Pada 1970-an, berita seputar iuran televisi kerap muncul di media. Banyak pemilik televisi tidak melaporkan kepemilikannya agar mereka terhindar dari kewajiban membayar iuran.
Namun, banyak juga yang merasa sia-sia membayar iuran karena mereka tak bisa menikmati siaran. ”Kami enggan membayar karena siaran televisi sulit ditangkap,” begitu antara lain diungkapkan seorang pembaca Kompas dari Sumatera Barat dalam surat pembaca. Keluhan tentang gambar kabur juga datang dari sejumlah wilayah.
Tentu saja hal ini berdampak banyak terhadap pengumpulan iuran. Sebagaimana pajak radio, iuran televisi dibayarkan lewat kantor pos yang ketika itu berada di bawah Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Deparpostel). Pemerintah pada 1988 mulai ancang-ancang untuk menyerahkan penarikan iuran kepada pihak swasta. Menteri Penerangan memberi batas waktu Deparpostel sampai 1990 untuk menarik iuran dengan target minimal 90 persen.
Dan, yang terjadi setahun kemudian iuran televisi dipungut oleh sebuah perusahaan swasta. Mereka yang hidup pada era itu mungkin masih ingat nama PT Mekatama Raya, yang ditunjuk untuk memungut langsung iuran televisi di seluruh Nusantara. Jumlah keseluruhan iuran relatif besar untuk hitungan saat itu. Kalau 90 persen saja dari 12 juta televisi memenuhi iurannya, pemasukan sudah bisa mencapai Rp 300 miliar-Rp 400 miliar per tahun. Dan, PT Mekatama Raya yang dimiliki keluarga Cendana yang saat itu berkuasa, menurut perjanjian, wajib menyetor
Rp 100 miliar kepada TVRI.
Kalau saja dibuka tender, mungkin banyak perusahaan yang berminat ikut. PT Mekatama Raya mendapat
kepercayaan berdasarkan keputusan presiden. Setelah
era kekuasaan berganti pada 1998, entah bagaimana
kelanjutan penagihan. Padahal, dalam perjanjian, perusahaan tersebut mendapat hak memungut iuran selama 15 tahun.(RET)