Nagara Kertagama yang diserahkan Ratu Juliana kepada Presiden Soeharto berupa keropak atau kitab dari daun lontar. Empu Prapanca menyelesaikan karya dalam bentuk syair itu pada 1287 tahun Saka atau 1365 Masehi. Kitab ini melukiskan kemegahan Majapahit di zaman Raja Hayam Wuruk.
Lontar Nagara Kertagama ditemukan di Puri Raja Bali di Cakranegara, Lombok, pada 18 November 1894. Ketika itu Belanda melakukan ekspedisi atau operasi militer yang kemudian dikenal sebagai Perang Lombok. Profesor JLA Brandes ditugaskan khusus untuk mencari naskah penting yang masih tersimpan di puri-puri. Sebelumnya, serdadu Belanda membuang benda-benda berharga, bahkan ada yang membakarnya sebagai api unggun.
Profesor Brandes menerbitkan buku Nagara Kertagama pada 1902. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Profesor Kern pada 1903-1914. Diterbitkan lagi pada tahun 1919 oleh Profesor Krom yang kemudian diterjemahkan oleh Prof Slametmulyono pada 1953. Pada awal 1960-an, buku tersebut diterbitkan lagi dengan komentar lengkap dari ahli sastra Jawa, Pigeaud.
Naskah bersejarah itu pada 1972 pernah disimpan oleh Ibu Tien Soeharto di rumah Jalan Cendana, Jakarta. ”Kalau ditaruh di museum, bisa rusak karena keadaan museumnya masih begini. Sayang kalau rusak,” kata Ibu Tien, seperti dikutip harian Kompas, 24 Maret 1972.
Pada 1978 ditemukan lagi seberkas rontal (atau lontar) Nagara Kertagama di Karangasem, Bali. Diperkirakan, rontal ini berusia lebih tua dari yang ditemukan di Cakranegara itu. Dikatakan lebih tua karena naskah yang ditemukan tersebut merupakan salinan atau turunan dari naskah asli yang kesekian kalinya. Diperkirakan keropak bisa bertahan sampai 75 tahun. Keropak yang diserahkan oleh Ratu Juliana itu diperkirakan merupakan salinan ke-7 atau ke-8.
Nama Nagara Kertagama, yang artinya kitab pelajaran tentang aturan negara, bukan merupakan judul asli. Nama itu diberikan oleh penyalin Bali. Diperkirakan judul aslinya adalah Desawarmana atau lukisan negeri. (XAR)