Seni tidak mungkin dipertandingkan seperti olahraga. Di dalam seni tidak ada yang lebih unggul daripada yang lain. Itu kata WS Rendra saat menerima Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Bagi penyair, penulis drama, dan aktor itu, dalam seni tidak mungkin ada ukuran yang satu untuk menilai unggul tidaknya seorang seniman. Ukuran karya seni, kata Rendra yang saat itu berusia 39 tahun, adalah kehidupan. Padahal, kehidupan itu ada banyak aspek dan semua segi kehidupan itu penting. Seniman mencerminkan berbagai segi yang berbeda. Maka, tidak ada seniman yang lebih unggul daripada yang lain.
”Jadi, mustahil bila saya menganggap penghargaan dari Akademi Jakarta ini bisa menjadi ukuran mutu bagi kesenimanan saya, di dalam perbandingannya dengan karya seniman-seniman lain yang tidak mendapatkan hadiah tahun ini,” kata Rendra.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mengatakan, pemberian penghargaan itu ditujukan tidak kepada karya Rendra, tetapi kepada seniman kelahiran Solo itu atas kehadirannya sebagai penyair, dramawan, dan pembaca sajak. Rendra menerima penghargaan berupa amplop coklat berisi uang Rp 2 juta. Hadir dalam acara itu tokoh-tokoh Akademi Jakarta, termasuk ketuanya, STA, dan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Kata Rendra, manusia dalam kehidupan harus mempertahankan keseimbangan antara roh dan badan. Badan itu adalah lembaga hukum, adat istiadat, dan kebiasaan. Pelaksana kebijaksanaan tempatnya adalah ”keraton”. Roh adalah mimpi-mimpi, cita-cita, dan pemikiran. Penjaganya adalah ulama dan cendekiawan, serta seniman. Sebagai seniman, Rendra menyebut tempatnya di atas angin.
Ali Sadikin tak mau kalah. ”Karena Rendra menyebut dirinya di atas angin, saya jadi tahu tugas saya. Saya akan tangkap dia dan turunkan dia ke bumi. Saya akan katakan kepada dia, ini bumimu, bumi Indonesia. Bahkan udara di angin itu juga udara Indonesia.” Seluruh hadirin terbahak, termasuk Rendra. (XAR)