Indonesia pernah mendirikan pabrik beras buatan dan diresmikan di Bandung, Jawa Barat, awal Juli 1968. Produk itu dinamakan beras Tekad, akronim dari tela, kacang-kacangan, dan (d)jagung (ejaan lama). Bahan baku itu digiling, dibentuk serupa beras. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan beras yang saat itu belum mencukupi.
Namun, investasi pemerintah hingga Rp 5 miliar ditambah dana pinjaman yang dijalankan perusahaan swasta, PT Mantrust, itu hilang tak berbekas seiring waktu. Bahkan, isu penggelapan uang negara dalam proyek beras Tekad menjadi berita sepanjang bulan Agustus-September 1969.
Tidak banyak yang ingat bentuk dan rasa beras Tekad. Popularitasnya kalah dari bulgur yang juga dikonsumsi tahun 1970-an, saat Indonesia krisis beras. Konon, beras Tekad warnanya putih mirip beras. Namun, teksturnya menjadi lembek seperti bubur jika tak segera disantap.
Untungnya, sejak tahun 1968 sampai 1992 produksi padi terus meningkat. Kalau tahun 1968 produksi padi hanya 17.156.000 ton, pada 1992 naik tiga kali lipat menjadi 47.293.000 ton. Hal ini tak lepas dari upaya Orde Baru dalam meningkatkan produksi beras, seperti melalui pembangunan sarana irigasi persawahan, pemberian modal bagi petani, penyuluhan, penyediaan pupuk, penelitian, dan penggunaan bibit unggul. Prestasi Indonesia yang berubah dari negara pengimpor beras menjadi negara swasembada pangan membuahkan penghargaan dari Organisasi Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) tahun 1984.
Saat ini, peneliti di perguruan tinggi, seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Lampung, mengembangkan beras analog. Meski wujud dan bahannya hampir sama dengan beras buatan tahun 1968, tujuannya berbeda. Kini lebih untuk diversifikasi pangan dan pembuatan beras fungsional untuk kebutuhan khusus, seperti beras rendah indeks glikemik bagi penderita diabetes, beras antikolesterol. Beras analog juga bisa dimanfaatkan untuk program fortifikasi pangan untuk mengatasi masalah malnutrisi dengan menambahkan protein, vitamin, mineral, serat, dan zat lain.
Beras analog dibuat dari sumber karbohidrat lokal non-padi, antara lain umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, talas, gembili, dan kimpul), serealia (jagung, sorgum), sagu, buah (sukun, pisang), dan sumber karbohidrat lain. Namun, beras ini perlu waktu untuk diterima masyarakat. (ATK)