tiga tahun. Perkebunan dan pertanian butuh 886 hari atau lebih dari dua tahun. Infrastruktur perhubungan perlu 743 hari.
Karut-marut perizinan di negeri ini seolah sudah menjadi penyakit kronis. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara era Orde Baru, Sumarlin, tahun 1978 menyatakan, di tingkat pemerintah pusat ada 338 jenis izin, belum lagi di tingkat daerah. DKI Jakarta dan Jawa Timur saja punya 131 izin (Kompas, 15 Desember 1978).
Jika dibandingkan, jumlah perizinan di Indonesia dua kali lebih banyak daripada di Hong Kong. Waktunya lebih lambat enam kali lipat dibandingkan Singapura dan biayanya 25 kali lebih mahal dibandingkan dengan Brunei Darussalam.
Memang tanda-tanda perbaikan sudah dilakukan pemerintah melalui 15 paket kebijakan bidang ekonomi. Namun, masih banyak kendala dalam implementasinya. Kita butuh segera memperbaikinya demi kejayaan negeri ini. (ELY)